Deonall Argadewantara—atau yang lebih dikenal dengan Deon—adalah definisi sempurna dari cowok tengil yang menyebalkan. Lahir dari keluarga kaya raya, hidupnya selalu dipenuhi kemewahan, tanpa pernah perlu mengkhawatirkan apa pun. Sombong? Pasti. Banyak tingkah? Jelas. Tapi di balik sikapnya yang arogan dan menyebalkan, ada satu hal yang tak pernah ia duga: keluarganya akhirnya bosan dengan kelakuannya.
Sebagai hukuman, Deon dipaksa bekerja sebagai anak magang di perusahaan milik keluarganya sendiri, tanpa ada seorang pun yang tahu bahwa dia adalah pewaris sah dari perusahaan tersebut. Dari yang biasanya hanya duduk santai di mobil mewah, kini ia harus merasakan repotnya jadi bawahan. Dari yang biasanya tinggal minta, kini harus berusaha sendiri.
Di tempat kerja, Deon bertemu dengan berbagai macam orang yang membuatnya naik darah. Ada atasan yang galak, rekan kerja yang tak peduli dengan status sosialnya, hingga seorang gadis yang tampaknya menikmati setiap kesialan yang menimpanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mycake, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Deonall Story
Tidak ada satu pun orang yang tahu siapa sebenarnya Agra Gunawan termasuk Gwen. Tidak ada yang tahu bahwa sosok laki-laki berambut acak itu sebenarnya adalah Deon Argadewantara, pewaris perusahaan yang seharusnya hidup di tahun 2025.
Bahkan Deon sendiri belum mengerti, kenapa dirinya bisa terbangun dalam tubuh seorang pemuda magang sepuluh tahun lalu di tahun 2015 dengan identitas yang benar-benar asing.
Tubuh boleh saja Agra, tapi pikirannya tetap milik Deon.
Dia duduk di kursi kayu ruang pelatihan, menatap name tag bertuliskan AGRA GUNAWAN yang tergantung di dada. Jari-jarinya mengusap pelan tulisan itu seolah mencoba mengungkap misteri yang mengikatnya. Ini bukan sekadar mimpi.
Luka bekas kecelakaan tadi masih terasa di tulang rusuknya, meski tubuh ini tampak sehat. Nafasnya naik-turun, matanya menerawang ke jendela besar yang menampakkan gedung-gedung tinggi Jakarta tahun 2015.
"Apa yang sebenarnya terjadi...?"
Tak ada jawaban. Yang ada hanya gumaman batinnya yang terus-menerus menggema. Kenapa aku? Kenapa sekarang? Dan kenapa di tubuh Agra?
Gwen, yang duduk tak jauh darinya, sesekali melirik Agra dengan tatapan curiga entah karena gelagatnya yang berbeda, atau karena aura tenangnya yang terlalu aneh untuk ukuran anak magang baru.
Tapi bahkan Gwen pun tak tahu. Dia mungkin tahu banyak rahasia tentang perusahaan, tapi tidak tentang Agra yang satu ini.
Agra atau Deon hanya bisa menarik napas panjang. Satu hal yang dia tahu pasti, dia kembali bukan tanpa alasan.
Dan jika semesta sudah memberinya kesempatan kedua, maka ia akan gunakan segalanya untuk membongkar semua kebusukan dari akarnya.
Bahkan jika harus membakar masa lalu yang seharusnya tidak pernah dia sentuh.
Agra atau Deon mengencangkan rahangnya saat tatapannya tertuju pada sosok lelaki tua yang melintas di luar ruangan, tepat di balik kaca jendela ruang pelatihan.
Wajah itu terlalu familiar. Terlalu dekat dengan setiap dokumen dan skandal yang pernah dia temukan di masa depan.
Itu adalah Bastian Ramelan.
Darah Deon mendidih seketika. Lelaki itu adalah potongan teka-teki besar yang selama ini tak berhasil dia bongkar. Di masa depan, semua jejak Bastian menghilang.
Tapi kini, di masa lalu, pria itu masih berdiri tegak masih punya kuasa, dan mungkin saja masih menyimpan semua jawaban.
"Astaga..." gumam Deon dalam hati, matanya membelalak penuh rasa tidak percaya. "Gue dikirim ke masa ini buat nyelesain semuanya dari awal?"
Tak ada waktu untuk bingung. Dia tahu, langkah yang salah bisa menggagalkan semuanya. Tapi ini kesempatan yang mustahil dia sia-siakan.
Dia tidak hanya harus bertahan di tubuh Agra, dia harus bermain. Menyamar. Menyelusup. Memastikan semua yang salah tidak pernah terjadi.
Dan saat Gwen tiba-tiba menepuk bahunya sambil menyodorkan daftar absensi magang dengan ekspresi santainya, Deon hanya bisa menoleh sekilas, menahan gejolak di dadanya.
"Lo kenapa? Ngelamun kayak abis ketemu mantan," goda Gwen.
Deon tersenyum tipis, menyembunyikan kekacauan pikirannya. “Enggak. Cuma mikir, hidup ini lucu aja. Kadang, kita dikasih kesempatan kedua buat benerin semua yang pernah berantakan.”
Gwen mengangkat alis. “Dalam bentuk magang? Wah, nasib lo emang tragis banget, Gra.”
Deon dengan nama barunya, Agra tertawa kecil. Tapi dalam hatinya, ia bersumpah dia akan membongkar semua kebusukan perusahaan ayahnya. Dan kali ini, dia yakin pasti akan menang.
Agra berjalan menyusuri lorong panjang perusahaan dengan langkah pelan namun pasti. Di setiap sudut matanya menangkap wajah-wajah muda yang polos dan belum tahu apa-apa, wajah yang dulu pernah dia miliki.
Tapi sekarang, dia bukan lagi si pewaris manja dan cuek yang tak peduli pada apapun. Kini, dia adalah penyusup waktu, orang asing dalam tubuh baru, dengan misi besar yang tak bisa dia ceritakan pada siapa pun.
“Gue di sini bukan buat magang,” gumamnya lirih. “Gue di sini buat ngubah segalanya…”
Tiba-tiba, matanya menangkap lagi sosok Gwen masih Gwen yang sama, tapi lebih muda. Lebih ceria, lebih polos dan belum tahu apa pun tentang kebusukan di balik tembok-tembok perusahaan mewah ini.
Tapi anehnya, Gwen yang sekarang juga terasa familiar. Seolah, bagian dari dirinya tahu bahwa cewek itu akan selalu ada, tak peduli di masa apa pun dia berada.
“Lo ngapain ngeliatin gue gitu?” tanya Gwen curiga sambil berjalan mendekat. “Baru hari pertama udah naksir ya?”
Deon menahan senyum. “Mungkin. Atau mungkin gue cuma lagi mikir lo bakal jadi penting buat gue.”
Gwen menyipitkan mata. “Hah?”
“Udahlah,” kata Deon, mengalihkan pandangannya cepat-cepat. “Ayo masuk sebelum disangka telat.”
Tapi di balik senyum santainya, Deon menyusun langkah-langkah berikutnya. Dia harus mencari Bastian, mengorek setiap informasi yang bisa dia dapat, dan mencari tahu kenapa takdir membawanya kembali ke tahun 2015 dalam tubuh Agra Gunawan, dan bukan sebagai dirinya sendiri. Karena satu hal yang pasti semuanya tidak terjadi tanpa alasan.
__
Agra atau lebih tepatnya, Deon dalam tubuh Agra mulai memainkan perannya dengan cerdik. Di ruang magang, dia duduk paling depan, mencatat seolah dia benar-benar anak magang paling rajin abad ini.
Sesekali dia mengangguk-angguk paham, sesekali mengacungkan tangan dengan pertanyaan yang tampak polos tapi punya tujuan tersembunyi.
"Eh, Agra, semangat banget lo," bisik salah satu anak magang lain dengan alis terangkat.
Agra hanya nyengir. "Ya iyalah. Kan katanya yang rajin bisa dilirik buat naik posisi. Masa lo gak pengen?" jawabnya sambil kedip satu mata.
Padahal dalam kepalanya, dia mencatat nama-nama penting yang tadi disebut saat briefing. Divisi keuangan, nama para direksi, struktur internal, semuanya.
Saat jam makan siang, dia memilih tidak ikut nongkrong bareng anak-anak magang lainnya. Dia malah sengaja nyamperin salah satu staf senior. Dengan senyum sok polos dan sikap penuh sopan santun, dia mulai cari muka.
"Pak, saya tertarik banget sama sistem internal perusahaan. Kira-kira saya boleh bantu-bantu di luar tugas magang gak?" tanyanya sambil menyodorkan kopi.
Staf itu tersenyum, terkesan. "Wah, semangat banget kamu, siapa nama mu?"
"Agra pak." jawabnya sambil menunjukkan namanya.
"Anak magang kayak kamu nih yang susah dicari."
"Ah, saya cuma pengen belajar, Pak. Siapa tau bisa bantu perusahaan, ya kan?" ucap Agra dengan nada rendah hati tapi pikirannya berbisik lain.
Satu demi satu pintu akan gue buka. Lo liat aja… gue bakal kulik semuanya dari dalam, sampai akar-akarnya.
Di balik senyum manisnya yang terlihat lugu, Agra alias Deon mulai menyusun langkah-langkahnya seperti bidak catur.
Dia tahu, permainan ini jauh lebih besar dari sekadar magang atau mencari muka. Ini tentang menemukan kebenaran yang entah kenapa terkubur di masa lalu.
Sore itu, saat kantor mulai lengang dan sebagian besar orang sibuk membereskan meja kerja, Agra menyelinap ke ruang arsip lama dengan dalih ingin mengambil dokumen.
Namun tujuannya lebih dari sekadar lembaran laporan biasa. Dia mencari nama-nama, tahun-tahun, dan boom! Sebuah map berdebu dengan label samar, B.Ramelan — Internal Audit 2014.
Mata Agra membelalak. "Bastian Ramelan…" gumamnya lirih.
Jantungnya berdegup kencang. Itu nama yang terus muncul sejak ia di masa depan. Tapi sebelum sempat membuka map itu lebih dalam, suara langkah kaki mendekat cepat.
“Agra? Kamu ngapain di sini?” suara seorang perempuan mengejutkannya. Gwen.
Deon buru-buru menoleh, menyembunyikan map itu di balik jas magangnya dan berusaha tersenyum santai.
“Eh, Gwen! Gue lagi nyari dokumen, katanya suruh cek arsip, tapi malah pusing sendiri.”
Gwen menyipitkan mata, menatap Deon seolah tahu dia menyembunyikan sesuatu. Tapi alih-alih menginterogasi, dia hanya mendekat lalu menepuk pundaknya.
“Hati-hati Gra, kadang yang kamu cari, bisa jadi hal yang bikin kamu gak bisa balik lagi.”
Deon terdiam. Untuk pertama kalinya sejak kembali ke masa lalu, dia merinding. Entah karena Gwen atau karena map yang masih berdebar di balik jasnya.
Deon menelan ludah. Kata-kata Gwen barusan menggantung di kepalanya seperti bayangan gelap yang belum mau pergi.
Tapi dia tersenyum tipis, memasang wajah polos seperti anak magang baru yang belum mengerti apa-apa.
“Maksud lo apa sih, Gwen? Kok lo ngomongnya kayak di film thriller?” candanya, setengah ingin mengalihkan, setengah menyelidik reaksi Gwen.
Gwen hanya terkekeh pelan, lalu menatap Agra dengan tatapan yang sulit dibaca. “Kadang, gue cuma ngomong asal. Tapi bisa juga nggak.”
Setelah Gwen pergi, Deon kembali fokus ke map tua di tangannya. Ia membawanya pulang diam-diam, dan begitu sampai di kontrakan kecilnya, ia langsung membuka isinya satu per satu.
Namun, yang dia temukan justru lebih membuat kepalanya berputar: dokumen audit keuangan yang dimanipulasi, tanda tangan palsu, transfer gelap dan sebuah foto tua yang membuat tubuhnya membeku.
Itu foto ruang rapat dengan semua direksi perusahaan dan Gwen. Gwen ada di foto itu. Duduk di sudut, memakai seragam kantor, terlihat jauh lebih muda tapi tak diragukan lagi itu dia.
“Lo kerja di perusahaan inisejak sepuluh tahun lalu?” gumam Agra kaget. “Tapi berarti umur lo-”
Sebelum dia bisa menyelesaikan pikirannya, pintu kontrakannya diketuk keras.
DUG! DUG! DUG!
“Gra, buka pintunya!” suara Gwen terdengar dari balik pintu, kali ini nada suaranya tak lagi santai tapi serius. “Kita harus bicara. Sekarang.”
•••