Bukan pernikahan kontrak! Satu atap selama 3 tahun hidup bagai orang asing.
Ya, Aluna sepi dan hampa, mencoba melepaskan pernikahan itu. Tapi, ketika sidang cerai, tiba-tiba Erick kecelakaan dan mengalami amnesia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon erma _roviko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bom waktu
Aluna terbangun saat jam digital menunjukkan setengah enam pagi.
Mansion itu diselimuti keheningan yang dingin, namun bagi Aluna, keheningan itu terasa berbeda pagi ini, sebuah keheningan yang mengandung janji kebebasan, bukan keputusasaan yang mencekik.
Aluna tidak merasakan kantuk, hanya semangat yang membakar. Ia mandi, mengenakan pakaian yang sederhana namun rapi, sebuah kemeja putih dan celana panjang berwarna khaki, seragam untuk hari pertama kebebasannya.
Menata rambutnya gesit, dan memoles wajahnya dengan make up tipis, dia adalah wanita yang akan membuat keputusan yang mengubah hidup, dan memilih untuk menghadapinya dengan kepala tegak.
Dia mengambil map krem dari meja di kamar tamu. Di dalamnya, surat gugatan perceraian menunggu.
Membawa map itu ke meja kecil di dekat jendela.
Cahaya pertama fajar mulai masuk, lembut dan berwarna abu-abu, menerangi halaman yang akan menjadi garis pemisah antara masa lalu dan masa depan.
Ia mengeluarkan pena emasnya. Pena yang selama ini ia gunakan untuk menandatangani kartu ucapan atau cek amal.
Kini, pena itu akan menjadi alat pembebasan. Ia tahu pena ini adalah salah satu hadiah ulang tahun dari Erick, tetapi ironisnya, ia akan menggunakannya untuk menghancurkan ikatan yang diberikan oleh Erick.
Ia menatap garis kosong di bawah namanya. Di atasnya, tertera segala alasan resmi, segala kepahitan yang diringkas dalam bahasa hukum yang netral.
‘Mundur berarti kembali ke kebohongan yang sama,’ bisik hati Aluna, menolak keraguan yang mencoba menyelinap.
“Kembali ke kesunyian marmer dingin itu. Kau sudah cukup merasakannya!”
Aluna menarik nafas dalam-dalam, menahan udara itu sejenak, seolah menahan tiga tahun rasa sakit dan pengabaian. Kemudian, ia melepaskan nafasnya perlahan.
Matanya tertuju pada kertas, menorehkan tanda tangannya.
Suara goresan pena di atas kertas tebal itu terasa keras dan final di keheningan pagi. Tanda tangannya sempurna, tegak, dan tegas. Begitu tinta itu mengering, Aluna merasakan kelegaan yang luar biasa, rasa lega yang sama seperti saat seseorang melepaskan beban berton-ton dari pundaknya.
Ia telah mengubah keputusan emosionalnya menjadi fakta hukum yang tidak dapat dibatalkan. Map itu kini berisi dokumen paling penting dalam hidupnya.
Aluna melipat surat gugatan yang sudah ditandatangani itu menjadi dua bagian yang rapi dan memasukkannya kembali ke dalam map. Mengambil dua koper kecil berisi barang-barang pribadinya dan menaruhnya di bagasi mobilnya yang diparkir tersembunyi di belakang garasi, sebuah mobil tua yang ia pertahankan dari masa lajangnya.
Sekarang, tiba saatnya untuk meninggalkan hadiah terakhir.
Aluna berjalan perlahan melalui mansion.
Berjalan pergi dalam rasa malu, melainkan berjalan pergi dalam rasa harga diri. Ia melihat tangga utama, ruang tamu yang jarang disentuh, dan meja makan marmer tempat keheningan bermukim. Ini adalah perpisahan terakhirnya dengan hantu pernikahannya.
Ia sampai di ruang kerja Erick di lantai dua, harus yakin bahwa dokumen itu akan ditemukan segera dan tanpa keraguan.
Ia masuk. Ruangan itu sama dingin dan teraturnya. Laptop Erick, sebuah mesin ramping berwarna perak yang menjadi pusat kendalinya, duduk di tengah meja kaca.
Di sanalah ia menghabiskan sebagian besar waktunya, membangun benteng bisnisnya dan, secara tidak sengaja, tembok di antara mereka.
Aluna berjalan mendekat. Dengan hati-hati, ia menaruh map itu secara horizontal di atas keyboard laptop.
Peletakan itu strategis, Erick harus mengangkat map itu untuk dapat membuka layar dan memulai hari kerjanya. Itu adalah hal pertama yang akan ia lihat, sebelum ia bisa mengakses dunia kerjanya. Bom Waktu telah dipasang, dan pemicunya adalah rutinitas pagi Erick.
Ia melihat sekeliling ruangan sekali lagi, tidak ada lagi rasa penasaran, hanya rasa pamit yang suram. Ia meninggalkan kunci duplikat mansion di atas meja kecil disamping pintu, simbol pelepasan semua klaim, semua ikatan, semua kepemilikan.
Aluna bergegas keluar. Ia bergerak secepat mungkin, tanpa suara, menuruni tangga utama dan keluar melalui pintu layanan belakang.
Aluna sudah berada di dalam mobilnya, mengemudi keluar dari garasi belakang dan memarkir mobilnya di jalan kecil yang tersembunyi, tepat di luar gerbang utama mansion, di balik pohon beringin tua yang rindang. Ia harus menunggu. Ia harus memastikan Erick pergi ke kantor sebelum ia membuka laptopnya. Ia harus memberinya head start untuk terkejut, sementara ia sendiri mendapat waktu untuk menjauh.
Jantung Aluna berdebar kencang, memukul-mukul rusuknya. Ia menunduk, menyembunyikan dirinya.
Setiap detik yang berlalu terasa seperti satu menit. Ia mendengar suara burung, suara jauh dari kota yang mulai bangun. Kontras antara damainya suara alam dan ketegangan di dadanya sangat kontras.
07:00. Erick biasanya sudah siap.
07:03. Dia mungkin sudah menuruni tangga.
07:05. Dia mungkin sudah ada di ruang kerjanya.
“Apakah dia sudah melihat map itu?” Aluna membayangkan ekspresi dingin Erick. Kebingungan, lalu kemarahan. Ia bisa merasakan gelombang kejut yang akan segera ia picu.
Tiba-tiba, suara mesin mobil mewah yang familiar meraung dari dalam mansion. Suaranya memotong keheningan dengan keangkuhan. Aluna menegang, seluruh tubuhnya menegang, siap untuk lari.
Gerbang hitam yang tinggi itu perlahan terbuka. Mobil Erick, sebuah mobil sport Jerman berwarna gelap yang mengkilap, melaju keluar dengan kecepatan yang anggun dan berbahaya.
Aluna menunduk, menyembunyikan wajahnya di balik kemudi. Ia mengintip melalui celah kecil di kaca mobilnya.
Erick mengemudi sendiri, seperti biasa. Jasnya sangat rapi, dasinya diikat sempurna. Wajahnya yang tampan tampak tenang, fokus, dan sepenuhnya terisolasi dalam rutinitasnya yang siap menghadapi dunia, tanpa menyadari ranjau yang baru saja ia tinggalkan di ruang kerjanya.
Mobilnya melintas tepat di depan mobil Aluna, begitu dekat sehingga ia bisa merasakan hembusan angin yang ditinggalkan oleh kecepatan mobil itu. Erick sama sekali tidak menyadari kehadirannya, sama seperti ia tidak menyadari keberadaan Aluna selama tiga tahun terakhir.
Saat itu terjadi. Timbul gelombang emosi yang kuat dan mendadak, hampir membuatnya berteriak. Itu adalah dorongan tak tertahankan untuk memanggil namanya, untuk membunyikan klakson, untuk berlari keluar dan menghentikan mobilnya.
Bukan karena cinta, tetapi karena keputusasaan yang murni untuk mencegah bencana yang akan datang, dan belas kasihan terhadap pria yang tidak tahu apa yang akan menimpanya.
Tangan Aluna gemetar di kemudi. Nafasnya tertahan. Ia bisa menginjak pedal gas, memotong jalannya, dan menghentikan segalanya sebelum pengacara-pengacara itu terlibat.
Namun, ia teringat wajahnya yang penuh tekad pagi itu. Ia teringat keheningan marmer dingin di meja makan. Ia teringat bagaimana menghentikan mobil itu berarti membatalkan tanda tangan yang baru saja ia goreskan dengan susah payah.
Menghentikan Erick berarti mengkhianati dirinya sendiri.
Ia menggigit bibir bawahnya, memaksa dirinya tetap diam, memilih keheningan, memilih kebebasan.
Mobil Erick menghilang di belokan jalan.
Aluna membiarkan air mata mengalir, tetapi kali ini air mata itu terasa bersih, membasuh keputusasaan masa lalu. Ia telah melewati batas.
Ia menyalakan mesin. Dengan langkah terakhir keberaniannya, ia menginjak pedal gas dan melaju menjauhi Wijaya Mansion.
Tujuannya adalah kantor Hendrawan, untuk memastikan surat itu diajukan.
Misi selesai. Bom Waktu telah meledak, dan kini Aluna bebas.