NovelToon NovelToon
Spiritus

Spiritus

Status: tamat
Genre:Bullying dan Balas Dendam / Tamat
Popularitas:5.1k
Nilai: 5
Nama Author: Sayakulo

Jam tiga pagi, seorang lelaki dilempar ke kursi taman atas dosa yang bukan salahnya, seorang gadis telah jatuh hati dan sang pengagum iri.

Tinju melayang dan darah mengalir, sang lelaki hampir mati...

Namun!

Muncul iblis. Hitam emas. Sekali pukul dan sang pengagum terjatuh.

Siapakah sosok ini?

*mengandung kekerasan
*update setiap Senin & Kamis (20.00 WIB)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sayakulo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Datangnya Sejoli Lainnya

Pertanyaan inilah permulaan dari pertempuran kedua.

...----------------...

"Betulkah anak saya ngehajar kamu, nak?" pertanyaan itu diberikan setelah Godai menjawab pertanyaan mengenai namanya.

Sang pemberi pertanyaan sendiri adalah seorang pria berbadan besar, duduknya tegak, dan terdapat empat bintang di bahunya - dua di samping sisi - lelaki inilah yang menanyakan pertanyaan begitu janggal.

"Kalau bercanda, normal² aja pak kena pukul," jawab Godai.

"Pukul²-an, betul?"

"Kurang lebih, pak."

"Indra," lelaki itu menyebut nama.

"Iya, rama?" yang menyahut ialah lelaki berbadan gendut, si gempal, ternyata namanya Indra.

"Kamu ingat kamu mukul Godai ini di mana aja?"

"Enggak begitu ingat, rama."

"Di perut atau lengan?"

"Bisa jadi dua²nya, bisa jadi enggak, rama."

"Oke, kalau begitu, Godai," 'rama'nya Indra berpindah lawan bicara, "Kamu kena pukul Indra, enggak?" dirinya mengonfirmasi kepada korban.

"Mungkin kena ya, pak."

Jawaban macam apa itu.

Nadanya tak jelas.

Tak jelas apakah dirinya lupa atau memang terkena, tetapi tak mau mengutarakan.

"Daerah mana yang kena pukul?"

"Kalau dari perbannya aja pak, jari kiri, siku kiri, sama pelipis kiri, mungkin Indra mukulnya di salah satu dari tiga ini, tapi yang mana, kurang ingat."

"Terus kenapa bisa kamu jam tiga pagi di sana?" topik telah berpindah.

"Itu—" jawaban terhenti di tengah jalan, ia mengerti pesan yang diberikan oleh sang blasteran dan Indra.

Pesan yang berisi "tutup mulut" yang berasal dari tatapan tajam.

"Kenapa bisa?" pria berbintang empat kembali bertanya, "tidak sepantasnya anak SMA keluar di jam segitu."

Kemudian hening.

Stalemate.

Kondisi di mana kedua sisi yang berseteru tak mampu lagi maju karena faktor internal ataupun eksternal.

Faktor internal yang juga menjadi eksternal bagi semua yang berada di ruangan itu.

Bagi kedua anak setan, yakni Indra (si gempal) dan si blasteran, adalah kedua orangtua merka yang akan berubah kubu bilamana Godai mengatakan apa yang sebetulnya terjadi.

Di sisi lain, bagi Godai adalah kedua anak setan, yang - nantinya - pasti akan menyerang kalau saja ia berkata sesuai fakta.

Namun, pertanyaan ayahanda dari Indra lah yang menjadi faktor eksternal, yang keduanya ini menjadi campur aduk, sehingga, sebagaimana yang kunyatakan, faktor internal menjadi eksternal, berlaku juga sebaliknya.

Jelas, kesempatan Godai untuk memenangkan peperangan ini diberikan kepadanya, ibaratnya secara cuma².

Bilamana memang ia mainkan kartu as-nya (yaitu kebenaran dari peristiwa ini), dirinya akan menang, dan kalau saja lawannya menuduh kalau Godai telah 'membuka kartu', ia mendapat bahwa ia melaksanakan perintah; ia ditanya maka ia akan menjawab.

Nasib peperangan kini berada di tangannya - jawaban yang diberikan oleh Godai mampu menggulingkan meja permainan dan mengunci semua nasib para pemain.

Jelas, kalau saja diriku inilah Godai, jelas akan kukatakan apa yang memang fakta, biarpun Indra nanti akan menyangkalnya, yang berarti akan ada disparitas (perbedaan) dalam kenyataan.

Tak lain adalah indikasi fabrikasi dari fakta, dalam kata lain, satu dari dua orang itu akan berdusta.

Di stalemate inilah Godai terdiam - tak menjawab.

Dalam kata lain, dirinya mengibarkan bendera putih.

Dirinya menyatakan kekalahan dan akan menjadi pihak yang didominasi oleh para pemenang.

Inilah kebodohan yang dipilih oleh Godai Hasairin, orang yang kini kubenci karena tindakan buta akibat aksi goblok yang diambil.

Namun, karena kebodohan inilah muncul oposisi baru, pihak yang mendukung Godai, kalau bisa dibilang demikian.

"Permisi pak, barangkali saya dapat mengutarakan pendapat saya tentang ini," suara tenang, tak tajam, mencairkan ruangan.

Pembicara itu adalah orang yang berada di sebelah kiri Indra (kanan dari perspektif Godai), di sofa yang berbeda. Sosok rapih, dasi biru menggelantung dari leher yang tertutupi kerah kemeja putih, sebuah kacamata menghalangi mata hitamnya dan Godai.

"Saya observasi kalau anak² ini hanya terluka di bagian hidung, sedangkan Godai di sini terluka di tiga tempat: jari kiri, siku kiri, dan pelipis kiri, betul Pak Kepala Sekolah?" dirinya mengajak pribadi yang sedari tadi tak ingin ikut campur.

"Betul, pak," responnya, walaupun terasa dipaksakan.

Sebab dirinya tersentak untuk berkata demikian.

Jelas karena ia tak menyangka ia akan ditarik dalam permasalahan ini, tetapi juga disembunyikan, ia mencoba untuk tetap kompeten, sedang kurasa sebaliknya, kukatakan kepadanya, "Memang tugas seorang kepala sekolah hanya menonton?"

Pastinya pertanyaan itu takkan dijawab, karena tak adapun dari mereka yang mampu melihat atau mendengarku, biarpun begitu, tetap kualirkan emosiku dengan pertanyaan itu, meskipun tak ada gunanya.

"Agak janggal menurut saya, pak, bu," lanjut pria berdasi biru, "kalau memang pukul²an, kenapa bisa anak saya ini—" dirinya membahas lelaki yang berada di sebelah.

Sebelumnya sudah disebut dua dari tiga trio setan itu, sehingga inilah tiang listrik.

"—Cuma kena pukul di hidungnya aja, begitupun juga yang lain, sedangkan Godai ini lukanya paling banyak. Kalau memang cuma bercanda, antara Godai ini jadi yang paling sial, atau memang ada kasus lain, betul Pak Kepala Sekolah?" lanjut ayah dari tiang listrik.

"Godai, pertanyaan saya belum kamu jawab, kenapa bisa kalian berempat ada di taman jam tiga pagi?" ayah Indra kembali bertanya.

Di kesempatan kedua ini - yang jarang didapatkan oleh orang² - Godai secara bodohnya mengulangi tindakan yang sama.

"Kita bercanda aja, pak, dan tau²nya udah jam tiga," begitulah jawaban tolol dari lelaki berambut putih.

Kini, kepala botak yang disebut kepala sekolah langsung masuk, "Berarti sudah jelas ya, bapak ibu, anak² ini memang bercanda dan kelewatan, yang penting mereka sekarang aman," ucapnya ringan.

"Mungkin lain kali, Godai, Indra (si gempal), Kasa (blasteran), sama Raider (tiang listrik) kalau bercanda lebih hati² ya, kalian bikin orangtua kalian khawatir, kelas kan ya omongan bapak?"

Keempat anak itu mengangguk.

Tiga dari mereka menang.

Satu kalah.

Si kepala botak tak mau pusing.

"Baik, bapak ibu, barangkali ada yang mau dikatakan ke anak²?" tanya si botak dengan nadanya yang ramah, pura² ramah, senang karena kesulitan telah lewat dan tuntas.

Bapak berdasi biru hanya mengangguk.

Dan satu²nya ibu di ruangan itu mengangguk sedikit, tapi kepalanya tetap diangkat tinggi, tak ingin kehilangan sepercik harga diri.

"Kalau begitu, dipersilahkan bapak ibu untuk kembali ke aktivitas masing-masing," tak ada kata² maafkan saya tidak dapat mendidik anak² ini dan karenanya kecelakaan ini terjadi keluar dari mulut kepala botak itu.

"Kalau begitu, saya izin pergi, terima kasih, pak."

"Sama² Ibu," sambut kepala sekolah kepada artis cantik tapi berhati angkuh, dirinya pergi dahulu.

Anaknya juga tak kalah angkuhnya - lagipula, buah jatuh tak jauh dari pohonnya - mengikutinya pergi setelah ibundanya menepuk tangan dan mengatakan "Ayo kita pergi".

Tindakan ini kemudian diikuti oleh para orangtua yang lain dengan buah hati mereka mengikuti, setiap "terima kasih, pak" yang diutarakan oleh para orangtua dibalas dengan "sama² pak" dan senyuman.

Tersisalah lelaki berambut putih dan lelaki tanpa rambut.

"Godai," dirinya dipanggil.

"Iya pak?" Godai menjawab, dirinya masih duduk, tak berpindah sejak tadi, yang terlihat hanyalah punggung sang kepala sekolah.

Kemudian mukanya terlihat, dan dari muka itu kepala sekolah tanpa nama itu berkata, "Lain kali kalau bercanda hati² ya, cegah teman²mu itu untuk tidak sampai jam tiga pagi mainnya," dengan senyuman seorang muka dua.

Godai terdiam.

"...Baik, pak."

"Yasudah, kamu kembali ke kelas, jam istirahat sudah mau selesai," perintah sang kepala sekolah.

"Baik, pak," kata Godai sambil mengangkat diri - bersiap untuk pergi.

Dirinya melewati pintu, "Belajar yang serius ya," kepala sekolah itu memberi nasihat.

Nasihat yang memang, betul, tapi perlukah?

Godai tak berkata apa².

Kemudian kelas lewat.

Kemudian istirahat makan siang.

Kemudian kelas kembali.

Kemduain bel pulang berbunyi.

Kemudian lorong² dipenuhi murid² lain, tetapi Godai tak ada diantaranya. Tidaklah berbincang sambil tertawa, tidak merencanakan mau jalan² ke mana, dan tentunya tidak duduk² berdua di atas bangku di lorong, menikmati yang kata orang 'cinta anak SMA', tidaklah satupun dari itu dialami olehnya.

Dan tidaklah satupun orang berkata kepadanya kecuali sepatah-dua patah tentang kegiatan sekolah semacam "PR" atau "ujian".

Ada beberapa yang memang perlu tahu, ada juga yang melakukan karena iba, harapannya adalah mereka dapat setidaknya mengangkat semangat, dengan sepatah dua patah.

Tapi, selayaknya sepatah dua patah, takkan cukup untuk menjadi dekat.

Dirinya adalah sebatang kara, tak ada teman, tak ada teman yang disaudarakan.

Hingga, di sore, ketika segalanya masih ramai - bagi siswa yang pulang, mereka tak lagi di sana, bagi siswa yang memiliki kegiatan tambahan, mereka masih di sana - kutemukan diriku menyaksikan begitu banyak manusia, tetapi tidak sebaliknya.

Ada rasa tertentu yang aneh, tetapi perasaan ini sudah pernah kulalui, ini hanyalah pengulangan dari apa yang telah terjadi di taman, hanya berbeda di tempat dan suasana.

SMA, atau yang dijabarkan sebagai Sekolah Menengah Atas di plakat, spanduk, kalender di ruangan kepala sekolah; di seragam para siswa, dan logo besar yang terpampang di lantai lapangan - baik rumput atau indoor - tersebar begitu banyak tempat sampai tak mungkin diriku akan lupa tentangnya.

Sebab di manapun dan kemanapun diriku melirik, atau mataku mendarat, pastinya akan ada logo dan singkatan dari kata "Sekolah Menengah Atas" itu, sesuatu yang bentuknya tak dapat kudeskripsikan, tetapi dapat diinterpretasikan.

Oleh diriku tentunya.

'Bibit muda yang masih paruh terkembang'.

Dalam arti, para murid di sana adalah calon yang masih belum matang, dan itulah yang menjadi fokus sekolah ini.

Tentu, ini hanyalah hasil dari interpretasiku dan ada kemungkinan bahwa diriku salah. Bilamana memang betul seperti itu, maka mohon maaf.

Namun, kalau interpretasiku itu benar, maka izinkan diriku tertawa, karena begitu ironis yang terjadi di sini. Izinkan diriku menjelaskan arti dari tawa itu.

Bukankah sekolah itu lembaga pendidikan yang berusaha agar muridnya itu berda di jalan yang benar, tetapi kejadian yang melibatkan Godai dan ketiga orang itu (yang mulai sekarang kusebut sebagai Trio Setan) bisa disebut 'jalan yang benar'?

Apakah menendang orang lain dikarenakan seseorang menyukai orang itu, adalah alasan yang membenarkan akan tindakan demikian?

Melihat tanggapan dari kepala sekolah, si botak tanpa rambut ataupun nurani, yag sama sekali tak mempermasalahkan, maka kuanggap sekolah ini membenarkan perilaku itu.

Sehingga, menurutku begitu lucu interpretasiku tadi.

'Bibit muda yang masih paruh berkembang' tanpa melihat bibit apa.

Apakah bibit racun, obat, api, atau antara bibit kriminal dan ksatria?

Semua dibina sampai penuh terkembang.

Tentu, diriku aslut untuk niat dari sekolah itu untuk mengeluarkan potensi dari muridnya, tapi juga terheran (lalu tertawa) karena sekolah ini akan menghasilkan potensi kontradiksi yang kemungkinan hari melahirkan perpecahan terbesar.

Sebab disinilah dilahirkan polisi terhebat juga teroris kelas kakap.

Lalu, setelah pemikiran ini, dan setelah diriku puas berpikir demikian dan tertawa, diriku kembali kepada anak tolol yang kubenci, Godai Hasairin, yang kini masih sebatang kara di dalam ruangan penuh buku.

Berbagai macam buku.

Namun tak ada satupun dari macam itu ada di dalam matanya, di bawah pandangan atau sorotannya, tak masuk ke dalam perhatiannya, lelaki itu dalam posisi duduk dengan kedua lengan mencium meja.

Di atas lengan itu, terdapat muka yang ditopang oleh keduanya.

Tak ada suara, tak ada gerakan.

Diriku mendekati, tentu dengan rasa benci yang masih ada, tapi di sisi lain, rasa ketidakadilan membakar diriku begitu panas, satu lawan tiga, kapankah itu akan adil?

Dan pertempuran itu berubah, bertambah menjadi enam (yang kemudian jadi tujuh) melawan satu (tak lain tambahan satu di enam adalah si kepala botak) - satu remaja melawan tiga remaja & empat dewasa, kapankah itu akan adil?

Kepada keadilan ini diriku meminta, menginginkan begitu keras.

Namun, apa yang dapat kulakukan, diriku hanyalah seorang hantu kara - sebagaimana dirinya.

Tetapi keadilan itu kemudian datang.

Dirinya datang melalui pintu depan.

Diikuti dengan "Permisi".

'Permisi' yang diminta oleh seorang gadis.

1
laesposadehoseok💅
Terperangkap di dalamnya
87K: betul kak, dianya ditelan sama tiang listrik.

Makanya kata mama, jangan main keluar di jam tiga pagi(⁠.⁠ ⁠❛⁠ ⁠ᴗ⁠ ⁠❛⁠.⁠).
total 1 replies
Nurqaireen Zayani
Makin penasaran! 🤔
87K: Makasih kak, semoga kakak makin kepo sama ceritanya(⁠・⁠∀⁠・⁠)
total 1 replies
∠?oq╄uetry┆
Ngakak parah!
87K: Halo kakk, semoga kakak terhibur, kalau boleh tau bagian mana ya yang bikin kakak ngakak◉⁠‿⁠◉
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!