Liburan Natal di Villa Edelweiss seharusnya menjadi momen hangat bagi Elara, Rian, dan si jenaka Bobi. Namun, badai salju justru mengurung mereka bersama sebuah piano tua yang berbunyi sendiri setiap tengah malam—memainkan melodi sumbang penagih janji dari masa lalu.
Di tengah teror yang membekukan logika, cinta antara Elara dan Rian tumbuh sebagai satu-satunya harapan. Kini mereka harus memilih: mengungkap misteri kelam villa tersebut, atau menjadi bagian dari denting piano itu selamanya.
"Karena janji yang dikhianati tak akan pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk menagih kembali."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YourFriend7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kotak Pandora di Laci Meja
Rian memegang metronom itu dengan hati-hati, seolah benda itu adalah bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Jarum besinya masih bergoyang pelan, kiri-kanan, menciptakan ritme bisu yang menghipnotis.
Dengan satu gerakan tegas, Rian menahan jarum itu dengan ibu jarinya. Gerakan itu berhenti. Keheningan kembali menyergap ruang tengah, namun kali ini rasanya lebih berat. Lebih menekan.
"Mungkin... mungkin tadi jatuh pas gue buka kain penutupnya," Rian beralasan, meski matanya menyiratkan keraguan. "Dan guncangannya bikin jarumnya jalan sendiri. Mekanisme barang tua kan emang suka sensitif."
"Sensitif sih sensitif, Yan," sahut Bobi, suaranya bergetar tapi tetap berusaha melawak. "Tapi kalau metronomnya ada di kolong bangku, berarti dia jalan kaki dulu ke sana dong? Hantunya lagi latihan tempo? Allegro ma non troppo?"
"Bobi, please," desis Sarah, wajahnya pucat pasi sambil memeluk lengannya sendiri. "Gue nggak suka ini. Sumpah, gue nggak suka vibe-nya."
Elara hanya diam. Matanya terpaku pada metronom di tangan Rian. Ada sesuatu yang Rian tidak katakan. Metronom itu tidak berdebu. Benda itu bersih, mengkilap, kontras dengan lantai di bawahnya yang berdebu tebal. Seolah-olah baru saja diletakkan di sana oleh seseorang—atau sesuatu—yang peduli pada kebersihan alat musiknya.
"Kita balik ke atas," putus Rian, memecah ketegangan. Dia meletakkan metronom itu di atas piano, lalu menutup kembali kain putihnya dengan rapat. "Mungkin kita cuma capek. Imajinasi kita jadi liar karena tempat ini seram dan badai lagi kencang."
"Gue setuju sama bagian 'balik ke atas'," kata Bobi cepat, sudah melangkah mundur menuju tangga. "Tapi gue nggak setuju bagian 'imajinasi'. Gue yakin tadi gue denger suara napas pas kita di dapur."
"Itu angin, Bob," tegas Rian. Dia berjalan mendekati Elara, meletakkan tangan hangatnya di bahu gadis itu. "Ayo, El. Kamu butuh istirahat."
Sentuhan Rian adalah jangkar yang menahan Elara agar tidak hanyut dalam kepanikan. Elara mengangguk lemah. Mereka berempat menaiki tangga kayu itu bersama-sama, rapat seperti barisan semut yang takut terinjak.
Di koridor lantai dua, pembagian wilayah terasa sangat krusial.
"Pintu kamar kita jangan dikunci ya, Sar," bisik Bobi pada Sarah saat mereka sampai di depan kamar depan. "Kalau ada apa-apa, gue bisa langsung lari keluar tanpa ribet muter kunci."
"Kalau ada apa-apa, gue bakal jadiin lo umpan biar gue bisa lari duluan," balas Sarah ketus, meski tangannya gemetar saat memutar kunci pintu.
Rian dan Elara berjalan menuju kamar mereka di bagian belakang. Di depan pintu kamar Elara, Rian berhenti.
"El," panggil Rian pelan.
Elara mendongak. Di bawah cahaya lampu koridor yang remang-remang, wajah Rian terlihat lelah namun tampan. Ada guratan kekhawatiran yang tulus di sana.
"Ya?"
"Jangan kunci pintu kamar kamu malam ini," kata Rian serius. "Biar kalau kamu teriak, aku bisa langsung masuk. Aku tidur di kamar sebelah, persis di balik dinding tempat tidur kamu. Ketuk aja temboknya kalau kamu takut."
Dada Elara menghangat. Di tengah teror dingin ini, perhatian Rian terasa seperti selimut tebal yang nyaman. "Oke. Makasih, Yan. Kamu... kamu nggak takut?"
Rian tersenyum miring, sedikit terpaksa. "Takut sih. Tapi gengsi dong sama Bobi kalau aku ikut teriak."
Elara tertawa kecil. "Selamat tidur, Rian."
"Selamat tidur, El."
Elara masuk ke kamarnya dan menutup pintu tanpa menguncinya. Suara klik pintu kamar Rian di sebelah juga terdengar. Mereka terpisah, tapi dekat.
Di dalam kamar, Elara tidak langsung tidur. Dia mengganti pakaiannya dengan piyama tebal, lalu duduk di tepi ranjang. Hujan di luar semakin deras, butiran airnya menghantam kaca jendela seperti kerikil yang dilempar dengan marah.
Elara menatap jendela itu lagi. Jejak tangan tadi sudah hilang sepenuhnya. Dia menarik selimut hingga sebatas dada, mencoba memejamkan mata. Namun, kantuk adalah barang mewah yang tak terjangkau malam itu.
Setiap suara kayu yang memuai, setiap desau angin di cerobong asap, terdengar seperti langkah kaki.
Sreeek...
Mata Elara terbuka lebar.
Suara itu berasal dari meja rias di sudut ruangan. Suara laci kayu yang ditarik perlahan.
Jantung Elara berhenti berdetak sesaat. Dia menahan napas, telinganya dipasang setajam mungkin. Ruangan itu gelap, hanya diterangi kilat petir yang sesekali menyambar di luar.
Hening.
Mungkin tikus, batin Elara mencoba menyangkal. Pasti tikus.
Dia memberanikan diri menyalakan lampu tidur di nakas samping tempat tidurnya. Cahaya kuning lembut menerangi sebagian ruangan. Meja rias itu terlihat normal. Tidak ada laci yang terbuka.
Elara menghela napas panjang, menertawakan paranoianya sendiri. Dia berbalik badan, hendak mengambil segelas air yang dia letakkan di nakas.
Saat itulah dia melihatnya.
Laci nakas di samping tempat tidurnya, tepat di sebelah bantalnya, sedikit terbuka.
Padahal, dia yakin sekali laci itu tertutup rapat saat dia meletakkan gelas tadi.
Tangan Elara gemetar saat dia mendekatkan wajahnya. Dari celah laci yang terbuka itu, tercium aroma yang sangat spesifik. Bukan bau kayu lapuk atau debu.
Aroma bunga melati segar. Dan sedikit bau... anyir?
Dorongan rasa ingin tahu bertarung hebat dengan rasa takutnya. Perlahan, dengan ujung jari yang dingin, Elara menarik laci itu hingga terbuka sepenuhnya.
Kosong.
Tidak ada apa-apa selain alas kertas laci yang sudah menguning.
Elara menghembuskan napas lega yang tertahan. "Kosong, El. Kosong. Kamu cuma halu."
Namun, saat dia hendak menutup laci itu kembali, matanya menangkap sesuatu yang terselip di bagian paling dalam, di sudut belakang laci yang gelap.
Sebuah foto polaroid tua.
Elara mengambilnya. Foto itu sudah pudar warnanya, pinggirannya melengkung dan kecokelatan. Gambar di dalamnya sedikit buram, tapi masih cukup jelas untuk dikenali.
Foto itu diambil di ruang tengah villa ini. Ada piano hitam itu. Dan ada seorang wanita duduk di depan piano, membelakangi kamera. Rambutnya panjang tergerai, mengenakan gaun putih bergaya vintage.
Tapi yang membuat darah Elara membeku bukan wanita itu.
Melainkan sosok yang berdiri di samping piano, menatap ke arah kamera.
Itu adalah seorang pria muda. Wajahnya tersenyum lebar, ceria, penuh hidup. Dia merangkul bahu wanita yang duduk itu dengan mesra.
Pria itu sangat mirip dengan Rian.
Bukan mirip. Itu seperti Rian. Bentuk rahangnya, matanya, bahkan cara senyumnya. Hanya gaya rambut dan pakaiannya yang kuno, khas gaya tahun 70-an atau 80-an.
"Nggak mungkin..." bisik Elara. Tangannya gemetar hebat hingga foto itu nyaris terlepas. "Ini... kakeknya Rian? Atau ayahnya?"
Tiba-tiba, dari balik dinding di belakang kepala tempat tidurnya, dinding yang membatasi kamarnya dengan kamar Rian, terdengar suara ketukan pelan.
Tok. Tok. Tok.
Elara tersentak. Itu pasti Rian. Rian pasti mendengar suara laci tadi atau mungkin Rian juga belum tidur.
Elara berbalik dan mengetuk dinding itu perlahan sebagai balasan. "Yan?" panggilnya lirih.
Tok. Tok. Tok.
Balasan ketukan itu datang lagi. Tapi kali ini, nadanya berbeda. Iramanya bukan irama acak orang memanggil.
Ketukan itu berirama.
Tok-tok... tok... tok-tok... tok...
Itu irama lagu. Lagu yang sama dengan denting piano tadi sore.
Dan yang membuat bulu kuduk Elara berdiri tegak adalah, suara ketukan itu terdengar rendah. Terlalu rendah untuk dilakukan oleh orang dewasa yang berdiri.
Suara ketukan itu berasal dari bagian bawah dinding. Dekat lantai.
Seolah-olah yang mengetuk sedang merangkak di lantai kamar sebelah.
"Rian?" panggil Elara lagi, suaranya kini naik satu oktaf karena panik.
Tidak ada jawaban verbal. Hanya suara ketukan itu yang semakin cepat. Dan kini disertai suara lain.
Suara geraman halus. Atau mungkin kekehan tertahan?
Elara melempar selimutnya dan melompat turun dari kasur. Dia menyambar gagang pintu, membukanya dengan kasar, dan berlari ke koridor.
"Rian!"
Elara menggedor pintu kamar Rian. "Rian! Buka!"
Pintu kamar Rian terbuka dalam hitungan detik. Rian berdiri di sana dengan kaos oblong dan celana pendek, matanya merah khas orang yang baru bangun tidur, rambutnya acak-acakan.
"El? Kenapa?" Rian tampak bingung sekaligus kaget melihat wajah Elara yang seputih kertas.
Elara menatap Rian, lalu menatap dinding kamar di belakang Rian.
"Kamu... kamu tadi ngetuk dinding?" tanya Elara tersengal-sengal.
Rian mengerutkan kening. "Ngetuk dinding? Enggak, El. Aku udah tidur pulas dari tadi. Baru bangun karena kamu gedor pintu."
Dunia Elara terasa berputar. Kalau Rian tidur... lalu siapa yang mengetuk dinding tadi dengan irama lagu itu? Dan siapa yang merangkak di lantai kamar sebelah?
"Ada suara... di kamarmu..." bisik Elara, menunjuk ke dalam kamar Rian yang gelap.
Rian langsung waspada. Dia menyalakan sakelar lampu kamarnya.
Kamar itu terang benderang. Kosong. Tempat tidur Rian berantakan bekas ditiduri. Tidak ada orang lain. Tidak ada apa-apa di lantai.
"Nggak ada siapa-siapa, El," kata Rian lembut, mencoba menenangkan. Dia melangkah keluar dan memegang bahu Elara yang gemetar hebat.
Tapi Elara tidak melihat ke kamar Rian lagi. Dia melihat ke foto polaroid yang masih digenggam erat di tangan kanannya.
Di bawah cahaya lampu koridor, foto itu berubah.
Sosok "Rian" di foto itu tidak lagi tersenyum. Wajah di foto itu kini menatap lurus ke arah Elara dengan ekspresi marah, dan ada garis merah tipis melintang di lehernya, seperti bekas luka sayatan.
Dan tulisan tangan di balik foto itu, yang tadi tidak sempat Elara baca, kini terlihat jelas. Tinta merahnya seolah masih basah.
Dia sudah kembali. Dan kali ini, dia membawa penggantimu.