"Aku ingin kau menjadi orang yang menyusuinya."
Sienna menatap pria di hadapannya dengan mata membelalak, yakin bahwa ia pasti salah dengar. “Maaf, apa?”
Arsen Ludwig, pria yang baru diperkenalkan sebagai sponsor klub ice skatingnya, menatapnya tanpa ekspresi, seolah yang baru saja ia katakan adalah hal paling wajar di dunia.
“Anakku, Nathan. Dia menolak dot bayi. Satu-satunya cara agar dia mau minum susu adalah langsung dari sumbernya.”
Jantung Sienna berdebar kencang.
“Aku bukan seorang ibu. Aku bahkan belum pernah hamil. Bagaimana bisa—”
“Aku tahu,” potong Arsen cepat. “Tapi kau hanya perlu memberikan dadamu. Bukan menyusuinya secara alami, hanya membiarkan dia merasa nyaman.”
Ini adalah permintaan paling aneh yang pernah ia terima. Namun, mengapa ia tidak langsung menolaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
...****************...
Aku mundur selangkah, memberikan Nathan ke dalam gendongan Arsen.
"Kau aja yang kasih dotnya," ucapku, masih agak linglung dengan kejadian tadi.
Arsen menerima Nathan tanpa banyak protes, lalu menyodorkan dot ke bibir anaknya.
"Ayo, minum ini," gumamnya pelan.
Syukurlah, Nathan langsung menggigit dotnya dan mulai mengisap tanpa drama lagi. Aku menarik napas lega, tapi dalam hati masih ada yang mengusik.
Aku mengusap leherku, masih bingung dengan kejadian tadi. "Tadi itu… aneh."
Arsen yang tengah menepuk punggung Nathan melirikku sekilas.
“Apa yang aneh?” tanyanya.
Aku mengernyit, menatapnya tajam.
“Kau serius nanya itu?” balasku.
Dia hanya mengangkat bahu, ekspresinya tetap datar.
“Lupakan. Anggap aja nggak pernah terjadi,” gumamku.
Arsen terdiam sejenak, lalu menatap Nathan yang mulai mengantuk dalam gendongannya.
“Kalau itu maumu,” ujarnya.
Aku menatapnya sekilas, lalu buru-buru membuang muka.
“Ya, itu maumu juga, kan?” sahutku.
Arsen tidak menjawab. Aku pun memilih diam, membiarkan keheningan menyelimuti ruangan.
Lama-lama, aku malah merasa kikuk sendiri. Aku melirik ke arah jam dinding, lalu berdeham.
“Jadi… kau nggak kerja hari ini?” tanyaku.
“Kerja. Tapi aku sempatkan ke sini dulu,” jawabnya.
Aku menaikkan alis.
“Kenapa?” tanyaku lagi.
Arsen menepuk pelan punggung Nathan sebelum menjawab singkat, “Karena Nathan.”
Aku menyipitkan mata, merasa ada yang aneh dengan jawaban itu.
“Kau datang cuma karena Nathan?” desakku.
Sekilas ada jeda dalam ucapannya sebelum ia mengangguk. “Ya.”
Aku mendengus pelan. Bohong. Aku nggak tahu apa alasannya, tapi aku yakin dia nggak cuma datang buat Nathan.
“Kalau begitu, kau boleh pulang sekarang,” ujarku. “Aku mau ke tempat latihan.”
Arsen tidak langsung bergerak. Aku melirik ke arahnya, dia masih berdiri di sana dengan Nathan yang sudah tertidur pulas di gendongannya.
“Sekarang?” tanyanya.
Aku mengangguk sambil memakai jaket.
“Ya. Aku nggak mau bolos dua hari lagi.”
Arsen akhirnya menghela napas.
“Baiklah,” katanya. “Kami pergi.”
Aku mengikutinya sampai depan pintu, memastikan mereka benar-benar keluar. Begitu pintu tertutup, aku menyandarkan tubuh ke sana dan menarik napas panjang.
Apa sih maunya pria itu?
...****************...
Aku sampai di tempat latihan lebih awal dari biasanya. Rasanya agak aneh setelah dua hari libur, tapi ya sudahlah. Suara gesekan sepatu dengan es, suara coach yang keras, dan obrolan teman-teman tetap sama seperti biasa.
Begitu masuk ruang ganti, Maya langsung melirikku lewat cermin sambil menyisir rambutnya. "Tumben datang cepat. Kau kesambet, ya?"
"Aku butuh gerak," jawabku santai sambil melempar tasku ke bangku. "Di rumah malah ada saja yang datang mengganggu."
"Si duda itu lagi?"
Aku menghela napas.
"Siapa lagi kalau bukan dia?"
"Gila. Baru kali ini aku lihat kau sering ketemu pria di luar urusan kerja." ujar Maya sambil terkekeh.
"Bukan itu yang mau kubahas," potongku cepat. "Tadi malam aku dapat telepon dari nomor nggak dikenal."
Maya langsung berhenti menyisir. "Terus?" tanyanya, menatapku penuh selidik.
"Itu dari Rizky," lanjutku pelan.
Mata Maya langsung membesar. "Yang benar? Dia masih berani menghubungimu?" serunya, nyaris menjatuhkan sisir dari tangannya.
"Iya," aku mengangguk pelan. "Aku langsung matikan teleponnya. Aku nggak mau ada urusan lagi dengan dia."
Maya mendecak kesal. "Kurang ajar banget! Setelah semua yang dia lakukan, dia masih punya muka buat meneleponmu?" gerutunya sambil melipat tangan di dada.
Aku menyandarkan kepala ke loker, menatap langit-langit.
"Aku juga nggak ngerti. Udah tujuh tahun, Maya. Kenapa sekarang dia muncul lagi?" gumamku.
"Kau yakin dia nggak bakal ganggu lagi?" tanyanya, suaranya lebih lembut sekarang.
"Nggak tahu. Tapi satu yang pasti, aku nggak bakal biarkan dia masuk lagi ke hidupku." jawabku sambil menggeleng pelan.
Maya mengangguk puas.
"Bagus. Kau udah cukup menderita karena dia," katanya sambil menepuk bahuku pelan.
Aku tersenyum kecil, tapi entah kenapa, perasaan gak enak masih ada.
...****************...
Coach masuk ke ruang ganti dengan tampang serius seperti biasa. Tangannya nyilang di dada, matanya langsung nyari aku, lalu melirik Maya sebentar sebelum akhirnya balik fokus ke aku.
"Sienna, kau udah pikirin soal Milan?" tanyanya, tanpa basa-basi.
Aku nutup loker dan nyender santai. "Belum," jawabku jujur. "Masih bingung, sih."
Coach mendesah, terus duduk di bangku panjang sambil narik napas. "Dengar, Sienna. Ini kesempatan bagus. Kau butuh pengalaman lebih, apalagi kalau punya koneksi luas, jalanmu bakal makin gampang."
Maya langsung nimbrung. "Iya, Sien. Ini bakal ngebantu kariermu banget. Lagian, siapa tahu di sana kau bisa dapat sponsor baru?"
Aku ngelus tengkuk, mikirin jawaban. "Iya, aku tahu ini kesempatan bagus, tapi…"
"Tapi apa?" Coach nanya dengan alis naik. "Bukannya ini bukan pertama kalinya kau tanding di luar negeri?"
Aku diem sebentar, nyari alasan yang masuk akal. Tapi jujur aja, aku sendiri gak tahu kenapa masih ragu.
Coach nepuk bahuku, kali ini lebih lembut. "Kau tuh berbakat, Sienna. Jangan sampai kesempatan ini kelewat cuma karena kau terlalu nyaman di zona amammu."
Aku ngebuang napas panjang. "Oke, aku ikut."
Coach langsung senyum puas. "Bagus. Nanti kita bahas detailnya setelah latihan."
Maya nepuk lenganku, senyum lebar. "Akhirnya! Kau gak bakal nyesel."
Aku ketawa kecil, tapi entah kenapa ada sesuatu yang bikin perasaan jadi campur aduk. Mungkin karena ini berarti aku bakal lebih sering ketemu Arsen.
Setelah obrolan tadi, aku dan Maya langsung ganti baju latihan. Coach udah pergi duluan ke arena, mungkin buat nyiapin program latihan hari ini.
"Jadi kau bakal makin sering ketemu Arsen dong?" tanya Maya tiba-tiba, sambil ngerapihin rambutnya di depan cermin.
Aku yang lagi pakai sepatu skate langsung nengok. "Maksudmu?"
Maya nyengir kecil. "Ya, Milan itu eventnya perusahaannya, kan? Kau bakal ikut audisi model baju khusus figure skate juga, kan? Itu kan bagian dari sponsormu?"
Aku mendengus, ngeratain kaus yang kupakai. "Aku ke sana buat audisi, bukan buat urusan Arsen."
"Tapi tetap aja bakal sering ketemu."
Aku gak nyaut. Maya ada benarnya juga sih. Apalagi kalau Arsen makin sering muncul dengan alasan ‘Nathan’.
Kami keluar ruang ganti barengan, langsung masuk ke arena es. Udah ada beberapa atlet lain yang latihan, mereka muter-muter di tengah arena dengan gerakan luwes. Aku narik napas dalam sebelum turun ke es, Maya juga ikutan.
Baru juga mulai, coach udah berdiri di pinggir lapangan, tangan nyilang, ekspresinya serius seperti biasa.
"Oke, Sienna. Kau bakal fokus latihan program buat pertandingan nanti, tapi juga perlu latihan untuk audisi di Milan. Itu kesempatan besar untuk kariermu di luar dunia kompetisi."
Aku ngangguk. "Baik."
"Aku mau lihat stamina dan konsistensimu. Jangan sampai kehilangan fokus."
Aku mulai meluncur di atas es, tubuhku bergerak mengikuti alunan musik yang diputar dari speaker. Aku udah sering bawain program ini, tapi tetap aja setiap gerakan harus sempurna. Karena sekali gagal, nilainya bisa turun drastis.
Aku muter di udara, mendarat dengan mulus. Badanku udah otomatis gerak sesuai irama. Tapi di tengah-tengah latihan, pikiranku malah ke Milan.
Aku belum pernah ikut audisi model, apalagi untuk gaun figure skating. Aku lebih nyaman dengan seragam latihan dan kompetisi yang standar. Tapi coach benar. Ini kesempatan besar.
Lalu, pikiranku malah beralih ke Arsen.
Entah kenapa aku bisa membayangkan dia bakal ada di sana, duduk di bangku penonton, mengawasi dari kejauhan dengan ekspresi datar khasnya.
Dan entah kenapa, itu bikin jantungku sedikit berdebar.
Sial. Kenapa aku malah mikirin dia?
Karena terlalu melamun, aku kehilangan keseimbangan.
Bruk!
Aku jatuh ke atas es.
"Sienna! Kau baik-baik saja?" seru Coach, suaranya terdengar cemas.
Aku meringis, bangun perlahan.
"Aku nggak apa-apa," jawabku buru-buru, berusaha meyakinkan mereka.
Maya meluncur mendekat, ekspresinya penuh kekhawatiran. "Kau kenapa? Nggak fokus?" tanyanya, matanya mengamatiku dari kepala sampai kaki.
Aku ketawa kecil, walau agak canggung. "Mungkin tadi salah perhitungan sedikit," balasku sambil mengusap lutut.
Coach menatapku tajam. "Kau yakin nggak ada yang mengganggu pikiranmu?" tanyanya, masih ragu.
Aku menelan ludah, lalu tersenyum. "Nggak ada. Aku bisa lanjut," ujarku, mencoba terlihat meyakinkan.
Tapi dalam hati, aku tahu. Ada sesuatu yang mengganggu. Atau lebih tepatnya, seseorang.
.
.
.
Next 👉🏻