Sayangi aku.. Dua kata yang tidak bisa Aurora ucapkan selama ini.. Ia hanya memilih diam saat mendapatkan perlakuan tidak adil dari orang- orang di sekitarnya bahkan keluarganya. Jika dulu dia selalu berfikir bahwa kedua orang tuanya itu sangat menyayangi dirinya karena mereka yang tidak pernah memarahi bahkan menuntut dirinya untuk melakukan apapun dan sangat berbanding terbalik dengan perlakuan ke dua orang tuanya pada kakak dan adiknya.. Tapi semakin dewasa Aurora menyadari bahwa selama ini ia salah.. Justru keluarganya itu sedang mengabaikan dirinya.. Keluarganya tidak peduli dengan apapun yang ia lakukan ...
INGAT !!! Ini hanya cerita fiksi dimana yang mungkin menjadi tidak mungkin dan yang tidak mungkin menjadi mungkin..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#7
Happy Reading...
.
.
.
Rora menutup pintu kamarnya. Ia meremat tongkat yang berada di tangannya lalu mendudukkan dirinya sambil bersandar pada pintu.
"Kenapa harus bertemu dia lagi?" Ucap Rora lirih sambil memejamkan kedua matanya. Jika Dika adalah keponakkan dari Devano, bukan kah itu berarti mereka akan sering bertemu? Bukankah itu juga berarti ada kemungkinan juga dia akan bertemu dengan yang lain?
.
.
.
"Rora itu salah satu anak yang ikut program akselerasi.. Dia juga satu jurusan dengan Dika. Tapi setelah liburan semester empat tiba- tiba saja Rora mengajukan cuti." Ucap Dika. " Menurut pihak kampus, seharusnya Rora cuti hanya satu semester saja. Tapi sampai kami lulus Rora ternyata tidak pernah muncul kembali lagi. Dan informasi terakhir yang pihak kampus terima dari kedua orang tuanya adalah bahwa Rora tidak akan melanjutkan kuliahnya lagi."
Bara, Aluna, Citra, Ratna, Daniah, dan yang lainnya menyimak. Sejujurnya mereka juga merasa sedikit penasaran siapa sebenarnya sosok Rora. Perempuan yang selalu Elina lindungi dan sayangi itu.
"Orang tuanya." Ulang Elina.
Dika menganggukkan kepalanya. "Apa tante tidak tahu?? Rora itu termasuk salah satu mahasiswa yang berprestasi, jadi pihak kampus sangat menyayangkan jika dia sampai berhenti kuliah. Pihak kampus sempat menawarkan beasiswa penuh untuk Rora tapi di tolak oleh kedua orang tuanya. Bahkan setelah kejadian itu Rora dan keluarganya menghilang. Mereka membawa Rora pergi." Jelas Dika. "Tante, apa kebutaan Rora ada hubungannya dengan kecelakaan yang terjadi beberapa tahun lalu?"
Elina menganggukkan kepalanya. "Setahu tante seperti itu. Tetapi tante sendiri tidak tahu pasti ceritanya seperti apa." Elina menatap Dika. "Jika kamu teman Rora lalu kenapa dia seperti menghindari kamu?"
Dika menghela nafasnya. "Sebenarnya waktu liburan semester empat dulu Dika dan Rora sempat liburan bersama, tetapi ada sedikit kesalahpahaman..."
"Kesalahpahaman.."
Dika menganggukkan kepalanya. "Kesalahpahaman yang membuat hubungan kami seperti sekarang. Kami melupakan fakta bahwa Rora dua tahun lebih mudah dari kami semua." Ucap Dika sambil tersenyum miris. "Dan bahkan sepertinya sampai sekarang Rora belum bisa benar- benar memaafkan kami." Ucap Dika lagi.
"Dasar perempuan manja." Cibir Bara.
Dika menatap Elina. "Tante boleh tidak Dika bertemu dengan Rora?" Tanya Dika. "Sebentar saja." Mohon Dika saat melihat keengganan Elina. "Dika mohon."
"Sepertinya jangan sekarang." Jawab Elina saat mengingat kembali bagaimana reaksi Rora saat bertemu dengan keponakannya itu. "Maafkan tante." Ucap Elina lagi.
"Dika mohon.." Mohon Dika lagi. "Atau boleh tidak nanti Dika ikut mengantar pulang tante. Dika mohon."
"Bukannya tante melarang kamu sayang, tapi kamu baru sampai masa harus pergi lagi. Kamu disini saja dulu temani mama dan papa kamu..Mereka pasti merindukan kamu.." Ucap Elina berniat untuk menyindir Bara dan Aluna. "Nanti kalau kamu ingin bertemu dengan Rora kamu bisa ke rumah tante.." Ucap Elina lagi sambil mengusap lengan Dika.
"Tapi tante..."
"Bukankah lebih baik kalau kamu memanfaatkan cuti kamu dengan keluarga kamu saja. Lagi pula Rora tidak akan kemana- mana." Ucap Elina yang tidak bisa di bantah lagi oleh Dika. "Tante lihat Rora dulu ya." Pamit Elina pada Dika.
"Aku tidak menyangka kalau anak buta itu ternyata pintar." Bisik Daniah pada Ayudia.
"Iya mbak.. Aku juga tidak menyangka.. Apalagi ternyata dia buta karena kecelakaan." Balas Ayudia. "Mbak.. Mbak penasaran tidak dengan pertemanan antara Dika dengan gadis buta itu?" Tanya Ayudia.
"Dari pada pertemanan mereka, mbak lebih penasaran dengan keluarga gadis buta itu." Ucap Daniah.
.
.
.
Sepanjang perjalanan kepulangan mereka, Rora memilih diam sambil memejamkan kedua matanya. Sedangkan Elina berulang kali mencuri pandang ke arah Rora dengan khawatir. Dan kekhawatiran yang di tunjukkan Elina tak luput dari pandangan Bara yang membuat lelaki itu semakin merasa kesal.
"Ma.. Kita mampir ke All You Can Eat dulu ya.. " Ucap Bara sambil menolehkan kepalanya ke arah Elina.
Elina menggelengkan kepalanya. "Kita makan di rumah saja ya.. Nanti mama masakkan makanan favorit kamu." Jawab Elina lirih sambil menatap Rora yang sudah terlelap.
"Ayolah ma.. Bara lapar ma.. Kita mampir sebentar." Bujuk Bara.
"Papa pikir mampir sebentar tidak apa- apa ma.. Kita bisa membangunkan Rora dulu." Saut Devano.
"Tidak usah pa.. Kita langsung pulang saja.. Lagi pula Bara masih bisa tahan laparnya." Ucap Bara.
"Terima kasih sayang.. Mama janji setelah kita sampai mama akan langsung memasakkan makanan favorit kamu." Jawab Elina yang membuat Bara semakin merasa kesal. Sesungguhnya apa yang di ucapkannya tadi hanya sekedar basa- basi. Ia berharap dengan mengatakan itu mamanya akan mengiyakan ajakkannya. Tapi ternyata salah, justru mamanya malah mengucapkan terima kasih kepada dirinya.
.
.
.
Saat terbangun dari tidurnya, Rora langsung mengerutkan keningnya. Pasalnya saat dirinya terbangun sudah berada di atas tempat tidur. Rora bergegas mendudukkan dirinya lalu meraba mencari tongkat yang biasanya selalu ada di sisinya.
"Kemana tongkatku?" Ucap Rora saat tidak berhasil menemukan tongkatnya berada. Ia pun memilih bangun lalu berjalan sambil meraba menuju kamar mandi. Selesai dengan aktivitasnya di kamar mandi, Rora bergegas berjalan keluar dari kamarnya. Baru saja membalikkan badannya, Rora menabrak sesuatu yang keras.
"Maaf.. Aku tidak sengaja." Ucap Rora saat menyadari bahwa yang baru saja ia tabrak dan sekarang berada di hadapannya adalah Bara. Rora menundukkan kepalanya sambil menahan nafasnya. Ia tahu. Sangat tahu bahwa lelaki yang saat ini berada di hadapannya sangat sangat tidak menyukai dirinya.
"Kalau kamu sengaja itu namanya pura- pura buta." Ucap Bara sinis lalu berjalan pergi meninggalkan Rora.
Rora menghembuskan nafasnya perlahan setelah kepergian Bara dari hadapannya.
"Sayang.. " Panggil Elina sambil menuruni tangga. "Kamu sudah bangun ternyata. Baru saja tante ingin membangunkan kamu untuk makan malam."
"Maaf kan Rora..."
"Hei, kenapa kamu meminta maaf." potong Elina sambil mengusap kepala Rora. "Kamu tidak melakukan kesalahan apapun.. "Ucapnya lagi. "lebih baik sekarang kita makan dulu. Tante rasa om sudah menunggu kita." Ajak Elina sambil menuntun Rora.
"Tante." Panggil Rora setelah mendudukkan dirinya. "Apa tante tahu dimana tongkat Rora? Rora tadi sudah berusaha untuk mencarinya tapi tidak ketemu."
"Ahh.. Mungkin tertinggal di mobil." Jawab Elina.
"Kamu makan dulu sayang.. Nanti setelah makan om akan ambilkan." Saut Devano.
Rora menggelengkan kepalanya. "Tidak usah om.. " Tolak Rora. "Nanti aku bisa ambil sendiri."
"Tidak apa- apa sayang. Lebih baik kamu makan makanan kamu."
Rora tersenyum tipis.
"Ck." Bara berdecak. " Tidak kah menurut kalian sikap kalian ini terlalu berlebihan. Gadis ini hanya buta bukan cacat kaki atau tangan. Bahkan pendengarannya pun masih normal." Ucap Bara kesal.
"Bara!!!! Jaga ucapan kamu." Bentak Elina.
"Bahkan mama sekarang sudah berani membentak aku." Protes Bara.
"Itu karena kamu salah."
"Salah.. Dimana letak kesalahanku?" Bara emosi. " Ma dia hanya orang luar yang baru masuk kedalam keluarga kita..."
PLAKK!!!!
Satu tamparan berhasil mendarat di pipi Bara.
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak...