NovelToon NovelToon
ADOPSI YANG MENJADI OBSESI

ADOPSI YANG MENJADI OBSESI

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang / Crazy Rich/Konglomerat / Obsesi / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Menyembunyikan Identitas
Popularitas:456
Nilai: 5
Nama Author: frj_nyt

Ia ditemukan di tengah hujan, hampir mati, dan seharusnya hanya menjadi satu keputusan singkat dalam hidup seorang pria berkuasa.

Namun Wang Hao Yu tidak pernah benar-benar melepaskan Yun Qi.

Diadopsi secara diam-diam, dibesarkan dalam kemewahan yang dingin, Yun Qi tumbuh dengan satu keyakinan: pria itu hanyalah pelindungnya. Kakaknya. Penyelamatnya.
Sampai ia dewasa… dan tatapan itu berubah.

Kebebasan yang Yun Qi rasakan di dunia luar ternyata selalu berada dalam jangkauan pengawasan. Setiap langkahnya tercatat. Setiap pilihannya diamati. Dan ketika ia mulai jatuh cinta pada orang lain, sesuatu dalam diri Hao Yu perlahan retak.

Ini bukan kisah cinta yang bersih.
Ini tentang perlindungan yang terlalu dalam, perhatian yang berubah menjadi obsesi, dan perasaan terlarang yang tumbuh tanpa izin.

Karena bagi Hao Yu, Yun Qi bukan hanya masa lalu

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

9

Apartemen itu tetap sunyi meski pagi sudah lama datang. Cahaya matahari menyelinap lewat tirai tipis, jatuh di lantai marmer yang dingin. Yun Qi duduk di ujung sofa, memeluk bantal kecil yang baunya masih samar—bau sabun mahal bercampur sesuatu yang tegas dan dingin. Bau yang sama seperti mantel panjang Wang Hao Yu. Sudah tiga hari.

Tiga hari Hao Yu tidak pulang. Bagi orang dewasa, tiga hari bukan apa-apa. Tapi bagi anak kecil yang baru belajar merasa aman, tiga hari adalah jarak yang panjang. Terlalu panjang. Yun Qi menoleh ke pintu setiap kali terdengar suara dari luar langkah tetangga, lift yang berhenti, atau suara besi pintu yang dibuka orang lain. Setiap kali juga, harapannya jatuh pelan-pelan, seperti daun kering yang terseret angin. Ia tidak menangis. Tidak lagi.

Tangis hanya muncul di hari-hari awal, ketika tubuhnya masih lemah, ketika mimpi buruk datang setiap malam dan ia terbangun dengan napas terengah. Sekarang, Yun Qi belajar diam. Diam adalah cara paling aman untuk bertahan.

“Xiao Qi,” suara wanita paruh baya terdengar dari dapur. Nada suaranya lembut, tapi tegas jenis suara orang dewasa yang sudah terbiasa mengurus anak-anak yang terluka. “Sarapanmu dingin.” Yun Qi menoleh perlahan. “Maaf…” katanya kecil, hampir tidak terdengar.

Ia turun dari sofa, kakinya masih sedikit goyah meski kondisinya jauh lebih baik dari sebulan lalu. Pipinya tidak lagi cekung, warna kulitnya tidak lagi pucat keabu-abuan. Tapi gerakannya masih hati-hati, seperti seseorang yang selalu siap disuruh pergi kapan saja.

Ia duduk di kursi makan, menatap mangkuk bubur hangat di depannya. Asap tipis mengepul, baunya menenangkan. Perutnya lapar tapi lebih dari itu, dadanya kosong. “Pak Wang belum pulang?” tanyanya pelan, seolah takut pertanyaan itu salah. Pengasuh itu, Bu Lin terdiam sesaat. Tangannya berhenti mengaduk teh. “Belum,” jawabnya akhirnya. “Tuan muda sibuk. pasti banyak kerjaan.”

Yun Qi mengangguk. Ia selalu mengangguk. Tidak pernah bertanya lebih jauh. Sendok di tangannya bergerak pelan, mengambil sedikit bubur. Saat masuk ke mulut, rasa hangat menyebar nyaman, tapi tidak cukup untuk mengisi ruang kosong di dadanya. Hao Yu jarang di rumah. Tapi anehnya, segalanya terasa… diawasi.

Saat Yun Qi bangun terlalu malam, Bu Lin sudah berdiri di depan pintu kamarnya, membawa segelas susu hangat. “Minum dulu,” katanya, seolah tahu Yun Qi sulit tidur. Saat Yun Qi batuk kecil di malam hari, dokter datang keesokan paginya tanpa ada panggilan dari Bu Lin.

Saat Yun Qi menatap lama jendela, ingin keluar sebentar, Bu Lin langsung berkata, “Jaketnya dipakai. Di luar dingin.” Tidak ada yang kebetulan. Semua terasa terlalu tepat waktu.

Siang itu, Yun Qi duduk di lantai kamar, menyusun balok kayu. Jendela besar di sampingnya terbuka sedikit, angin masuk pelan. Dari lantai tinggi apartemen itu, dunia di bawah terlihat kecil mobil seperti mainan, orang-orang seperti titik bergerak.

Ia menyusun balok dengan hati-hati, lidahnya sedikit menjulur kebiasaan anak kecil saat fokus. Satu balok miring, hampir jatuh. “Pelan,” gumamnya pada dirinya sendiri. Balok itu berdiri tegak. Yun Qi tersenyum kecil. Senyum yang jarang muncul, tapi jujur.

Tiba-tiba, suara klik lembut terdengar dari sudut langit-langit. Hampir tak terdengar, seperti suara plastik yang disentuh. Yun Qi mengangkat kepala, mengernyit. “Apa itu…?” bisiknya.

Di sudut ruangan, benda hitam kecil menempel di langit-langit. Yun Qi belum pernah memperhatikannya sebelumnya. Ia berdiri, mendekat, menatapnya dengan rasa ingin tahu bercampur waspada.

“Bu Lin?” panggilnya. Tidak ada jawaban. Ia kembali menatap benda itu. Tidak bergerak. Tidak bersuara. Yun Qi mundur selangkah. Ada perasaan aneh di tengkuknya, seperti sedang dilihat. Tapi ia tidak tahu oleh siapa, atau dari mana. Di tempat lain, jauh dari apartemen itu

Wang Hao Yu duduk di ruang rapat lantai tertinggi gedung perusahaannya. Jas hitam rapi membingkai tubuhnya yang tinggi. Wajahnya dingin, ekspresinya nyaris tak berubah meski laporan keuangan bernilai miliaran diproyeksikan di layar besar.

“Proyek Shanghai kita percepat,” katanya datar. “Saya tidak mau ada penundaan.” Seorang direktur menelan ludah. “Tapi, Tuan Wang, tim—”

“Ganti tim,” potong Hao Yu tanpa emosi. “Saya bayar untuk hasil, bukan alasan.”

Ruangan itu sunyi. Ia berdiri, mengambil tablet dari meja. Di layar, bukan grafik. Bukan angka. Tampilan kamera. Kamar kecil dengan lantai kayu. Seorang anak perempuan berdiri di tengah ruangan, menatap ke arah kamera dengan mata besar penuh rasa ingin tahu dan sedikit ketakutan.

Hao Yu berhenti berjalan. Tatapannya mengeras. Ia memperbesar layar sedikit. Melihat lebih jelas bahu kecil Yun Qi, rambut hitam yang mulai berkilau sehat, pipi yang kini sedikit berisi. Ia tidak menyadari bahwa tangannya mengencang di sekitar tablet. “Lanjutkan rapat tanpa saya,” katanya singkat.

Ia keluar dari ruangan, langkahnya cepat tapi terkontrol. Di lift, saat pintu menutup, ekspresinya akhirnya retak sedikit. Hanya sedikit. “Jangan dekat kamera,” gumamnya pelan, seolah Yun Qi bisa mendengar.

Kembali di apartemen Yun Qi duduk kembali di lantai, tapi kali ini tidak melanjutkan permainannya. Ia memeluk lutut, memandangi balok-balok kayu yang tadi ia susun dengan bangga. Perasaan aneh itu belum hilang. Seperti seseorang berdiri di belakangnya, menjaga atau mengawasi.

Malam datang perlahan. Lampu-lampu kota menyala, memantul di kaca jendela besar. Yun Qi duduk di tempat tidur, memeluk selimut sampai dagunya. Bu Lin sudah mengucapkan selamat malam, meninggalkan pintu sedikit terbuka.

Langkah kaki dewasa terdengar di lorong. Yun Qi menegang. Ia duduk lebih tegak. Langkah itu berhenti di depan pintu kamarnya. Pintu terbuka sedikit. Bukan Bu Lin. Yun Qi mengangkat kepala, matanya melebar.

Wang Hao Yu berdiri di sana. Jasnya masih rapi, dasinya sedikit longgar. Wajahnya lelah terlihat sangat lelah tapi matanya tajam seperti biasa. Tatapan itu langsung tertuju pada Yun Qi, memeriksanya dari ujung kepala sampai kaki, cepat dan teliti.

“Kau belum tidur,” katanya. Bukan pertanyaan. Yun Qi menelan ludah. “Belum…” Hao Yu melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. Langkahnya sunyi, tapi kehadirannya memenuhi ruangan kecil itu. “Kau sudah makan?” tanyanya. Yun Qi mengangguk cepat. “Makan. Bubur… sama sayur.”

“Minum obat?”

“Iya.”

Hao Yu berdiri di samping tempat tidur. Tangannya terulur, menyentuh dahi Yun Qi cepat, singkat, tapi hangat. Yun Qi refleks menahan napas. “Tidak demam,” gumam Hao Yu. Ia menarik tangannya, memasukkan ke saku jas. Ada jeda aneh hening, canggung. “tuan…” kata Yun Qi tiba-tiba, suaranya ragu.

Hao Yu menatapnya. Alisnya sedikit berkerut. “Ada apa.”

“tuan… kerjaan… banyak ya?” Pertanyaan itu polos. Tidak menuntut. Tidak menyalahkan. Hao Yu terdiam lebih lama dari biasanya. “Banyak,” jawabnya akhirnya.

“Oh…” Yun Qi menunduk. Jarinya meremas ujung selimut. “Maaf… aku ganggu.” Hao Yu menegang. “Kau tidak mengganggu,” katanya cepat, terlalu cepat untuk seseorang sepertinya. Ia menoleh, menarik kursi, lalu duduk. Posisi itu membuatnya sejajar dengan Yun Qi.

“Aku cuma… tidak selalu bisa pulang,” lanjutnya, nadanya lebih rendah. “Tapi kau aman di sini. Selalu.” Yun Qi mengangkat kepala. Matanya berkilat, bukan karena air mata tapi sesuatu yang lebih dalam.

“taun tahu… aku ngapain?” tanyanya pelan. Hao Yu menatapnya lama “Ya,” jawabnya jujur. “Aku tahu.” Yun Qi terdiam. Ada perasaan hangat, bercampur bingung, tapi juga… tenang. “Oh.”

Satu kata itu keluar begitu saja. Hao Yu berdiri. “Tidur. Besok ada dokter datang lagi.” Yun Qi mengangguk. Saat Hao Yu berbalik pergi, ia berkata lirih, hampir tidak terdengar “tuan… makasih.”

Hao Yu berhenti di ambang pintu. Ia tidak menoleh. “Hm.” Pintu menutup pelan. Di balik pintu itu, Hao Yu berdiri lama, punggungnya bersandar pada dinding. Ia menutup mata sejenak, rahangnya mengeras.

Ia jarang di rumah. Tapi setiap napas Yun Qi, setiap langkah kecilnya Ada dalam pengawasannya. Dan entah sejak kapan, pikiran itu terasa… perlu.

1
@fjr_nfs
tinggalkan like dan Komen kalian ☺❤️‍🔥
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!