Sean, bocah 11 tahun yang berlayar sendirian menuju sebuah negara yang diamanahkan sang kakek. 11 tahun telah berlalu sejak ia dan kakeknya terpaksa meninggalkan sebuah negara, tempat Sean lahir. Di negara inilah, dia akan bertemu dengan orang-orang baru yang menemani kerja kerasnya. Namun kisahnya tidak semenyenangkan itu. Bersamaan dengan pengaruh baik, ada banyak tantangan gila menantinya di depan. Dia hanya bocah 11 tahun!
Apakah Sean dan teman-temannya bisa menghadapi setiap masalah demi masalah yang tak kunjung pergi? Simak dan ikuti perjalanannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LIMS OFFICIAL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Persiapan Pertama
"Baiklah, waktunya memastikan apakah kau pulih" ujar Jiali membuka perban yang menutupi mata Marito seminggu lamanya.
Perlahan gadis itu membukanya. Lalu, "Bagaimana perasaanmu?" tanya Daisuke memastikan.
"Aku.. melihat semua" jawab Marito terkejut. "Akhirnya.. syukurlah guru sudah pulih. Aku bisa latihan kembali" gumam Sean melompat girang.
James hanya bisa memaklumi dan tertawa kecil melihat tingkah bocah itu.
Marito menatap bocah itu yang tengah asyik sendiri tanpa memperdulikan tatapannya. Ada sebuah senyuman yang terukir.
"3 hari lagi kau akan mengikuti tes masuk akademi, apa kau belajar selama mataku dalam pemulihan, Sean?" tanya Marito segera.
"Sudah tentunya, guru!" jawab Sean menoleh dan mengacungkan jempol.
"Baiklah, kita lihat kemampuan daya tangkapmu"
Beberapa saat,
"Peluru?" gumam Sean terheran ketika Marito meletakkan dua peluru berbeda.
"Manakah peluru karet, dan manakah peluru biasa?" tanya Marito segera. "Kanan ini karet, dan kiri adalah biasa" jawab Sean yang sudah hapal.
Marito menyandarkan tubuhnya. "Aku ada pertanyaan. Ketika seorang pria dihadapkan dengan musuh, musuhnya seorang penyihir dengan elemen air. Ia hanya memiliki bahan kimia NaOH, dan bom peledak. Sebaiknya pria itu memilih apa?"
Daisuke dan Chloe saling memberikan pandangan. James dan Jiali juga menunggu jawaban bocah itu.
"NaOH" Daisuke mengerutkan keningnya terkejut. "Alasanmu?" tanya Marito tersenyum puas mendengar jawaban itu.
"NaOH sebutan lain dari soda api. Jika soda api itu dilemparkan padanya, maka ia akan merasakan panas yang dapat membakar kulit selama beberapa menit" Daisuke tersenyum mendengarnya.
"Mengejutkan, aku bahkan lebih mengenal soda api sebagai sebutan utamanya" gumam James terkesan dengan jawaban itu.
Marito terus menanyakan berbagai pertanyaan dasar pada bocah itu. "Ini adalah soal terakhir, dan aku tidak membutuhkan logikamu. Tapi pendapatmu" Sean mengangguk paham.
"Apa yang akan kau pilih, misi atau temanmu yang sekarat?" pertanyaan itu membuat Sean terdiam.
Bahkan teman-teman Marito juga turut diam. Ini adalah pertanyaan menjebak yang selalu dipertanyakan jawaban yang lebih baik apa.
"Sulit bukan? Saat kau akan memilih misi, orang-orang mengira kau egois. Tapi di sisi lain ketika kau menyelamatkan temanmu, kemungkinannya dua. Misi yang berhasil, atau gagal. Jadi apa pendapatmu?"
Sean lagi-lagi terdiam. Ia mengerutkan keningnya bingung. "Aku.. bingung" gumam Sean ragu.
Marito tersenyum. "Sebagai gurumu, aku akan menjelaskanmu agar kau memiliki tujuan" Sean menatap Marito terkejut.
"Mau apapun keadaanmu dan teman-temanmu, kau harus tetap mengutamakan misi. Misi akan gagal jika kau bersikap egois. Misi berhasil tidak ada yang istimewa, tapi gagal kau akan dihina"
Sean yang mendengarnya memejamkan mata. "Guru memilih apa?" tanya Sean penasaran. "Sejak aku di akademi, aku mementingkan misi"
Sean terkejut mendengarnya. "Lalu jika rekanmu sekarat atau tertangkap?" tanya Sean terheran. "Belajar dari kesalahan" jawab Marito bangkit berdiri.
"Maksud... guru?" Sean masih bingung dengan maksud itu. "Kau akan mengerti saat kau masuk akademi. Maka dari itu, jangan berhenti bekerja keras. Ingat saja pesanku tadi, misi adalah hal utama. Kau ditugaskan untuk menyelesaikannya, bukan meninggalkan tanggung jawab yang diberikan padamu"
Marito berjalan meninggalkan mereka. "Baiklah, sepertinya belajar hari ini cukup. Nanti malam kita ulang kembali" ujar Marito menuju ruangannya.
"Jiali, waktunya kita ke rumah sakit" ujar James bangkit berdiri. "Aku juga harus ke kantor. Ada jasad intelijen yang harus kami cari identitasnya" Chloe turut bangkit berdiri.
"Oh ayolah, kalian produktif sekali di akhir pekan ini" tutur Daisuke memaklumi. Jam kerja rekan-rekannya sangat padat, berbeda dengan Daisuke yang bisa bersantai beberapa saat.
"Kau tidak ada tugas, Dai? Tampaknya dari kemarin kau santai-santai saja" ujar Chloe yang sedang bersiap mengenakan seragamnya.
"Aku dan Leon menunggu pelantikan saja. Mengejutkan sekali kepala justru menempatkanku di divisi yang sama dengan Leon. Dia jadi pimpinan dua divisi utama pasukan elite dan aku wakil"
Sejenak Chloe terdiam. "Naik posisi?!" Chloe tentu terbelalak kaget. "Keren sekali, oniisan dan guru naik posisi" titah Sean kagum.
"Nasib orang kuat" jawab Daisuke sombong. Chloe memasang wajah jijik. "Kak James dan kak Jiali dokter apa? Apa mereka umum? Atau spesialis?" tanya Sean penasaran.
"James khusus otak, sementara Jiali darah" jawab Chloe segera. "Lalu kak Chloe?" tanya Sean penasaran. "Intelijen" jawab Chloe lagi.
"Keren sekali" gumam Sean semakin kagum. "Kami pergi dulu" pamit James setelah ketiganya siap.
"Berhati-hatilah" sahut Daisuke segera. Setelah ketiganya pergi, yang tersisa hanya Daisuke dan Sean di ruang tamu.
"Oniisan dan guru berarti sama kuatnya, yah?" tanya Sean penasaran. Mata birunya begitu berkilau. "Sejujurnya, kadang dia lebih kuat, kadang aku lebih kuat. Kami tidak konsisten pada kekuatan kami" jawab Daisuke terkekeh.
Sean mengangguk-angguk paham. "Guru itu lulus akademi pada usia berapa tahun?" tanya Sean penasaran. "Marito? Dia lulus pada usia 10 tahun" Sean yang mendengarnya menganga terkejut.
"Dia hanya butuh 6 bulan untuk menyelesaikan semua kegiatan pengetahuan dan keterampilan" Daisuke memperjelas mengapa Marito lulus begitu cepat. "Oniisan berapa lama?" tanya Sean lagi.
"Aku butuh satu tahun 6 bulan untuk menyelesaikan pendidikanku. Standar" jawab Daisuke terkekeh.
"Sejenius apa guru sampai-sampai dia bisa menyelesaikan pendidikannya hanya 6 bulan saja" gumam Sean penasaran.
"Dia sangat kritis terhadap politik, dan ahli dalam bidang sains. Strategi bagus memecahkan sebuah masalah. Walaupun dia tidak banyak bicara, dia benar-benar di luar prediksiku"
Sean mengangguk-angguk kecil mendengarnya. "Apa aku juga bisa seperti guru?" tanya Sean penasaran.
Daisuke tersenyum mendengarnya. "Menurutku, kau bisa menyamainya" jawab Daisuke meyakinkan.
Sean menatap Daisuke sejenak. Lagi-lagi, Daisuke seakan melihat seseorang yang dikenalinya dari tubuh bocah itu.
"Oniisan!"
Daisuke tersadar segera. "Kalian semua sering sekali menatapku seperti itu. Sebenarnya ada apa?" tanya Sean terheran.
"Jujur saja, aku selalu melihat mendiang guruku di wajahmu" jawab Daisuke terkekeh. "Aneh sekali" gumam Sean menghembuskan nafas lelah.
"Nantinya putraku akan kunamai Laut atau Samudra, tapi aku sepertinya akan bertanya padanya dahulu. Putraku harus lahir sebagai seorang pelaut sepertiku"
...****************...
"Terimakasih sudah memperbaiki kerusakan ini" ujar Zoe pada sekelompok pria yang sudah selesai membereskan rumah dinas itu.
Mereka membungkuk dan akhirnya pulang. "Zoe, bisakah kau kemari?" panggil Daisuke segera.
"Ada yang bisa kubantu, niisan?" tanya Zoe menghampiri Daisuke yang sedang membereskan beberapa barang-barang.
"Bisakah kau pergi ke pusat kota mencari, Sean? Leon akan membunuhku jika batang hidung bocah itu belum terlihat saat ia kembali"
Chloe yang mendengarnya menganga terkejut. "Bodoh, Marito sedang berkeliling di sana karena ada penyusup masuk!"
Sejenak Daisuke dan Zoe menatap Chloe. "APA?!"
Beberapa saat,
"Apa ibu kota di De Oranje juga sebesar ini? Luas sekali, ke mana aku akan berjalan kira-kira? Apakah ini jalan pulang?" gumam Sean yang asyik berjalan-jalan sambil menikmati sebuah jajanan pasar yang ia beli.
Pagi ini, Marito harus ke kantor untuk mengurus kekacauan para penyusup dan mencari sisa yang kabur di pusat kota.
Gadis itu tentunya akan menitip Sean pada Daisuke. Daisuke yang sibuk mengurus barang-barang pindahan, justru memberikan sejumlah uang dan menyuruh bocah itu membeli beberapa makan siang di pusat kota yang tidak jauh.
Bocah itu memang cerdas, namun ia sangat payah menghapal sebuah jalan. Jalan menuju lokasi bahkan jalan pulang sekalipun.
Dan kini, bocah itu berkeliling kota mencari jalan pulang. "Aduh, guru dan oniisan tidak pernah membawaku ke sini. Aku jadi tidak tahu harus ke mana" gumam Sean menggaruk kepalanya.
"Oniisan bilang aku harus sampai rumah sebelum guru kembali. Tapi kalau begini, aku baru bisa tiba di rumah nanti malam" gumam Sean lagi.
Di sisi lain, "Haish.. di mana dia?!" gumam Daisuke menggunakan sihir matanya. "Kau ini bagaimana, sih? Dia itu belum genap satu bulan di sini. Kau sudah menyuruhnya ke pusat kota" ketus Chloe kesal.
"Bisakah kau tidak terus menyalahkanku?!"
"Dengar, Kawatsuichi Daisuke! Nanti jika Marito kembali dan Sean tidak ada, bukan hanya kau saja yang menerima akibatnya. Aku dan Zoe juga, bodoh! Kita bertiga ditugaskan menjaganya"
"Merepotkan, aku akan turun"
Daisuke terjun dari sebuah gedung yang tidak tinggi. "Kita cari ke mana lagi, kak?" tanya Zoe pelan.
"Pergilah ke utara, kau hapal bukan ciri-ciri bocah itu?" tanya Chloe memastikan. Zoe mengangguk, "Matanya biru dan rambutnya pirang" gumam Zoe.
Mereka berpencar. Sementara Sean tampak santai mengelilingi kota yang ramai. Dan malangnya, Marito sedang berkeliling kota bertepatan dengan ketiga pemuda yang ditugaskannya.
"Astaga!" Daisuke segera bersembunyi ketika ia melihat dari kejauhan Marito berjalan berlawanan arah dengannya.
Daisuke memang cukup pintar, namun di situasi seperti ini otaknya mendadak low battery.
Berkali-kali ia mengecek Marito yang berjalan ke mana. Hingga tolehan ke-4, "HUAA!" Daisuke tentu berteriak ketika Marito tiba-tiba berada di sampingnya, muncul layaknya hantu.
"Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah kau dengan yang lain sedang membereskan rumah?" tanya Marito terheran. Wajahnya tampak serius.
"I-Ini aku sedang istirahat keliling mencari vas bunga" jawab Daisuke gelagapan. Marito memperhatikan dari ujung kepala sampai kaki rekan setimnya itu.
"Kau bodoh? Arabella punya toko berisi bunga dan beberala vas. Di sana ada berbagai macam vas. Dan itu tidak jauh dari rumah, Daisuke"
Daisuke lagi-lagi terdiam. Ia orang yang selalu jujur dan tidak pandai mencari alasan.
Mata gadis itu tiba-tiba menajam. "Aku baru dari rumah, Dai. Kenapa rumah kosong?" wajah pemuda itu memucat seketika.
"Tidak! Lepaskan aku! Guru! Oniisan! Kakak atau siapapun tolong aku!"
Suara bocah yang begitu familiar di telinga mereka. "Urusan kita belum selesai!" ketus Marito segera berlari menghampiri suara itu.
"Ya dewa matahariku! Mengapa kau membiarkanku berurusan dengannya setiap hari?!" gerutu Daisuke ketika Marito benar-benar lenyap dari pandangannya. Namun ia segera menyusul.
Di sisi lain, seorang pria tua berhasil menangkap Sean. "Kau akan kujual bocah!" ujar pria itu tersenyum senang dia dapat tangkapan hari ini.
"Dasar pria gila! Lepaskan aku! Kau pikir kau bisa membawaku? Guru dan oniisan akan menghajarmu!" ketus Sean memberontak dan mencoba melepaskan dirinya dari lilitan tali.
Kesulitan lain yang menimpa Sean adalah ia dibawa menggunakan kereta kuda. "Guru? Oniisan? Panggilan macam apa itu? Apakah panggilan pengecut? HAHAHA" ledek pria tua itu tertawa puas.
Sean berdecak kesal. Namun ia segera memperhatikan sekelilingnya. "Kau meremehkanku" gumam Sean tersenyum misterius.
Simpul tali yang mengikat dirinya berada tepat di telapak tangannya. Sulit untuk membukanya, namun Sean mencoba sebisanya dan itu membuahkan hasil.
Bocah itu segera membuka pintu kereta dan melompat keluar. "Sialan!" gumam pria itu kesal.
Sean sebisa mungkin berlari tanpa melihat ke belakang. Namun tetap saja, kecepatan Sean bisa diikuti oleh pria tua itu.
Melihat pria tua itu, Sean akhirnya memberanikan diri untuk menyerang dengan tangan kosong.
"Serangan macam apa ini ?!" pria itu justru terkejut, bocah di hadapannya bukan bocah biasa.
(bocil kematian si Sean om)
Pria itu akhirnya berhasil membuat Sean kelelahan. Bocah itu terkapar dengan nafas tersengal-sengal.
"Kau lebih merepotkan dari perkiraanku. Lebih baik aku memotong kakimu agar kau tidak bisa kabur!"
Sean menutup matanya takut dan pasrah, ketika pria itu mengangkat kapaknya.
Dan, "Kilat ?!" batin Sean terkejut ketika sebuah kilat biru melewatinya. Pria tua itu segera mengelak dengan cepat serangan kilatan itu.
"Sean, kau baik-baik saja?!" tanya Daisuke tiba di sana. "Oniisan" gumam Sean terkejut.
"Dai!"
"Hai!"
Ia mengeluarkan sebuah gulungan dan dari gulungan itu, sebuah kipas raksasa dikeluarkan Daisuke.
"Bersiaplah!" perintah Daisuke mengerahkan sisa tenaganya untuk mengangkat kipas raksasa itu.
Ia menghempaskan sebuah angin kencang yang membentuk tornado. Bersamaan dengan itu, seorang gadis menambah petir di dalamnya.
"Zoe!"
"Baik!"
Zoe di sana menyemburkan sebuah api ke dalam tornado itu.
"TIDAK! HUAAAAAA"
......................
"Kenapa kau justru patuh pada perintah si bodoh itu?" tanya Marito menatap tajam Daisuke.
Daisuke menghela nafas lelah. "Guru jangan memarahi oniisan. Aku inisiatif ingin pergi ke kota karena mengeluh lapar"
Marito terdiam dan menatap Sean terkejut.
"Selama aku di sini, guru baru membawaku untuk menyelesaikan misi saja" gumam Sean ragu.
Marito menghela nafas berusaha sabar menanggapi alasan dan pembelaan bocah itu.
"Beistirahatlah setelah lukamu beres, besok kita berkunjung ke peternakan di desa"
Sean yang mendengarnya menatap Marito terkejut. "Terakhir besok saja, dua hari seleksi masuk akademi. Jadi aku sudah mengajukan cuti" imbuh Marito bangkit berdiri.
Sean menatap punggung lebar gurunya itu. "Aku akan segera kembali. Kalian beristirahatlah" perintah Marito dan berpamitan malam itu.
Setelah Marito benar-benar pergi. "Kira-kira berapa banyak murid guru yang masuk akademi?" tanya Sean penasaran.
"Lima orang. Salah satunya, Zoe"
Sean menatap Zoe yang tertidur lelap. "Apa kemampuan yang dimilikinya?" tanya Sean penasaran. "Dia sihir senjata. Benang dan jarum adalah senjata yang digunakannya"
Sean menatap Chloe terkejut. Dan ia kembali memperhatikan Zoe yang bahkan terlihat seperti orang biasa. "Apa elemen alamnya?" tanya Sean lagi.
"Dia sama seperti Dai, elemennya angin. Tapi dia juga memiliki elemen api. Bedanya, Dai tidak menonjol dalam sihir senjata. Dai lebih menonjol pada sihir mata yang dimilikinya"
Sean mengangguk paham. "Sihir senjata apa yang dikuasai oniisan?" tanya Sean penasaran sambil memperhatikan Daisuke yang tertidur di samping Zoe. Mereka seperti kakak adik.
"Biasanya dia lebih sering menggunakan katana miliknya. Tapi sihir senjata terkuatnya ialah kipas raksasa" Sean segera teringat bagaimana cara Daisuke tadi siang menyelamatkannya.
"Kau pasti melihatnya tadi" tebak Chloe terkekeh. "Pasti energi yang dikeluarkan untuk menggunakan kipas itu sangat besar" gumam Sean berbinar kagum.
"Itu tidak seberapa. Dia pernah menciptakan gelombang angin yang luar biasa hingga menghancurkan kota mati" Chloe tertawa kecil mengingat kehebatan rekannya itu.
"Kalau guru, sihir apa saja yang dikuasainya?" tanya Sean penasaran. "Marito? Dia serba bisa, ada beberapa jenis sihir yang dikuasainya. Kelemahannya hampir tidak ada" jawab Chloe tertawa kecil.
"Jika hampir, pastinya ada bukan? Sepertinya aku tahu kelemahan guru" ujar Sean teringat sesuatu.
"Memangnya menurutmu apa?" tanya Chloe jadi penasaran. "Dia tidak bisa berhadapan dengan seseorang yang kuat imun, oniisan adalah contohnya" Chloe terdiam sambil memperhatikan Daisuke yang tertidur.
"Tapi dia bisa memberikan efek halusinasi" ujar Chloe tentu langsung menepisnya. "Bukan itu jadi faktor utamanya" jawab Sean tersenyum sambil menggeleng-geleng.
"Maksudmu?" tanya Chloe penasaran. "Dari pertarungan kemarin, yang kutangkap bukan karena oniisan punya sihir mata yang bisa melihat segala energi secara tembus pandang. Tapi dia kebal terhadap efek dari kekuatan sihir mata apapun"
Chloe yang mendengarnya menatap Daisuke terkejut. "Mungkin oniisan tidak menyadarinya, karena dia pikir itu adalah efek dari sihir mata miliknya. Saat pertarungan kemarin, oniisan tidak menggunakan matanya ketika ia bertatapan dengan mata guru" tambah Sean lagi.
Chloe terkejut mendengar hal itu. Ia tidak mempermasalahkan kelebihan yang dimiliki Daisuke, hanya saja kemampuan menganalisa Sean patut ia pertanyakan. Bocah itu masih berusia 11 tahun.
"Jadi kesimpulanmu, adalah Marito tidak bisa berhadapan dengan seseorang yang kuat imun?" tanya Chloe memastikan ulang.
"Tepat sekali. Oniisan bisa membuat guru kerepotan itu bukan karena kekuatan matanya, tapi karena imunnya terhadap serangan dalam"
Chloe mengangguk-angguk kecil. "Kalau begitu, apa kelemahan Daisuke? Mendengar imunnya yang lebih kuat dari kita saja seolah dia tidak terkalahkan"
Sean berpikir sejenak seolah mengingat sesuatu. "Yang punya fisik super seperti guru"
Chloe memiringkan kepalanya bingung. "Bedanya apa?" tanya Chloe terheran.
"Kalau oniisan tahan terhadap serangan dalam saja, tapi energinya tidak sebesar energi guru. Aku bisa melihat dari guru yang jarang kelelahan padahal ia bekerja sangat lama. Itulah mengapa mereka setara" jelas Sean segera.
Chloe memperhatikan Daisuke lagi. "Apa kau sadar kau itu bocah jenius, Sean?" tanya Chloe tersenyum. "Jenius? Apa itu?"
Pemuda itu terheran mendengarnya. "Hahaha. Lupakan saja, kau akan mengerti maksudku suatu saat ketika kau sadar sendiri"
......................
"Tutup mata begini? Jangan-jangan guru mau membunuhku, yah?" tuduh Sean ketika Marito menutup mata Sean dengan sebuah kain hitam.
"Dasar naif. Bagaimana bisa kau berpikiran negatif pada gurumu sendiri?" ketus Marito menghela nafas.
Sean terkekeh seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Bersiaplah" Marito mulai meregangkan tubuhnya dan memasang kuda-kuda.
Sean menarik nafas lalu membuangnya. Ia memasang kuda-kuda yang ia tiru dari Marito.
"Dia maju ?!" batin Sean segera menangkis sebuah serangan. "Woah, ajaib sekali" ujar Daisuke terkesan. Sean terus menangkis dan mengelak tanpa memberi perlawanan.
Gerakan bertarung yang dikerahkan Marito terlalu cepat untuknya. "Bawah ?!" batin Sean segera melompat. "Dia?!" gumam James terkejut.
"Bagaimana ia mengetahuinya?" gumam Jiali terkejut. "Aduh!" gumam Sean terjatuh ketika Marito memberinya serangan cepat.
"Kau memang pintar, nak. Tapi itu saja tidak cukup" ujar Marito mengambil sebuah tongkat. Sean bangkit berdiri. "Pintar saja tidak cukup. Selain pintar, kau harus terampil" dan Marito mulai mengarahkan tongkatnya untuk menyerang Sean.
"Guru benar. Mengandalkan apa yang kuketahui tidak cukup" batin Sean bangkit berdiri. "Jika aku mendengar suara langkah kakinya dan menghapal ritmenya, mungkin aku bisa membalasnya"
Marito kembali menyerang. Dan Sean dengan sengaja beberapa serangan mengenai dirinya walaupun ia harus meringis kesakitan.
"Dia sudah terlalu keras"
"Tunggu, niisan"
"Apa maksudmu? Guru mu itu mulai menghajarnya habis-habisan"
Zoe diam beberapa saat. Matanya sangat teliti. "Lihat apa yang akan dilakukannya" Daisuke memperhatikan Sean dan Marito segera.
"Apa yang kau lakukan? Di mana gerakan hebatmu kemarin?" tanya Marito terheran dan menghentikan serangannya. Nafas Sean tidak teratur.
"Lakukan saja guru, aku sudah dapat solusinya" Sean kembali menyiapkan kuda-kudanya.
Marito menghela nafas dan ia menuruti keinginan bocah itu. Ia kembali maju dan hendak menyerang Sean lagi. "Atas !" batin Sean kini bisa mengetahui dari mana asalnya serangan cepat itu datang.
Perlahan Sean mulai menyamai serangan Marito dan mencoba menyerang balik. "Dia... melakukannya?" gumam James Chloe terkejut.
"Dia punya daya ingat yang super akurat. Dia mencoba menghapal setiap ritme dan tempo langkah kaki guru untuk mengetahui gerakan yang digunakan guru" simpul Zoe tersenyum senang.
Sean terus menyerang Marito sampai membuat gurunya itu mulai kerepotan. Hingga, "Baiklah cukup" ujar Marito berhasil menahan serangan terakhir Sean.
Bocah itu terkapar kelelahan. Nafasnya naik turun. "Beristirahatlah, nanti malam kita lanjutkan" pesan Marito mengulurkan tangannya untuk membantu bocah itu berdiri.
"Guru mau ke mana?" tanya Sean penasaran ketika Marito berjalan menjauh. "Mengambil hadiah dari kepala untukmu" jawab Marito tersenyum seraya mengedipkan sebelah matanya.
"Hadiah?" gumam Sean bingung sekaligus terkejut ketika Marito tersenyum padanya untuk pertama kali. "Kau akan tahu ketika aku kembali"
Marito akhirnya lenyap dari pandangan. "Bersihkan tubuhmu, Sean. Kau ikut aku ke peternakan desa" ajak Zoe segera.
"Baik" jawab Sean antusias. "Apa Leon melempar janjinya padamu?" tanya Daisuke terheran. "Guru bilang dia menyusul" jawab Zoe terkekeh.
Malamnya,
"Baiklah kita sudahi" ujar Marito ketika malam itu latihan mereka ia rasa cukup. "Guru kejam sekali, membunuhku perlahan seperti ini" keluh Sean.
Sean mengekori Marito. "Surat apa ini?" tanya Sean ketika ia menemukan sebuah surat berlipat di atas meja ruang tamu.
"Bukalah" perintah Marito. Sean mengambilnya. "Surat rekomendasi.. dengan ini kami menyatakan, agar pihak akademi.. menerima Sean Colbert, atas keberhasilannya... menyelesaikan misi, rank D"
Sean terbelalak kaget. "Bersyukurlah, untuk mengurus surat itu aku butuh waktu satu minggu" ujar Marito tersenyum tenang.
"Guru.." gumam Sean menatap Marito tidak percaya. "Kau harus tetap berusaha, nak. Tapi ini sudah menjamin kau masuk" tutur Marito lagi.
"TERIMAKASIH GURU!" Sean melompat dan memeluk gadis itu. "Aku tidak akan mengecewakan kakek dan Arie. Dan aku tidak akan mengecewakanmu!"