Di Kota Sentral Raya, kejahatan bukan lagi bayangan yang bersembunyi—ia adalah penguasa. Polisi, aparat, hingga pemerintah berlutut pada satu orang: Wali Kota Sentral Raya, dalang di balik bisnis ilegal, korupsi, dan kekacauan yang membelenggu kota ini.
Namun, ada satu sosok yang tidak tunduk. Adharma—pria yang telah kehilangan segalanya. Orang tua, istri, dan anaknya dibantai tanpa belas kasihan oleh rezim korup demi mempertahankan kekuasaan. Dihantui rasa sakit dan dendam, ia kembali bukan sebagai korban, tetapi sebagai algojo.
Dengan dua cerulit berlumuran darah dan shotgun di punggungnya, Adharma tidak mengenal ampun. Setiap luka yang ia terima hanya membuatnya semakin kuat, mengubahnya menjadi monster yang bahkan kriminal pun takut sebut namanya.
Di balik topeng tengkorak yang menyembunyikan wajahnya, ia memiliki satu tujuan: Menumbangkan Damar Kusuma dan membakar sistem busuk yang telah merenggut segalanya darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hidup Yang Tenang
Langit Kota Sentral Raya tampak mendung saat Guntur Darma melangkah ke dalam area pergudangan Sentral Logistik, tempatnya bekerja sejak lima tahun lalu. Udara pagi masih terasa segar, tetapi hiruk-pikuk aktivitas di dalam gudang sudah dimulai sejak subuh. Truk-truk pengangkut datang dan pergi, mengantarkan barang ke berbagai sudut kota.
Darma mengencangkan tali ranselnya dan menyapa satpam di pintu masuk. “Pagi, Pak Didi.”
Satpam tua itu mengangguk. “Pagi, Darma. Datang pagi seperti biasa?”
Darma tersenyum. “Kalau telat, nanti bos ngomel.”
Ia berjalan melewati barisan rak tinggi berisi berbagai jenis barang, mulai dari peralatan elektronik, bahan makanan, hingga pakaian. Gudang ini adalah salah satu yang terbesar di kota, menjadi pusat distribusi untuk banyak perusahaan besar.
Di meja administrasi, Darma meletakkan tasnya dan mulai memeriksa dokumen pengiriman hari ini. Sebagai staf yang mengurus data barang keluar-masuk, pekerjaannya menuntut ketelitian.
Baru saja ia duduk, seorang pria berperawakan besar menghampirinya. Doni, rekan kerjanya yang selalu ceria, membawa dua cangkir kopi. “Pagi, bos pekerja keras.”
Darma tertawa kecil. “Kopi pagi-pagi? Biasanya kamu minum teh.”
Doni duduk di kursi sebelahnya dan menyerahkan satu cangkir. “Khusus buatmu, biar semangat.”
Darma menghirup aroma kopi itu sebelum menyesapnya. Pahit dan kuat, persis seperti hidupnya. “Terima kasih. Kau sendiri bagaimana? Anak-anak sehat?”
Doni mengangguk. “Iya, alhamdulillah. Oh ya, nanti siang katanya ada inspeksi dari manajemen pusat. Jangan sampai ada kesalahan di dokumen.”
Darma menghela napas. Inspeksi seperti ini biasanya berarti kerja tambahan. Tapi ia tidak keberatan. “Baik, aku akan cek lagi semua laporan.”
Setelah obrolan singkat, Darma mulai tenggelam dalam pekerjaannya. Jemarinya lincah menari di atas keyboard, mencocokkan daftar barang dengan laporan pengiriman. Ia memastikan tidak ada yang terlewat.
Tiba-tiba, seorang supervisor bernama Pak Jaya datang dengan wajah serius. “Darma, ikut saya sebentar.”
Darma bangkit dan mengikuti atasannya ke sebuah sudut gudang. Pak Jaya menyerahkan sebuah dokumen. “Ini laporan pengiriman ke luar kota minggu lalu. Ada kejanggalan di angka stok.”
Darma mengambil kertas itu dan mengamati isinya. Matanya menyipit, membaca dengan teliti setiap angka. Ada selisih barang yang cukup signifikan. “Seharusnya jumlah ini tidak berbeda jauh dengan laporan awal. Saya akan periksa ulang.”
Pak Jaya mengangguk. “Bagus. Aku percaya padamu, Darma.”
Darma kembali ke mejanya dan mulai meneliti laporan dengan saksama. Ia tidak suka jika ada data yang tidak akurat. Setiap angka harus benar, karena satu kesalahan kecil bisa berarti kerugian besar.
Selama beberapa jam, ia berkutat dengan data. Berkali-kali ia membandingkan catatan di komputer dengan laporan manual. Hingga akhirnya, ia menemukan sesuatu yang aneh. Ada barang yang seharusnya tidak dikirim, tetapi tercatat telah keluar dari gudang.
Darma mengernyit. “Aneh. Ini seperti ada manipulasi data…”
Ia menatap angka-angka itu dengan perasaan tidak enak. Namun, sebelum bisa menyelidiki lebih lanjut, Doni datang dan menepuk bahunya. “Hei, sudah siang. Makan dulu, nanti kau sakit.”
Darma tersentak dari pikirannya dan melihat jam dinding. Sudah hampir jam satu siang. Ia menghela napas dan mengangguk. “Baik, aku ikut.”
Di kantin, Darma mengambil sepiring nasi dengan lauk sederhana. Ia duduk bersama Doni dan beberapa rekan kerja lain.
“Kau terlihat serius sekali,” kata Doni sambil mengunyah. “Ada masalah?”
Darma mengaduk nasi di piringnya, berpikir sejenak sebelum menjawab. “Mungkin ada kesalahan di laporan stok. Aku sedang menyelidiki.”
Doni mengangkat alis. “Kesalahan biasa atau sesuatu yang besar?”
Darma menatapnya. “Aku belum tahu.”
Obrolan mereka terhenti saat beberapa manajer dari kantor pusat tiba untuk inspeksi. Beberapa karyawan mulai terlihat gelisah, sementara Darma tetap tenang. Ia tahu pekerjaannya bersih, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Sore harinya, Darma kembali fokus pada laporannya. Namun, ada sesuatu di benaknya yang mengganggu. Ia merasa ada kejanggalan dalam sistem. Tetapi untuk saat ini, ia tidak memiliki bukti cukup.
Jam menunjukkan pukul tujuh malam saat ia akhirnya berkemas untuk pulang. Hari ini panjang, tetapi masih ada esok.
Saat ia berjalan keluar dari gudang, langit sudah gelap. Kota Sentral Raya tampak ramai dengan cahaya lampu jalan dan suara kendaraan yang berlalu-lalang.
Darma menghela napas. Ia tidak tahu bahwa hidupnya yang damai ini tidak akan bertahan lama.
Darma menaiki sepeda motornya dan melaju pelan menuju rumah. Udara malam di Kota Sentral Raya terasa lebih dingin dari biasanya. Lampu jalan menerangi aspal yang mulai retak di beberapa bagian, tanda kota ini tak sepenuhnya dirawat dengan baik.
Setelah sekitar lima belas menit berkendara, ia akhirnya sampai di rumahnya—sebuah rumah sederhana dengan cat putih yang mulai pudar. Ia mematikan mesin motor, lalu mengetuk pintu dua kali sebelum membukanya sendiri.
Begitu masuk, aroma masakan yang hangat langsung menyambutnya. Dari dapur, seorang wanita dengan rambut sebahu dan senyum lembut berjalan menghampirinya. Sinta, istrinya.
“Kamu pulang terlambat lagi?” tanyanya sambil tersenyum kecil.
Darma menaruh tasnya di meja. “Ada kerjaan tambahan. Inspeksi dari kantor pusat.”
Sinta menghela napas dan mengusap lengannya lembut. “Kamu kerja terlalu keras, Darma. Jangan sampai lupa istirahat.”
Sebelum Darma sempat menjawab, suara langkah kecil terdengar dari arah ruang tengah. Seorang gadis kecil berlari menghampirinya dengan mata berbinar. “Ayah pulang!”
Darma langsung berjongkok dan merentangkan tangannya. Dwi Handayani, putrinya yang baru berusia lima tahun, langsung melompat ke pelukannya.
“Ayah bawa apa buat Dwi?” tanyanya dengan wajah penuh harap.
Darma terkekeh dan mengeluarkan sesuatu dari kantong jaketnya—sebatang cokelat kecil. “Ini untuk gadis kecil Ayah.”
Dwi mengambilnya dengan wajah gembira. “Makasih, Ayah!”
Sinta hanya menggeleng, tetapi senyumnya tetap menghiasi wajahnya. “Kamu selalu saja membelikan sesuatu untuknya.”
Darma mengangkat bahu. “Dia kan anak Ayah.”
Mereka bertiga lalu menuju meja makan. Makanan sederhana tersaji di atas meja—sayur sop, tempe goreng, dan ikan bakar. Darma menatap keluarganya sejenak sebelum mulai makan.
Di saat seperti ini, ia merasa hidupnya sudah cukup. Sederhana, tetapi bahagia.
Namun, kebahagiaan ini tidak akan bertahan lama.