Kisah dewasa (mohon berhati-hati dalam membaca)
Areta dipaksa menjadi budak nafsu oleh mafia kejam dan dingin bernama Vincent untuk melunasi utang ayahnya yang menumpuk. Setelah sempat melarikan diri, Areta kembali tertangkap oleh Vincent, yang kemudian memaksanya menikah. Kehidupan pernikahan Areta jauh dari kata bahagia; ia harus menghadapi berbagai hinaan dan perlakuan buruk dari ibu serta adik Vincent.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Vincent menatap tajam pada Areta yang kini terikat dan terbelenggu oleh borgol serta rantai perak di samping ranjang.
Matanya memancarkan kombinasi gairah dan amarah kepada Areta.
Hukuman fisik dan mental baru saja ia mulai dan
tanpa berkata apa-apa lagi, Vincent meraih tubuh Areta dan merebahkannya di atas ranjang king size berseprai sutra hitam.
Areta memejamkan matanya rapat-rapat, berusaha memutus kontak dengan kenyataan yang menyakitkan ini.
Vincent mencondongkan tubuhnya, mencengkeram rahang Areta, dan mencium bibirnya dengan sangat brutal.
Ciuman yang diberikan oleh Vincent sangatlah kasar.
Dengan gerakan cepat yang didorong oleh kemarahan, Vincent merobek gaun hitam tipis yang dikenakan Areta, simbol perlawanannya, hingga terlepas dari tubuhnya.
Setelah itu ia melucuti setelan tuksedo yang ia kenakan.
Dalam hitungan detik, mereka berdua sudah tidak mengenakan sehelai benang pun.
Tangan Vincent bergerak cepat dan menuntut, menjelajahi setiap inci kulit Areta yang kini terpapar.
Pria itu menuruni tubuh Areta, meninggalkan jejak panas ciumannya.
Ia menyesap dan mencumbu area intim Areta dengan sengaja, mencari reaksi, mencari penyerahan.
Tubuh Areta tersentak. Rasa sakit bercampur sensasi asing membuat Areta menggelinjang tanpa sadar.
"Ah... Vincent..." Desahan lirih dan tertekan yang keluar dari bibirnya.
Vincent mendongak, menatap wajah Areta yang masih tertutup kelopak mata.
"Buka matamu, Areta," perintah Vincent dengan suaranya yang serak.
Ia ingin memastikan gadis itu menyaksikan dan merasakan setiap detik kepemilikannya.
Areta menggelengkan kepalanya keras-keras, air mata kembali mengalir dari sudut matanya yang terpejam.
Ia tidak sanggup menatap mata Vincent yang sedang melakukan hubungan intim dengannya.
Keputusan Areta untuk menutup matanya adalah keputusan satu-satunya
Vincent yang sudah tidak sabar lagi kini membuka kedua kaki Areta.
Ia segera memosisikan dirinya dan langsung memasukkan senjatanya ke mahkota Areta, tanpa memberikan waktu bagi Areta untuk beradaptasi.
Areta tersentak, rasa sakit yang membakar menjalar di sekujur tubuhnya.
Cengkraman borgol pada pergelangan tangannya terasa menyakitkan.
Dengan cepat, Vincent menutup mulut istrinya dengan ciuman khasnya yang brutal, menenggelamkan setiap jeritan dan protes Areta.
Di tengah ciuman yang menyesakkan itu, Areta membuka matanya dan melihat suaminya yang bergerak maju mundur, mengklaimnya dengan tanpa ampun.
Areta menggelengkan kepalanya di sela ciuman, mencoba meminta Vincent untuk menghentikannya.
Ia mencoba mendorong dada Vincent, namun sia-sia.
"VINCENT!!" jeritnya, suaranya tertahan di bibir Vincent.
Intensitas yang cepat dan kekuatan dominasi Vincent membuat tubuh Areta mencapai batas. Ia mendapatkan puncak yang membuatnya terkejut dan ia langsung lemas seketika.
Vincent melepaskan ciumannya, menyeringai melihat kondisi Areta yang tak berdaya dan basah oleh keringat dan air mata.
"Banjir sekali kamu, sayang," bisik Vincent dengan nada puas.
Vincent tidak berhenti dan ia kembali melakukannya sampai dua jam penuh, mengambil hak kepemilikannya berulang kali, memastikan Areta memahami siapa pengendalinya kini.
Ketika akhirnya ia mencapai batasnya dan tidak bisa menahan diri lagi, ia mengeluarkan benihnya dan menyirami rahim Areta.
Areta yang kelelahan dan terkuras energinya langsung pingsan di pelukan suaminya, menyisakan keheningan mencekam dan bau dominasi di kamar pengantin yang seharusnya romantis itu.
Keesokan paginya pukul sembilan pagi, Vincent membuka matanya.
Ia merasakan tubuh Areta yang ada di pelukannya bergetar hebat.
Ia melihat Areta menggigil, bibirnya tampak kebiruan, dan wajahnya pucat pasi.
"Areta! Bangun!" Vincent mengguncang tubuh istrinya.
Ia menyentuh dahi Areta dan terkejut. Gadis itu demam tinggi, napasnya pendek dan cepat.
Rasa bersalah yang asing menyentuh sudut hatinya, meskipun ia berusaha keras menepisnya.
Dengan cepat, Vincent bangkit dari tempat tidurnya dan menarik selimut dan menutupi tubuh Areta, lalu menghubungi dokter pribadinya.
"Segera datang ke rumahku. Sekarang juga," perintah Vincent dengan suara tegas dan tanpa kompromi.
Sambil menunggu dokter, Vincent melepaskan borgol dan rantai perak yang masih terpasang di pergelangan tangan Areta.
Ia menatap bekas luka merah di kulit Areta, namun tidak terlalu memedulikannya. Fokusnya kini adalah demam tinggi yang dialami gadis itu.
Tak lama kemudian, Dr. Leonard, dokter pribadi keluarga Vincent, tiba di kamar megah.
Ia memasang wajah profesional, meski ia tahu bahwa keadaan darurat di rumah ini sering kali melibatkan kekerasan domestik yang dilakukan oleh tuannya.
"Apa yang terjadi, Tuan Vincent?" tanya Dr. Leonard sambil mengeluarkan peralatannya.
"Dia demam dan sepertinya, kelelahan," jawab Vincent singkat sambil berdiri tegap di samping ranjang menatap Areta dengan pandangan yang sulit diartikan.
Dr. Leonard memeriksa suhu tubuh Areta, yang jauh di atas normal.
Ia kemudian meminta izin untuk memeriksa bagian lain.
Saat Dr. Leonard memeriksa area intim Areta, ia menghela napas.
Bekas-bekas kasar dan iritasi yang parah terlihat jelas, diperburuk dengan kurangnya kebersihan setelah tindakan brutal semalam.
"Nyonya Areta mengalami infeksi yang cukup parah pada mahkotanya, Tuan Vincent dan kemungkinan diperparah oleh luka dalam dan gesekan yang ekstrem. Ditambah lagi, kelelahan dan tekanan mental membuatnya rentan demam tinggi."
Vincent mendengarkan dengan rahang mengeras.
Ia tidak bereaksi dan hanya mengangguk dingin saat mendengar perkataan dari dokter.
"Apa yang harus saya dilakukan?" tanya Vincent.
"Saya akan memberikan antibiotik oral yang kuat untuk meredakan demam dan mengatasi infeksi. Serta, salep khusus untuk pengobatan topikal. Dia harus istirahat total, tidak boleh ada aktivitas fisik berat selama beberapa hari ke depan, Tuan."
Dr. Leonard memberikan tatapan penuh makna pada Vincent, yang diabaikan oleh sang mafia.
Dr. Leonard menyerahkan resep dan dua botol obat.
"Pastikan Nyonya Areta meminum ini tepat waktu dan mengoleskan salepnya secara teratur."
"Baik," balas Vincent.
Setelah Dr. Leonard pergi, Vincent duduk di samping tempat tidur.
Ia mengambil mangkuk berisi bubur hangat dan obat yang sudah disiapkan oleh pelayan.
Ia meletakkan semuanya di nakas dan menatap Areta yang masih lemas.
Perlahan, Areta membuka matanya dan pandangannya yang redup langsung bertemu dengan mata Vincent yang dingin dan mengawasi.
Ia buru-buru memalingkan wajah saya melihat Vincent mendekatinya.
"Bangun. Lekas makan dan minum obatnya," perintah Vincent, nadanya tidak mengandung kelembutan, hanya perintah mutlak.
Areta menggelengkan kepalanya lemah, menolak.
Tanpa mempedulikan penolakan itu, Vincent menyendokkan bubur dan mendekatkannya ke mulut Areta.
"Jangan banyak tingkah. Makan sekarang."
Areta memejamkan mata, menahan diri untuk tidak memuntahkan bubur itu, namun ia tetap menolak membuka mulut.
Vincent menggeram kesal saat melihat tingkah istrinya.
Dengan gerakan cepat, Areta mendorong mangkuk bubur itu hingga isinya tumpah sedikit di seprai sutra.
Wajah Vincent langsung mengeras dan mengambil dua butir kapsul dari botol obat dan segelas air.
Ia mencengkeram rahang Areta, memaksanya membuka mulut, dan memasukkan obat itu.
"Telan," desisnya.
Areta mencoba memuntahkan obat itu, tetapi Vincent segera menutup mulutnya dengan telapak tangan besar, menahan hingga Areta tidak punya pilihan selain menelan.
"Sudah kamu telan?" tanya Vincent dingin setelah melepaskan tangannya.
Areta yang kehabisan napas dan lemas hanya bisa menganggukkan kepalanya dengan lesu.
Ia tahu, perlawanan fisik hanya akan mengundang hukuman yang lebih parah.
Vincent menatap Areta sejenak dengan pandangan tak terbaca, sebelum ia bangkit dan memerintahkan pelayan untuk membersihkan kekacauan bubur itu.
"Ingat Areta, kamu masih terikat padaku, Areta. Kamu adalah jaminanku. Lain kali kau menolak makan, hukumanmu akan lebih berat." ucap Vincent yang kemudian keluar dari kamarnya.
lanjut Thor💪😘