Raska dikenal sebagai pangeran sekolah, tampan, kaya, dan sempurna di mata dunia. Tak ada yang tahu, pendekatannya pada Elvara, gadis seratus kilo yang kerap diremehkan, berawal dari sebuah taruhan keji demi harta keluarga.
Namun kedekatan itu berubah menjadi ketertarikan yang berbahaya, mengguncang batas antara permainan dan perasaan.
Satu malam yang tak seharusnya terjadi mengikat mereka dalam pernikahan rahasia. Saat Raska mulai merasakan kenyamanan yang tak seharusnya ia miliki, kebenaran justru menghantam Elvara tanpa ampun. Ia pergi, membawa luka, harga diri, dan hati yang hancur.
Tahun berlalu. Elvara kembali sebagai wanita berbeda, langsing, cantik, memesona, dengan identitas baru yang sengaja disembunyikan. Raska tak mengenalinya, tapi tubuhnya mengingat, jantungnya bereaksi, dan hasrat lama kembali membara.
Mampukah Raska merebut kembali wanita yang pernah ia lukai?
Atau Elvara akan terus berlari dari cinta yang datang terlambat… namun tak pernah benar-benar pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Rumah yang Tidak Pernah Adil
Gayus menggeleng pelan.
“Tidak sesederhana itu, Om.”
Ia berhenti sejenak, memilih kata. “Secara psikologis,” lanjutnya hati-hati, “Elvara bukan sekadar teman belajar bagi Raska.”
Nata menatapnya lebih fokus.
“Dia berbeda dari gadis lain,” lanjut Gayus. “Tidak caper. Tidak baper. Tidak mendekati Raska karena status, fisik, atau kekayaan. Dia cuek… dan percaya diri dengan dirinya sendiri.”
Gayus menghela napas pelan. “Elvara memperlakukan kami semua sama. Termasuk Raska.”
Ia menatap Nata lurus.
“Dan yang paling penting, dia menerima Raska apa adanya. Dengan traumanya. Tanpa merasa perlu memperbaiki, mengasihani, atau mengagungkannya.”
Vicky ikut masuk, senyum miring di wajahnya. “Cewek itu nggak pernah ngerendahin Raska, Om. Nggak peduli dia anak orang kaya, dingin, atau susah didekati.”
Ia mengangkat bahu. “Buat Elvara, Raska ya… Raska. Normal.”
Nata terdiam.
Asep yang sejak tadi gelisah akhirnya angkat suara. Kali ini tanpa bercanda. “Dan Om harus tahu satu hal.”
Nata menoleh.
“Raska itu,” lanjut Asep, suaranya lebih rendah dari biasanya, “nggak pernah ngerasa cukup buat siapa pun.”
Ia menelan ludah. “Di rumah, dia anak yang trauma. Di luar, dia cowok yang dituntut selalu kuat.”
Asep menghembuskan napas pendek. “Sama Elvara… dia cuma jadi Raska.”
Kalimat itu jatuh berat.
Gayus menutup dengan suara yang lebih tenang, tapi tajam. “Jadi kalau Om bertanya kenapa Raska menyukai Elvara,” katanya, “bukan karena rangking. Bukan karena kepintaran.”
Ia menatap Nata lurus.
“Tapi karena untuk pertama kalinya, ada seseorang yang melihatnya bukan sebagai pangeran sekolah, anak orang kaya, atau anak yang rusak, melainkan sebagai pria yang layak.”
Sunyi.
Nata tidak langsung menjawab. Tangannya mengepal perlahan di atas meja.
Untuk pertama kalinya sejak lama, ia menyadari satu hal yang menusuk lebih dalam dari tuduhan mana pun—
Putranya menemukan rumah… di luar dirinya.
Sunyi itu belum benar-benar pergi ketika Nata kembali menatap ketiganya.
Satu per satu. Seolah sedang menimbang kebenaran dari wajah-wajah muda di hadapannya.
“Kalau begitu,” ucapnya akhirnya, suaranya tenang, terlalu tenang, “kenapa Elvara pergi?”
Pertanyaan itu jatuh pelan. Namun beratnya terasa seperti batu.
Asep, Vicky, dan Gayus saling pandang. Tak satu pun langsung menjawab.
Ada keraguan di mata mereka. Bukan karena tak tahu, melainkan karena tahu terlalu banyak.
Untungnya, pintu VIP kembali terbuka. Pramusaji masuk, mendorong troli berisi hidangan yang sejak tadi dipesan.
Piring-piring disusun rapi. Aroma makanan hangat memenuhi ruangan, memecah ketegangan yang hampir mencekik.
Nata mengalihkan pandangan sejenak. “Kita makan dulu,” katanya. “Nanti kita lanjut.”
Kalimat itu bukan perintah. Lebih seperti penangguhan.
Mereka mengangguk.
Makan berlangsung dalam keheningan yang sopan. Sendok dan garpu bergerak. Tidak ada yang benar-benar menikmati rasa.
Sesekali Asep melirik Vicky. Vicky membalas dengan tatapan singkat. Gayus hanya menunduk, seolah sedang merangkai kalimat di kepalanya.
Ketika piring-piring mulai kosong dan minuman tinggal separuh, Gayus meletakkan sendoknya lebih dulu.
Tanpa diminta.
“Om,” katanya pelan.
Nata mengangkat wajah.
“Soal pertanyaan Om tadi…” Gayus berhenti. Menoleh ke Asep dan Vicky.
Dua anggukan kecil menjawabnya.
Nata tidak menyela. Tangannya terlipat di atas meja, menunggu.
Gayus menarik napas lebih dalam sebelum akhirnya berbicara. Nada suaranya tetap tenang, namun kini terasa jauh lebih berat.
“Awalnya… Raska mendekati Elvara bukan karena ingin belajar bersama. Bukan pula karena perasaan.”
Sunyi kembali turun.
“Dia melakukannya karena taruhan.”
Alis Nata sedikit berkerut.
“Taruhan?”
Gayus mengangguk.
“Dengan Roy.”
Nama itu menggantung di udara. Tak diucapkan keras, tapi cukup untuk membuat dada Nata mengencang seketika.
Asep menelan ludah, lalu ikut bicara, kali ini terdengar lebih serius dari sebelumnya.
“Roy bilang, Raska gak pantes digelari pangeran sekolah. Karena, masih ada satu cewek di sekolah kami yang sama sekali nggak peduli sama Raska.”
Ia berhenti sejenak.
“Elvara.”
“Kami sudah berusaha mencegah,” sambung Vicky pelan. “Tapi Roy tahu persis tombol mana yang harus ditekan.”
Gayus menatap Nata lurus-lurus. “Taruhan itu bukan soal Elvara, Om.” Ia menarik napas pelan. “Tapi soal warisan.”
Ruangan terasa menyempit.
Nata menatap mereka bergantian.
“Warisan?”
Tak ada yang langsung menjawab.
Asep, Vicky, dan Gayus saling pandang, seolah memastikan keputusan yang sama.
Vicky akhirnya bersuara. Ia menyandarkan punggung, suaranya rendah, hampir dingin.
“Yang kalah harus menandatangani surat pernyataan. Legal. Sah di mata hukum.”
Ia berhenti.
“Nggak akan menuntut sepeser pun dari warisan keluarga. Saham. Properti. Apa pun yang Om punya.” Ia mengangkat bahu tipis. “Hidup murni pakai kemampuan sendiri.”
Tangan Nata mengepal erat di atas meja. Rahangnya mengeras. Darahnya mendidih, bukan karena taruhan itu sendiri, melainkan karena siapa yang memulainya.
“Masalahnya,” sambung Gayus, suaranya kini lebih pelan, “Raska gagal di satu hal.”
“Apa?” Suara Nata hampir tak terdengar. “Dia jatuh sungguhan?”
Asep mengangguk. “Parah, Om.”
Vicky tersenyum tipis, pahit. “Elvara nggak pernah tahu soal taruhan itu. Dan Raska… nggak pernah cukup berani buat jujur.”
Gayus menutup dengan satu kalimat yang jatuh pelan, namun menghantam tepat sasaran.
“Ketika Elvara akhirnya tahu sebagian kebenaran, dia pergi bukan karena merasa dibohongi.”
Ia menatap Nata lurus.
“Tapi karena dia sadar… sejak awal, keberadaannya dipertaruhkan.”
Sunyi.
Nata tak bergerak. Tangannya mengepal semakin erat, seolah menahan sesuatu yang hendak pecah di dadanya.
Untuk pertama kalinya, ia melihat garis yang selama ini terputus, antara Roy, ibu Roy, Raska… dan dirinya sendiri.
Dan untuk pertama kalinya pula, ia menyadari satu kebenaran yang lebih menyakitkan dari kesalahan Raska mana pun.
Taruhan itu lahir dari rumah yang tak pernah benar-benar adil.
Dan dari keserakahan yang selama ini ia biarkan tumbuh.
***
Nata duduk sendiri di ruang kerjanya.
Lampu meja menyala redup, memantulkan bayangan tegas di wajahnya. Beberapa berkas terbuka di hadapannya, namun tak satu pun benar-benar ia baca.
Ketukan pelan terdengar di pintu.
“Masuk.”
Roy muncul setelah mendapat izin. Sikapnya rapi, wajahnya datar seperti biasa, topeng yang selalu ia pakai di hadapan Nata.
“Ada apa, Pa?” tanyanya.
“Duduk,” ucap Nata singkat.
Roy menarik kursi dan duduk berhadapan dengannya, dibatasi meja kerja besar yang selama ini menjadi jarak tak kasatmata antara ayah dan anak.
Nata menatap Roy lama, terlalu lama.
“Papa menyekolahkanmu agar kau cerdas,” katanya akhirnya, suaranya datar dan terkendali. “Bukan untuk berjudi.”
Roy mengernyit tipis. “Apa maksud Papa?”
Nata tersenyum kecil. Senyum yang tak menyentuh mata. “Kalau kau begitu suka taruhan,” lanjutnya pelan, “Papa bisa beri kau uang satu miliar.”
Roy membeku.
“Ambil uang itu. Pergi dari rumah ini.” Nada Nata tetap tenang. “Dan jangan pernah menginjakkan kaki lagi di sini.”
Tangan Roy mengepal di atas pahanya. Rahangnya mengeras, tapi ia masih berusaha menjaga suara tetap stabil.
“Papa serius?”
Nata mengangguk kecil. “Jangan berpura-pura tak tahu. Kau bertaruh dengan kakakmu.” Tatapannya menajam. “Mempertaruhkan warisan… bahkan sebelum Papa mati.”
Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Di sekolah, kau belajar apa? Atau sekarang mata pelajaran favoritmu judi online?”
Roy tertawa pendek. Bukan geli, lebih seperti ejekan.
“Raska ngadu, ya?” katanya dingin. “Kekanakan sekali.”
Tatapan Nata mengeras. “Kakakmu tak pernah mengadu,” balasnya tenang. “Papa tahu dari orang kepercayaan Papa.”
Roy tertawa lagi. Kali ini lebih pahit. “Wajar,” katanya. “Papa memang selalu mengawasinya. Anak kesayangan Papa.”
Nada suaranya naik satu oktaf, meski masih tertahan. “Papa tahu nggak rasanya dibandingkan terus?” lanjut Roy. “Papa nggak adil.”
Nata tak menyela.
“Dia tinggal di apartemen mewah,” Roy melanjutkan, semakin emosional. “Sementara aku di rumah ini, uang jajan dibatasi. Minta motor disuruh nabung.”
Nata menatapnya tajam. “Apartemen itu milik mendiang ibunya,” katanya dingin. “Mobil itu juga.” Ia menahan napas. “Kau tidak berhak iri.”
Roy berdiri setengah, emosinya akhirnya tumpah. “Tentu saja aku iri!” suaranya meninggi.
“Ibunya punya segalanya! Tapi Papa nggak pernah kasih apa-apa ke aku dan Mama!”
BRAK!
...🔸🔸🔸...
...“Tidak semua luka lahir dari kebencian....
...Sebagian tumbuh dari perlakuan yang tidak pernah benar-benar adil.”...
...“Yang paling kejam dari sebuah taruhan...
...bukan siapa yang kalah,...
...melainkan siapa yang dijadikan objek.”...
...“Kesalahan orang tua jarang berhenti pada satu anak....
...Ia diwariskan, diam-diam, pada yang lain.”...
...“Rumah bisa melahirkan cinta....
...Dan pada saat yang sama, menumbuhkan iri.”...
..."Nana 17 Oktober"...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Kak Nana, Up Babnya 🙏🙏🙏😁