Yang satu punya banyak problematik, yang satunya lagi bocah bebas semaunya. Lalu mereka dipertemukan semesta dengan cara tak terduga.
Untuk tetap bertahan di dunia yang tidak terlalu ramah bagi mereka, Indy dan Rio beriringan melengkapi satu sama lain. Sampai ada hari dimana Rio tidak mau lagi dianggap sebagai adik.
Mampukah mereka menyatukan perasaan yang entah kenapa lebih sulit dilakukan ketimbang menyingkirkan prahara yang ada?
Yuk kita simak selengkapnya kisah Indy si wanita karir yang memiliki ibu tiri sahabatnya sendiri. Serta Rio anak SMA yang harus ditanggung jawabkan oleh Indy.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Paginya, ketika Indy membuka mata setelah semalam lelah menangis, seketika rasa pusing langsung menyergap. Dibalik tirai jendela, Indy melihat sinar matahari sudah terang benderang yang artinya dia sedikit kesiangan untuk datang ke kantor.
Indy segera bangun dari tempat tidur lalu membersihkan diri. Setelah rapi, Indy sudah siap pergi bekerja tanpa sarapan di rumah.
"Bi, sarapannya tolong di packing saja."
"Baik Non."
Bi Cucum gerak cepat melakukan yang diminta Indy. Seiring menghilang Bi Cucum dari pandangan, sosok Rio muncul menyegarkan mata. Rio sedang memakai jas almamater warna hitam sambil berjalan, tersenyum ke arah Indy, lalu mengangguk tipis ketika pandangan Indy bertembung dengannya.
Rupanya dia belum berangkat sekolah juga.
"Rio, kamu ke sekolah naik apa?" daripada berdiri canggung menunggu sarapan selesai di siapkan, lebih baik Indy berbasa-basi.
"Kebetulan hari ini saya nebeng temen naik motor."
"Biasanya pakai apa kalau nggak nebeng?"
"Jalan kaki."
Indy menghela nafas. Di pikiran Indy, Rio berjalan kaki karena jarak kontrakannya dulu hanya berjarak sepuluh meter. Tetapi sesungguhnya pikiran tersebut salah besar. Rio terbiasa berjalan sejauh berkilo-kilo meter jaraknya.
"Non, ini bekal sarapannya sudah siap." Bi Cucum menunjukkan tentengan paper bag.
"Terimakasih Bi." Indy mengambilnya kemudian ia beralih menatap Rio.
"Ini sarapan buat kamu. Bawa ke sekolah, dan jangan lupa dimakan."
Rio dan Bi Cucum saling berpandangan. Wajah keduanya menunjukkan rasa tidak enak.
"Maaf ini mah Non, Den Rio sudah sarapan lebih dulu. Malahan Den Rio yang masak sarapannya. Ncum juga ikutan makan hehe. Enak pisan euy masakan Den Rio teh." Bi Cucum mengacungkan dua jempol, sukses membuat Indy mati kutu. Tidak mau malaikat penolongnya merasa malu karena sudah salah mengira, Rio langsung mengambil tentengan dari tangan Indy.
"Ini saya taruh ke dalam mobil kakak. Sampai di kantor, jangan lupa dimakan." Rio buru-buru pergi dari sana meninggalkan Indy dan Bi Cucum.
Indy memegang dahinya tiga detik, turun menutupi kedua matanya lima detik, lalu turun lagi membekap mulutnya guna menutupi aksinya menertawakan diri sendiri.
Habis itu,
Keluar gerbang rumah, Indy pun kembali bertemu Rio. Dia sudah naik motor dibonceng oleh Dimas. Indy memanggil Rio sebelum dua bocah itu melaju memecah jalanan.
"Rio, nanti sore Vena akan menemui mu. Ah iya, untuk kamu-- siapa nama kamu?"
"Nama saya Dimas Alvian kak, panggilannya Dimas."
"Dimas, kamu sudah punya SIM?"
"Sudah kak."
"Bawa motornya jangan ngebut-ngebut. Ingat, kamu lagi bawa dua nyawa, jadi dilarang nabrak ataupun jatuh."
"Kalau ditabrak kak?" tanya Dimas.
"JANGAN SAMPAI DITABRAK!"
Sadar intonasi suara sudah meninggi, Indy menghela nafas dalam-dalam menetralkan emosional. "Pokoknya kalian jangan sampai celaka. Maaf sudah buat kalian tidak nyaman."
Dimas melongo melihat reaksi Indy soal pertanyaan yang keluar darinya. Ada-ada saja pertanyaan Dimas, bagaimana kalau ditabrak? dalam hati, Rio ingin sekali menyabet mulut Dimas pakai kanebo basah.
Sementara keadaan perempuan bernama Indy, Jiwa wanita tersebut kembali bergetar. Rio menyadari itu langsung memasukan kata 'ditabrak' tidak akan pernah dia ungkit di depan Indy selain kata 'ciken'. Semalam Rio berfikir keras tentang hal yang membuat Indy tidak karuan sampai meminum obat resep psikiater. Rio ingat, sehabis mengatakan ciken Indy langsung menyemburkan makanannya lalu terbatuk-batuk.
"Kak, saya akan berhati-hati dan saya pastikan Dimas tidak akan kebut-kebutan." Sedikit kalimat ini Rio berharap memberi ketenangan untuk Indy. Tetapi tidak semudah itu. Indy masih terlihat gusar lalu keluar dari mobilnya.
"Rio kamu ikut saya masuk ke dalam mobil. Dimas, maaf saya yang akan mengantar Rio ke sekolah." Dimas yang masih speechless hanya bisa mengangguk pasrah. Rio menuruti kemauan Indy masuk ke dalam mobil.
...****...
Depan gerbang SMA Langit.
Berhentinya mobil Indy disusul keluarnya Rio, mendapatkan hadiah tatapan skeptis dari orang-orang yang melihatnya. Rio tidak peduli, Indy pun terlihat acuh. Maka ditengah banyak pertanyaan di kepala orang-orang tentang kaitannya Rio terhadap wanita cantik yang mengantarkannya, Rio dan Indy tetap bersikap seperti biasa sebagaimana mestinya ketika mereka di rumah.
"Kamu bawa uang saku?"
"Bawa kak."
"Coba perlihatkan kepada saya!" Indy meragukan Rio. Anak itu merogoh kantung di balik almamater lalu memperlihatkan uang pecahan seratus ribu.
"Bagus. Jangan lupa jajan ya. Tidak usah irit-irit karena saya uhuk uhuk akan menambahnya jika memang kurang, hem, hem." Indy batuk kecil diikuti tenggorokan yang tidak nyaman. Wajahnya juga terlihat sedikit pucat.
"Kakak sakit?"
"Tidak!"
"Tapi kakak terlihat pucat. Saya perhatikan kakak juga batuk-batuk kecil. Apakah kakak merasa sesak dan tenggorokan kakak tidak nyaman?"
Kenapa anak ini tahu?
"Saya memang kadang-kadang suka seperti ini. Tidak apa-apa Rio, biasanya hilang setelah saya minum vitamin. Tadi katamu apa? saya pucat?" Rio mengangguk. Indy meminta bantuan Rio untuk mengambilkan lipstiknya. Wanita itu memoleskan beberapa sapuan merah muda, meratakannya dengan menggoyang-goyangkan bibir.
Sementara itu Rio berfikir tentang dosis ramuan yang ia buat sepertinya harus ditambahkan. Rio sudah mencampurnya di bekal sarapan Indy. Dan dia juga ingin memberikannya dalam bentuk lain.
"Kak, boleh saya minta sesuatu?" mendengar Rio berkata ingin meminta sesuatu, sudah seperti menemukan harta karun. Indy tidak menyia-nyiakan permintaan tersebut.
"Kamu minta apa? katakan!"
"Boleh saya pegang pergelangan tangan kakak?"
Mau apa dia? benak Indy. Tetapi dia tetap mengulurkan tangannya.
Rio memegang bagian pergelangan tangan Indy, memperhatikannya serius tanpa berkedip. Rio mengambil benda mirip pulpen dari dalam sakunya.
Ctek.
Benda itu menyala, menyoroti permukaan kulit Indy. Sementara Indy gagal fokus terhadap jarak wajah Rio yang terlalu dekat dengan tangannya. Indy nyaris tidak tahan dengan sapuan nafas anak itu. Sebab membuat seluruh bulu roma merinding ajep-ajep. Haruskah berteriak 'woy geli woy' untuk menghentikannya? pikir Indy.
Beruntung, Rio sudah selesai dengan kegiatan tersebut.
"Kak, saya minta kakak jangan lupa makan sarapannya. Habis itu kakak minum ini." Rio membuka tas, mengambil tumbler lalu kemudian memasukkan sesuatu ke dalamnya.
"Air apa tuh?"
"Ini air obat buat mengikis racun yang sudah terlanjur masuk ke tubuh kakak."
Mendengar itu, Indy mengerutkan kening. Rio yang sadar bahwa apa yang dia bilang bisa menimbulkan keraguan langsung mengambil tindakan. Pemuda itu meneguk sedikit air untuk membuktikan bahwa Rio tidak berusaha membohonginya.
"Ini aman kak, saya juga meminumnya. Saya mohon lakukan apa yang saya mau kak."
"Hem. Sana kamu turun, nanti terlambat." Tidak sampai menunggu habis sarapan, Indy sudah lebih dulu meneguknya--di depan mata Rio. Anak itu lantas menerbitkan senyum.
Sementara itu suara-suara di kepala orang-orang yang menyaksikan;
Rio jadi berondong simpanan.
Gila, kata ceweknya mau nambahin duit jajan kalau hem hem.
Rio cium tangan ceweknya berani banget di depan sekolah.
Ceweknya Rio habis olahraga bibir.
Dan banyak lagi spekulasi lain yang tidak benar.
.
.
.
Bersambung.
Heh, jd keinget gaya helikopter nya Gea sm Babang Satria🤣