Aruna yang sedang menikmati masa kuliahnya yang santai tiba-tiba dipaksa pulang ke rumah untuk sebuah "makan malam darurat". Ia mendapati keluarganya di ambang kehancuran finansial. Ayahnya terjerat hutang pada keluarga Gavriel, sebuah klan penguasa bisnis yang kejam. Aruna "dijual" sebagai jaminan dalam bentuk pernikahan politik dengan Damian Gavriel, pria dingin yang mempesona namun manipulatif
bagaimana cara aruna mengahadapi takdirnya?..... yuk, baca selengkapnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Arsila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6
Damian berjalan mendekat, tidak ada sedikit pun rasa bersalah di wajahnya yang tampan. Ia justru memungut salah satu lembar kertas itu dengan tenang.
"Itu disebut strategi bisnis, Aruna. Aku menginginkan sesuatu, dan aku menciptakan jalan untuk mendapatkannya. Kamu harusnya tersanjung karena aku harus bersusah payah menghancurkan sebuah perusahaan hanya untuk membawamu ke sini."
"Tersanjung?! Mas gila!" Aruna berteriak, air mata mulai menggenang di matanya.
"Ayahku hampir kena serangan jantung karena ini! Ibu menangis setiap malam! Dan Mas bilang aku harus tersanjung?"
Damian mencengkeram rahang Aruna dengan lembut namun sangat kuat, memaksanya menatap mata hitam yang tak menyisakan ruang untuk belas kasihan.
"Jangan menangis. Kamu terlihat jauh lebih buruk kalau menangis. Bukankah kamu suka komedi? Anggap saja ini lelucon terbaikku, Aruna. Aku membeli hidupmu, dan sekarang, kamu tidak punya tempat untuk kembali."
Aruna menepis tangan Damian dengan kasar. "Mas mungkin bisa membeli hutang keluargaku, tapi Mas tidak akan pernah bisa membeli tawaku lagi."
Damian tersenyum miring senyum yang kini terlihat seperti duri yang menusuk jantung Aruna.
"Kita lihat saja nanti. Di mansion ini, tawamu adalah tugasku untuk mengaturnya."
Aruna mundur selangkah, menyadari bahwa jerat sutra yang selama ini ia anggap "nyaman" kini telah berubah menjadi duri-duri tajam yang mulai berdarah. Perang yang sesungguhnya baru saja dimulai.
Aruna menatap Damian dengan tatapan yang belum pernah pria itu lihat sebelumnya tatapan tanpa binar jenaka, tanpa ada niat untuk melontarkan lelucon receh. Di ruangan yang sempit dan berbau kayu mahal itu, Aruna merasa seperti sedang berhadapan dengan iblis yang memakai setelan desainer Italia.
"Jadi, selama ini Mas Damian menonton saya?" suara Aruna bergetar, bukan karena takut, tapi karena amarah yang mendidih.
"Mas menonton saya menangis melihat Ayah putus asa, Mas menonton saya menyeret koper ke sini seperti domba yang pasrah, dan Mas tertawa di balik meja ini?"
Damian melangkah satu tindak lebih dekat, mengabaikan jarak yang berusaha diciptakan Aruna. "Aku tidak tertawa, Aruna. Aku sedang mengamati. Ada perbedaan besar antara menertawakan dan menikmati hasil kerja keras. Kamu adalah investasi paling mahal yang pernah kubeli, dan aku tidak ingin investasiku rusak karena emosi yang tidak perlu."
"Investasi?" Aruna tertawa getir, sebuah tawa yang terdengar pecah. "Mas benar-benar sakit. Mas butuh dokter jiwa, bukan pengacara."
Aruna mencoba menerobos jalan keluar, namun Damian dengan sigap mencekal lengannya. Cengkeramannya tidak menyakitkan, tapi begitu terkunci sehingga Aruna merasa seperti dijepit oleh borgol baja.
"Lepaskan!"
"Belum saatnya, Aruna," bisik Damian tepat di depan wajahnya. "Kamu sudah membaca isinya, jadi mari kita buat kesepakatan baru. Kamu tetap menjadi 'istri' yang sempurna di depan publik, tetaplah menjadi Aruna yang ceria dan konyol yang disukai media, dan aku akan memastikan ayahmu tidak akan pernah tahu bahwa akulah yang menghancurkannya. Bayangkan, apa yang akan terjadi pada jantungnya jika dia tahu putri kesayangannya tidur satu ranjang dengan orang yang membunuh mimpinya?"
Wajah Aruna memucat. Ancaman itu telak menghantam ulu hatinya. Damian tahu persis di mana titik terlemah Aruna: cintanya pada keluarganya.
"Mas... Mas benar-benar duri dalam sutra ini," bisik Aruna dengan air mata yang akhirnya jatuh membasahi pipinya.
"Dan kamu adalah mawar yang terjerat di dalamnya," balas Damian dengan nada yang mendadak lembut, tangannya terangkat untuk menghapus air mata Aruna, sebuah gestur yang sangat manipulatif karena sedetik kemudian ia kembali menarik diri dengan dingin. "Sekarang, kembalilah ke kamarmu. Cuci wajahmu. Besok kita ada sesi foto untuk majalah gaya hidup. Aku ingin kamu terlihat bahagia—sebahagia saat kamu makan martabak telur tadi siang."
Aruna tidak menjawab. Ia berbalik dan berjalan keluar dari ruang kerja itu dengan bahu yang merosot. Namun, saat ia sampai di pintu, ia berhenti sejenak. Tanpa menoleh, ia berkata, "Mas mungkin bisa memaksa saya tersenyum di depan kamera. Tapi ingat satu hal, Mas Damian... di setiap senyum yang saya berikan nanti, ada kutukan yang sedang saya susun untuk Mas."
Damian hanya berdiri diam di tengah kegelapan ruang kerjanya, menatap pintu yang tertutup. Untuk pertama kalinya, kemenangannya terasa sedikit hambar. Ia melihat map merah yang berserakan di lantai, lalu beralih menatap tangannya yang tadi menghapus air mata Aruna. Ada getaran kecil di sana yang tidak bisa ia jelaskan dengan logika bisnis manapun.
Malam itu, di bawah atap mansion yang megah, dua orang tinggal dalam kesunyian yang mencekam. Aruna meringkuk di tempat tidurnya, memeluk piyama bebeknya erat-erat, menyadari bahwa mulai besok, komedi hidupnya telah resmi berubah menjadi sebuah sandiwara yang mematikan.