Pernikahan adalah ibadah terpanjang suami istri.. Dalam pernikahan kita harus bisa menjaga hubungan tetap harmonis agar awet dan langgeng..
Tapi bagaimana, saat usia pernikahan menginjak usia 15 tahun, jika suami kita, tidak peduli lagi?
Jangankan kata cinta...
Perhatian kecil saja sudah sulit di gapai..
Alin.. perempuan berhijab berusia 35 tahun, meratapi rumah tangga nya yang sudah tak harmonis lagi seperti dulu..
Suami nya menjadi dingin sejak 6 bulan yang lalu..
Alin berusaha mengoreksi diri sendiri apakah ada yang salah dengan diri nya, mempercantik dirinya, membuat dirinya lebih menarik lagi dihadapan suami..
Namun sebab Dery tak menoleh padanya lagi, bukan lah sebab Alin tak menarik lagi, melainkan karena ada cinta lama nya Renata yang datang kembali dalam hidup suami nya..
Apakah perceraian jalan terbaik..
Atau bertahan menahan luka, demi sebuah cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sanayaa Irany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.7 Meminta pendapat
Kami menyelesaikan shalat ashar dengan khidmat, memang benar.. Saat kita sedang jenuh dan penat mengahadapi situasi masalah, Allah lah tempat mengadu paling baik dan tepat.
Hatiku sedikit tenang, meskipun rasa sakit nya masih ketara. Aku putuskan untuk mengajak anak ke mall sembari menikmati sore menjelang malam.
Sesampai nya ditempat yang kami tuju, anak-anak langsung pergi ke wahana permainan, aku menunggu mereka tak jauh, masih bisa terawasi gerak gerik mereka dari pandangan ku.
“Loh Bu Alin ya?” Sapa seseorang yang suara nya seperti tak asing, saat aku menoleh, benar saja.. Ternyata Bu Ustadzah yang biasa mengisi kajian di majelis yang akhir-akhir ini sering aku sambangi.
“MasyaAllah Bu Sarah..” Aku langsung menyambut nya dengan mencium tangan nya dan memeluk nya.
“Bu Alin sama anak-anak ya..”
“Iya Bu.. Tuh mereka lagi main disana, Ibu sendiri sama siapa?” tanya ku mengedarkan pandangan ku kearah sekitar Bu Sarah, tak ada siapa-siapa disana.
“Kebetulan saya sendiri Bu, tadi saya mampir karena ada yang mau saya beli dulu. Suami saya juga lagi diluar kota, Ibu kan tau kalau saya belum punya anak.. Jadi beginilah Bu..” Yang aku tau, Ustadzah Sarah ini adalah istri yang mau dipoligami, aku tak tahu seluas apa hati nya, hingga ia mengizinkan suami nya untuk menikah lagi.
“Ya sudah, kalau gitu Ibu bisa gabung bersama kami, nanti pulang nya saya antar Bu..” tawar ku pada nya.
Seusai anak-anak main, aku mengajak Ustadzah Sarah untuk makan bersama kami.
“Ummi, Ada Abi disana, sama perempuan yang waktu itu datang kesekolahan kami!” Rafa menarik ujung baju ku dan membisikan kalimat itu padaku, aku mengedarkan pandangan ku kearah yang ditunjuk putra ku tersebut.
Degh!
Meskipun aku sudah tahu jika suami ku sudah menikah lagi dengan perempuan lain, tetap saja rasa nya sakit, bahkan lebih sakit karena aku melihat nya lagi.
“Bu Alin?” Panggil Bu Sarah padaku, buru-buru aku mengusap tetesan air mata disudut mataku.
“Eh iya Bu.. Ayo kita makan!”
Perut yang semula lapar, kini mendadak jadi kenyang dan sulit terisi.
“Bu Alin gak apa-apa?” tanya Bu Sarah yang seolah paham aku sedang tidak baik-baik saja.
“Saya tahu.. Laki-laki yang berada diujung sana.. Suami Ibu kan? perempuan disamping nya itu..”
“Istri kedua nya!” tukas ku dengan penuh penekanan, kedua putra ku langsung menoleh kearah ku saat kalimat itu lolos dari bibirku begitu saja. Bu Sarah tiba-tiba membisu, mungkin dia menjadi kikuk saat ia mengetahui suami ku punya istri lain.
“Kalau ingin menangis, menangislah Bu..”
“Aku sudah lelah menangis Bu, rasanya air mata pun sudah tak ingin keluar lagi dari sana.”
“Kenapa lelaki selalu begitu, ia selalu merasa mampu mempunyai istri lebih dari satu, dia tahu dan paham betul.. Jika wanita itu rapuh dan tak berdaya, lantas apa semua itu bisa dijadikan alasan untuk nya menikah lagi?” jawaban dari Sarah membuat aku terperangah, akan kah selama ini ia juga enggan dipoligami?
“Bu Sarah, maaf aku tidak bermaksud menyinggung rumah tangga Ibu.”
“Tidak Bu, bukan salah siapa-siapa... Kenapa Ibu harus minta maaf, Bu Alin masih muda, masih bisa menentukan pilihan dan hidup.. Jika pada akhir nya kita tidak bisa bertahan, untuk apa menyiksa diri sendiri dengan membiarkan sebuah luka tetap menganga?? Jiwa dan raga kita perlu bahagia Bu, karena fitrah nya kita sebagai wanita adalah kelemahan.. ”
“Saya bicara begini bukan karena saya menentang poligami, bukan.. Bu Alin juga tahu kalau suami saya juga punya istri lain, bahkan madu saya sampai dua, saya menerima karena saya terbukti tidak bisa mempunyai keturunan.. Dan demi Allah saya ridho Bu, meski terkadang rasa cemburu itu selalu ada. Semua perempuan sama, ingin dicinta, dimanja dan disayang suami nya.. tapi kalau dalam hati kita sulit sekali untuk ikhlas, bukan surga yang kita dapatkan, tapi malah menumpuk dosa, kita jadi dzalim terhadap suami, melalaikan tugas kita karena rasa sakit yang selalu mendera.”
Aku menunduk, benar.. Aku tak bisa bertahan.. hatiku tak sekuat itu.
“Lalu kenapa Ibu masih bertahan?”
Bu Sarah tersenyum mendengar pertanyaan ku, apa pertanyaan ku menyakiti hati nya.
“Bu Alin, usia saya sudah setengah abad, sudah tidak muda lagi, apa yang mau saya perjuangkan lagi, saat akhir nya lelaki ku memilih wanita lain untuk ada didalam hati nya, sekarang ini saya sudah terbiasa Bu, sedangkan Bu Alin masih muda, masih bisa menentukan pilihan.”
“Apa kah saya salah jika saya tidak bisa bertahan dengan suami saya Bu?”
“Tidak salah Bu, kita menolak dipoligami bukan karena kita menyalahi syariat yang ada.. Itu hak masing-masing individu.. Ada yang berlapang dada serta ikhlas, ada yang memang tidak terima dengan semua itu, tidak terima nya lebih ke misal nya.. Oh untuk apa saya berusaha pura-pura kuat, dan merasa bisa dipoligami, nyata nya hati kita tidak mampu, hati kita selalu berontak, ujung-ujung nya kita jadi tidak ikhlas melayani suami, kita menginginkan surga , namun nyata nya dosa saja yang kita dapatkan.. ” terang Bu Sarah, aku memandang kedua putra ku, mereka seakan tahu jika saat ini aku rapuh, kedua tangan mereka menggenggam erat tangan ku.
“Ummi kita pulang saja, kami sudah kenyang!” ucap Rafi.
“Ya sudah Ayo..”
“Alin?” suara bariton laki-laki menghentikan aktifitas tangan ku untuk memasukan ponsel kedalam tas ku. Aku menoleh kearah Mas Dery, dan wanita itu tetap mesra menggandeng mas Dery.
Astaghfirullah.. Sakit sekali rasanya hati ini.
“Abi, dia siapa?” tanya Rafa menuding anak yang kuperkirakan usianya sekitar 7 atau 8 tahun, Mas Dery seperti bingung hendak menjawab apa, dia menoleh kearah ku meminta bantuan untuk menjelaskan pada anak-anak, namun aku tak ingin membantu nya. Biar dia sendiri yang menjelaskan siapa anak itu pada anak kandung nya sendiri.
“Ini anak tante Renata sayang, anggap tante Renata ini mama kamu juga ya, dan dia..Anggap dia sebagai adik perempuan kalian juga ya?” Mas Dery berucap sangat lembut pada Rafa dan Rafi.
“Kenapa tante ini harus ku panggil mama, Ibu ku hanya satu Bi, Ummi.. Tidak ada ada yang lain!” jawab Rafa dengan tegas. Dan Rafi hanya mengangguk membenarkan perkataan kakak kembarnya.
Ku lihat Renata seperti salah tingkah dengan keadaan ini, ku akui dia memang cantik, rambut nya lurus dan panjang, badan nya bagus serta kulit nya yang putih bersih, jadi ini wanita yang kau cintai itu mas?
“Alin.. Ini Renata... Dia..”
“Bu Sarah, mari saya antar pulang.. Ini sudah hampir Maghrib, kita harus shalat Maghrib dulu kan?” ucapku memotong pembicaraan Mas Dery.
“Mbak suami mu sedang bicara, kenapa kau begitu tidak sopan nya memotong pembicaraan nya!” imbuh Renata membela suami nya.
“Maaf Renata, aku sedang terburu-buru untuk shalat Maghrib, jadi maaf!” Aku langsung berjalan keluar menuju parkiran, semua mengekori ku dari belakang tanpa banyak bertanya.
Tak akan lagi kubuka pintu rumah tangga untuk mu mas, tidak akan pernah...