NovelToon NovelToon
Love After Marriage

Love After Marriage

Status: tamat
Genre:Tamat / nikahmuda / Cinta setelah menikah / Diam-Diam Cinta
Popularitas:10.1k
Nilai: 5
Nama Author: Caroline Gie White

Indira dan Devian sama-sama dihadapkan pada kondisi traumatik yang sama. Sama-sama harus menelan pil pahit perselingkuhan. Indira memergoki pacarnya, Gilang berselingkuh dengan teman sekampusnya dan Devian dengan tragisnya melihat Mamanya berselingkuh dengan mata kepalanya sendiri, dirumahnya. Perasaan itu yang akhirnya bisa lebih menguatkan mereka untuk saling bantu melewati kenangan buruk yang pernah mereka alami.

Dan, takdir lebih punya rencana untuk lebih menyatukan mereka dalam sebuah pernikahan yang tidak mereka inginkan. Menikah di usia muda dan tanpa berlandaskan rasa cinta. Namun, Indira tidak pernah menyangka bahwa rasa nyaman yang ditawarkan oleh Devian pada akhirnya bisa membuat Indira tidak mau melepaskan Devian.

Akankan hubungan mereka baik-baik saja? Ataukah banyak konflik yang akan mereka hadapi dan semua itu berhubungan dengan rasa trauma mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caroline Gie White, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MEMBANTU MELEWATI MASA SULIT DEVIAN

"Aku sudah di taksi kok, mau ke kampus. Iya nanti aku kabarin lagi. Bye." Indira mematikan ponselnya dan memasukkannya ke dalam tas. Ketika menatap keluar jendela, dia melihat Devian melintas dengan sepeda motornya lalu berhenti di depan taksi Indira ketika lampu merah.

Itukan Ian. Dia mau kemana ya? Apa ke kampus?

Indira lalu menepuk bahu supir taksinya. "Pak, tolong ikuti motor yang di depan ya."

Si supir mengangguk dan mengikuti motor Devian yang ternyata bukan ke arah kampus mereka.

Lo sebenarnya mau kemana, Yan?

Taksi Indira berhenti tidak jauh dari Devian yang memarkirkan motornya di area pintu masuk menuju tempat wisata air terjun. Setelah membayar taksinya, Indira keluar dan buru-buru menghampiri Devian yang ingin berjalan masuk. Devian pun terkejut.

"Ndi, lo lagi apa?"

"Sorry, gue mengikuti lo tadi, gue pikir lo mau ke kampus."

Devian melihat jam tangannya. "Masih ada waktu kalau lo mau kuliah, ayo gue antar."

"Lo kenapa ada di sini? Kenapa gak kuliah?"

"Gue mau.. menenangkan diri dulu."

"Gue boleh.. menemani lo?"

"Gak perlu, Ndi, mendingan lo ke kampus ya." Devian meraih lengan Indira dan ingin menariknya menuju motor namun Indira menahannya.

"Please, gue gak mau ke kampus, gue mau menemani lo hari ini."

Devian menatap Indira lalu menggandeng tangannya. "Jangan salahkan gue karena lo yang memaksa." Devian lalu menarik Indira menuju pintu masuk taman wisata.

***

"Shit." Dengan kesal Gilang menghempaskan ponselnya di meja kantin kampus.

"Lo kenapa sih, Bro?" Tanya salah satu temannya.

"Cewek gue, tadi dia bilang sudah dijalan mau ke kampus, tapi sampai jam segini dia belum datang, padahal setahu gue, dia ada kuliah jam pertama. Dan anehnya pas gue telepon, katanya lagi diluar jangkauan."

"Macet kali, Lang. Tungguin saja, mungkin sebentar lagi sampai." Sahut temannya yang lain.

Gilang pun terdiam dengan pikiran yang tidak menentu. Apa mungkin ada hubungannya sama Devian?

***

Devian memimpin jalan menyusuri jalan setapak yang menanjak dan menurun yang terkadang berbatu. Indira terlihat kesusahan menyusulnya karena sepatu ketsnya tidak cocok dengan medan yang sekarang mereka lewati. Devian menoleh lalu berhenti ketika melihat Indira juga berhenti dengan nafas yang terengah-engah. Devian tersenyum dan menghampirinya sambil mengeluarkan botol minuman dari dalam tasnya dan memberikannya ke Indira.

Indira lalu duduk di sebuah batu besar dan minum. "Benar kata lo, mending gue kuliah karena kostum gue gak pas.”

Devian tertawa. “Gak terlalu jauh lagi kok, dan gue yakin lo pasti suka.”

Indira mengembalikan botol minum Devian lalu kembali berdiri. Devian menjulurkan tangannya ke arah Indira yang lalu disambutnya. Mereka kembali berjalan sambil bergandengan tangan.

***

Lusi sesekali memperhatikan Gilang yang terlihat tidak fokus sewaktu di kelas. Matanya terkadang mengecek ponsel yang dia sembunyikan dibawah buku kuliahnya.

"Kamu kenapa sih? Gelisah banget?" Bisik Lusi namun matanya tetap melihat ke arah dosen yang sedang menjelaskan di depan.

"Indi belum kasih kabar kalau memang dia sudah ada di kampus. Dari tadi, chat aku ceklis 1 dan asal aku telepon, selalu di luar jangkauan." Jelasnya juga sambil berbisik.

"Mungkin dia ada urusan lain."

"Aku yakin ini ada hubungannya sama Devian."

"Tapi kenapa kamu khawatir banget Indi sama Devian? Kan mereka cuma temenan."

"Karena aku tahu, sebesar apa perasaan Devian ke Indi."

Lusi pun terdiam dan membiarkan Gilang masih gelisah menatap layar ponselnya yang gelap.

***

Indira terlihat takjub melihat pemandangan di depannya. Sebuah air terjun tinggi yang terjatuh dari sebuah bukit.

“Sumpah Yan, ini keren banget!”

Devian tersenyum melihat Indira sedikit histeris saking senangnya. “Gue benarkan, lo pasti suka.”

“Gue gak menyesal deh sudah memaksa menemani lo.”

Devian pun tertawa lalu berjalan ke pinggir sungai dan duduk di batu besar. Indira pun mengikutinya dan duduk di sampingnya sambil memandang air terjun di depan mereka.

“Lo sering ke sini?”

“Sama Bokap dan.. Nyokap.” Devian membuka sepatunya lalu menggulung celana jeansnya kemudian mencelupkan kakinya ke dalam air. Indira pun melakukan hal yang sama.

“Gue mau menikmati ini sendirian, makanya gue berangkat pagi-pagi. Jadi gue bisa bilang lo itu penganggu.”

Indira pun tertawa. “Berarti lo egois, karena orang lain gak boleh menikmati hal seindah ini.”

Devian pun tersenyum. “Gilang tahu lo lagi sama gue?”

Indira menggeleng. “Tadi sebelum gue lihat lo di jalan, gue bilang mau ke kampus tapi pas gue mau mengabari dia kalau gue gak jadi kuliah, sinyal ponsel gue gak ada.”

Devian tertawa. "Jelas jarang ada sinyallah di sini. Karena siapapun yang ke sini, tujuannya cuma buat healing. Dan bisa gue pastikan dia pasti marah banget kalau tahu lo lagi sama gue di sini.”

“Mungkin."

"By the way, gue gak bakal bilang terima kasih ke lo, karena rencana gue berantakan gara-gara lo.”

“It’s oke, but I’ll say thanks for this (Gak pa-pa, tapi gue mau bilang makasih untuk ini).”

Devian kembali tersenyum dan mereka terdiam menikmati udara dingin dan juga percikan air terjun yang mereka rasakan.

“Lumayan ya, 4 jam tadi itu air terjun punya kita.”

Indira tertawa. “Kalau gak seramai itu pasti kita masih di sana ya.”

“Tapi mendingan kita turun sekarang sih, Ndi, lo lihat deh awannya, agak mendung, takutnya ntar hujan, jadi sekarang kita jalannya agak cepetan gak pa-pakan?”

Mereka pun mempercepat langkah mereka. Karena jalan yang curam dan juga licin, Devian dengan sigap meraih tangan Indira lalu menggandengnya dan terus membantunya melewati jalan agar gak terjatuh.

“Untung sudah sampai sini ya.”

“Iya, tapi maaf ya, lo jadi sempat kehujanan.”

“Gak terlalu basah kok, Yan, tenang saja.”

Devian menyeka air hujan yang ada di rambut Indira dan di pipinya lalu mengeluarkan jaket gunungnya dari tas dan memberikan ke Indira.

“Nih, pakai saja, pasti lo kedinginan, kan kostum lo gak pas sama udara di sini.”

“Gak pa-pa kok, Yan.”

“Sudah pakai.”

Indira lalu menerima jaket Devian dan memakainya. Semerbak harum parfum Devian yang ada di jaketnya masuk ke dalam hidung Indira yang membuatnya tersenyum.

“Makasih ya.”

Devian mengangguk. Mereka lalu terdiam menatap hujan yang semakin deras. Beberapa orang pun tampak berdatangan dan ikut berteduh di pos sebelum memulai pendakian. Karena banyaknya orang dan kecilnya pos, membuat Devian berdiri semakin merapat ke Indira.

“Maaf ya, Ndi, ini bukan keinginan gue.”

Indira tertawa karena Devian berdiri rapat di sampingnya tapi menghadap ke arahnya. “Gue paham kok, Yan, kalau sekarang lo lagi gak modusin gue, tapi manfaatin keadaan.”

Devian pun ikut tertawa lalu merapatkan jaket yang dipakai Indira. "Tangan lo masukkin ke dalam saku jaket saja, biar lebih hangat."

Indira menurut dan memasukan kedua tangannya ke dalam saku jaket. "Lo gak pa-pa gak pakai jaket?"

"Gue sudah biasa ke sini, jadi sudah paham sedingin apa udara di sini, jadi pakaian gue sudah cukuplah menahan dingin."

"Gue yang sudah pakai jaket saja masih berasa dingin, Yan."

Devian lalu mengeluarkan salah satu tangan Indira dari dalam saku kemudian menggenggamnya dan kembali memasukkan tangan mereka ke dalam saku.

"Jangan pikir macam-macam. Gue cuma gak mau lo semakin kedinginan."

Indira tersenyum dan membiarkan tangan hangat Devian menggenggam tangannya.

“Gue minta maaf ya, Yan, atas semua perlakuan gue ke lo.”

Devian tersenyum sambil menatap hujan yang turun. “Wajar kok karena gue sudah mengecewakan lo dengan gak jujur sama lo, jadi harusnya gue yang minta maaf.”

“Mungkin sudah waktunya kesalahpahaman kita kemarin diakhiri.”

Devian kembali tersenyum sambil mengangguk. Indira pun lalu ikut menatap hujan dan membiarkan tangan Devian semakin menggenggam tangannya.

Jujur perasaan gue belum berubah sedikitpun, Ndi, dan gue amat bersyukur untuk hari ini.

Perasaan apa ini, Yan?

“Lo beneran gak pa-pa gak pakai jaket?”

“I'm good, yang penting lonya gak kedinginan.” Sahut Devian saat mereka sudah di atas motor dalam perjalanan pulang.

Indira tersenyum. Tiba-tiba tangan Devian memegang salah satu tangan Indira yang ada di samping sedang memegang kemeja flanel kotak-kotaknya.

“Tangan lo dingin banget, Ndi, lo gak pa-pa?”

“Gak pa-pa, Yan.”

Tanpa Indira duga, Devian meraih tangannya dan satu-satu dilingkarkan di sekeliling perut Devian yang membuat Indira jadi memeluk punggungnya.

“Jangan dilepas.”

“Lo lagi modusin gue lagi ya?”

Devian tertawa sambil salah satu tangannya mengusap-usap tangan Indira agar terasa hangat. “Pikiran lo negatif terus.”

Indira tertawa.

Tangan Devian kembali ke stang motornya dan menambah kecepatan motornya. Indira semakin memeluk Devian sambil menopangkan kepalanya di bahu Devian.

Dari dulu gue selalu mendadak terpesona kalau mencium parfum Ian. Dan gue merasa nyaman banget sama dia hari ini.

Thanks, Ndi, untuk hari ini.

***

Indira turun dari motor Devian lalu melepas jaket dan tas Devian lalu mengembalikannya setelah sampai di depan gerbang rumah Indira. Devian memakai kembali tasnya setelah memasukkan jaketnya ke dalamnya.

"Thanks ya, Yan.”

“Kali ini gue yang harus bilang itu ke lo, thanks sudah memaksa menemani gue, karena kalau gak ada lo, pasti gue merasa lebih kesepian.”

“Anytime (kapanpun), Yan.”

“Gue balik ya, lo istirahat dan salam buat Om Haris dan Tante Nadia kalau mereka sudah pulang dari Jogja.”

“Ntar gue sampaikan ya. Lo hati-hati dan istirahat juga.”

Devian mengangguk lalu membawa motornya pergi dan Indira pun masuk ke dalam rumah tanpa tahu Gilang menatap mereka dari dalam mobilnya sambil terlihat marah.

“Jadi hari ini kamu pergi sama Devian dan gak kasih kabar sama sekali ke aku?”

“Aku minta maaf ya, Kak, semuanya diluar rencana dan waktu mau mengabari kamu, sinyalnya gak ada.”

“Seberapa penting sih Devian buat kamu? Sampai-sampai kamu sebegitu perhatiannya sama dia.”

“Bukan begitu, Kak. Aku cuma kasihan melihat kondisi dia sekarang.”

“Tapi kamu cewek aku, Ndi.”

“Aku tahu. Tapi kamu juga harus mengerti kalau Devian sahabat aku.”

“Iya sahabat tapi perhatian kamu ke dia melebihi perhatian kamu ke aku dan aku belum lupa ya, dia suka sama kamu, dan gak ada cowok yang gak khawatir ceweknya dekat sama cowok yang jelas-jelas suka sama cewek kita."

“Aku capek, Kak, kita selalu bahas hal gak penting ini. Karena kamu tahu, aku bisa memposisikan diri aku sendiri, untuk cowok aku atau ke teman aku. Dan kenapa sih kamu masih gak percaya sama aku?” Indira mematikan ponselnya dan menghiraukan Gilang saat meneleponnya kembali.

Indira pun melamun menatap keluar jendela kamarnya. Dari arah tempatnya duduk, dia bisa melihat pemandangan lampu-lampu taman kota yang berada tidak jauh dari komplek perumahannya. Pikirannya pun melayang memikirkan Devian. Ada rasa nyaman yang jarang sekali dia rasakan sewaktu bersama Gilang apabila sedang bersama Devian. Terlebih saat dia bisa mencium parfum Devian yang selalu bisa menghipnotisnya.

Indira tersenyum lalu meraih ponselnya dan membiarkan panggilan tidak terjawab dari Gilang. Dia pun terlihat mengetik sesuatu di ponselnya.

Lo lagi apa?

Beberapa detik kemudian balasan chatnya pun di terima.

Lagi lihat bintang.

Ngaco lo, kalau lagi gerimis, mana ada bintang.

Hahaha.. Btw, thanks for today.

Indira tersenyum. Thanks sudah buat kaki gue pegal-pegal.

Memang itu yang gue mau.

Sialan lo. Besok kuliah?

Belum tahu.

Tapi besok gue mau lihat lo di kampus.

Gue gak janji. Btw, lo gpp drmh sendirian? Pintu semua udah dikunci?

Aman. Knp? Mau modusin gue lagi?

Pikiran lo jelek mulu. Ywd istirahat.

Iya, lo juga istirahat, biar besok lo berubah pikiran. Bye.

Bye, Indira.

Lagi-lagi Indira tersenyum dan kembali memalingkan pandangannya ke luar jendela dan melamun.

Di kamar, Devian pun tersenyum setelah chat singkatnya dengan Indira. Dia merasa kehadiran Indira hari ini membuatnya jauh merasa lebih baik dan anehnya, perasaannya belum berubah sama sekali walaupun dia sadar, akan ada tembok besar apabila dia mau melangkah lebih jauh untuk hubungannya dengan Indira. Devian lalu terdiam menatap hujan dari balik pintu balkon kamarnya.

***

Keesokkan harinya, Indira tersenyum saat melihat Devian sudah duduk di bangku bagian paling belakang. Diapun menghampiri Devian yang sedang menulis sesuatu di buku catatannya lalu duduk di bangku sampingnya.

"Gue senang lo masuk hari ini dan gue gak mau ganggu lo karena gue yakin lo masih butuh waktu buat sendirian. Gue cuma mau.. kasih ini."

Indira mengeluarkan kotak makan bening berisi sandwich dari dalam tasnya dan memasukkan ke dalam tas Devian. Devian pun menatapnya.

"Dimakan ya, semoga lo suka." Indira beranjak dari tempatnya namun tangan Devian menariknya yang membuat Indira kembali duduk dan menatapnya.

"Kenapa, Yan?"

Devian hanya bisa menatapnya lalu menggeleng. "It's okay. Makasih ya, gue pasti suka."

Indira tersenyum. "Lo mau gue duduk di sini?"

"Gue mau banget tapi gue gak mau lo bermasalah lagi sama Gilang gara-gara gue."

"Kalau gitu, gue di depan ya."

Devian mengangguk sambil tersenyum dan membiarkan Indira bangun dari duduknya dan beranjak menuju bangku paling depan di samping Viana. Devian tersenyum dan kembali menulis.

Sesampai dirumah, Devian langsung masuk ke dalam kamar dan duduk di sisi ranjangnya menghadap balkon kamarnya. Biasanya mamanya selalu cerewet menyuruhnya berganti pakaian dan juga makan siang. Tapi beberapa minggu terakhir, rumahnya semakin terasa sepi dan hal itu yang membuat hatinya semakin sakit.

Tiba-tiba dia teringat oleh kotak makan yang diberikan Indira pagi tadi. Dia meraih tasnya lalu membuka dan mengeluarkan kotak makan berisi 2 potong roti lapis. Dia membukanya dan mengambil sepotong lalu memakannya sedikit demi sedikit tanpa menyadari airmata menetes dari matanya.

Aku kangen, Ma..

Indira menatap pintu kamar yang ada di hadapannya. Belum lama dia sampai di rumah, Devian memintanya untuk datang ke rumahnya dengan alasan yang belum jelas.

"Mas Ian, ada temannya." Ujar Bibi sambil mengetuk pintu kamar Devian. "Bibi tinggal ke bawah ya." Bibi berbalik menghadap Indira sambil tersenyum. "Ditunggu saja ya, Mbak, Mas Ian pasti sebentar lagi keluar. Bibi ke bawah dulu."

"Makasih ya, Bi."

Bibi pun pergi dan Indira kembali menatap pintu kamar Devian sampai yang punya kamar akhirnya membuka pintunya. Indira tersenyum menatap Devian yang belum berganti pakaian lalu memintanya masuk ke dalam kamar.

"Lo.. lo gak pa-pa?"

Devian menggeleng sambil menyeka airmata yang mengalir di salah satu pipinya. Indira langsung merengkuh Devian ke pelukannya.

"Gue yakin lo lagi gak baik- baik saja, Yan."

Devian lalu merespon pelukan Indira dan menangis. Indira hanya bisa mengusap-usap punggung Devian.

"Lo gak mau menemui Nyokap lo? Gue yakin Bokap lo gak akan melarang."

Devian menggeleng. "Gue gak tahu dia dimana sekarang. Dan dia sudah menutup akses buat gue dan Bokap."

Indira meraih tangan Devian yang duduk di sebelahnya lalu menggenggamnya.

"Maaf sudah merepotkan lo ya."

"Gue bakal ada buat lo, jadi jangan pernah merasa lo bakal sendirian."

"Kenapa waktu itu Gilang duluan ya yang lo lihat. Coba gue yang pertama kali muncul di hadapan lo, pasti ceritanya bakal beda."

Indira tertawa. "Lo hebat banget ya bisa menyimpan perasaan lo tanpa gue sadari."

"Nyokap pernah bilang, cinta itu harus diungkapkan, tapi berhubung lo keburu jadian sama Gilang, jadi kata Nyokap, gue bisa dekat dengan cewek yang gue suka dengan cara lain, ya biarpun gak ada sejarahnya cewek sama cowok bisa sahabatan tanpa baper."

"Dan lo kan yang ada di samping gue sekarang."

"Pasti Gilang bakal bunuh gue kalau tahu ceweknya ada di kamar cowok lain."

"Kita video call dia saja gimana?"

"Yakin?"

Indira tertawa. Devian semakin menggenggam tangan Indira lalu menatapnya.

"Makasih karena sudah mau menemani cowok semenyedihkan kaya gue."

"Ini cuma masalah waktu, Yan. Gue yakin lo bisa bangkit lagi kaya dulu."

Devian lalu menyandarkan kepalanya di bahu Indira lalu terpejam. Indira hanya bisa tersenyum dan terdiam menatap balkon kamar Devian.

Entah kenapa gue merasa nyaman banget sama lo, Yan. Apa mungkin ini alasannya kenapa Gilang gak suka sama kedekatan kita?

To be continued....

1
Zaza Eiyna
gilang vs Marsha
Yvonne Dumais
Episode nya tolong diterbitkan semua sekaligus donk...jangan satu2 setiap hari. terima kasih
Yvonne Dumais
episode nya tolong diterbitkan sekaligus semuanya donk....jgn satu persatu...terima kasih
Càröliné Gie White
Terimakasih bwt yang sudah baca story aku sampai sini... 🙏🥰
Putu Sriasih
Luar biasa
Càröliné Gie White
Jadi makin semangat buat up terus..
Càröliné Gie White
Iya kak, makasih buat supportnya ya 🙏
mustaqim jm
Masih baca sampe sini thor. semangat upnya
Pena Hitam
di ikalnin terus kak..
semangat yaa semoga booming
Galuh Jennaira
Mereka yang berantem, gw yang baper /Sob/
Galuh Jennaira
Ayo devian, buat indira jatuh cinta sama kamu
Galuh Jennaira
Bibit hadirnya pelakor
Galuh Jennaira
Devian cowok gentle bgt
mustaqim jm
Semangat upnya thor.
Pena Hitam
Bagus ko kak, penempatan kalimat maupun tanda baca juga tepat.
Cuma tambahan aja kak untuk dialognya di kurangi jd biar balance dengan penjelasan latar dll. Biar pembaca tidak bosan 🙏
Pena Hitam: sama-sama ka 🙏
Càröliné Gie White: Terimakasih kak masukannya..
total 2 replies
Càröliné Gie White
Selalu berusaha lebih baik dalam menulis.. Saran kalian amat sangatlah berarti.. Terimakasih sudah mampir utk membaca story aku..
Galuh Jennaira
Penggunaan gaya bahasa yang sederhana jd bisa dengan mudah diikuti.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!