Baek So-cheon, master bela diri terbaik dan pemimpin bela diri nomor satu, diturunkan pangkatnya dan dipindahkan ke posisi rendah di liga bela diri!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gusker, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kita Tidak Melindunginya (1)
"Aku menolak."
Baek So-cheon menolak dengan tegas dan berbalik.
Beon Saeng buru-buru berlari dan menghalangi jalannya.
"Kumohon, biarkan aku melayanimu sebagai Kakak."
Keputusan Beon Saeng ini sangatlah impulsif. Sampai saat ia datang ke tempat ini, ia sama sekali tidak berniat melakukan hal seperti ini.
Ada beberapa alasan di baliknya.
Pertama, emosinya sedang meluap dan ia sedang mabuk. Ia juga terpicu melihat latihan Baek So-cheon, dan usia Baek So-cheon pun cukup matang untuk dijadikan seorang kakak. Terlebih lagi, Baek So-cheon adalah seorang pendekar yang pernah tergabung dalam Kelompok Pedang Besi (Cheolgeomdan), impian seumur hidupnya.
Meski belum genap sehari mereka bertemu, Baek So-cheon lebih istimewa daripada pendekar mana pun yang pernah ia temui.
Apa kau harus meminum seluruh air laut untuk tahu rasanya asin? Cukup seteguk saja, dan kau akan tahu bahwa Baek So-cheon bukanlah air tawar biasa seperti dirinya.
"Mulai sekarang, semua urusan Kakak akan aku kerjakan. Tidak hanya urusan cabang, tapi juga mencuci, bersih-bersih, hingga suruhan apa pun akan aku lakukan."
"Itu bukan adik, tapi pelayan namanya."
"Itu adalah bentuk kesetiaan."
"Kembalilah. Jika aku menerima semua orang dengan cara begini, aku pasti sudah punya lebih dari seribu adik."
"Jadi adik keseribu pun aku tidak masalah."
Saat itu, dalam hatinya ia berpikir.
'Seribu orang? Bualannya bukan main.'
Tentu saja, bagi Beon Saeng saat ini, bahkan bualan itu terlihat sebagai sisi manusiawinya.
"Meski kau tidak menerimaku, aku akan tetap melayanimu sebagai Kakak. Itu hakku, kan?"
Baek So-cheon menatap Beon Saeng tanpa berkata apa-apa.
"Kenapa kau ingin menjadi adikku?"
Nada bicaranya mulai melunak. Menganggap itu sebagai peluang, Beon Saeng mengungkapkan perasaannya dengan jujur.
"Sejak kecil, impianku adalah masuk ke Kelompok Pedang Besi. Sekarang aku hidup menyedihkan di sini, tapi aku merasa bertemu dengan Kakak adalah kesempatan yang diberikan langit. Aku ingin mengubah hidupku mulai dari sekarang."
"...... Mengubah hidup itu tidak mudah."
"Aku akan berusaha."
"Berusaha pun mungkin tidak akan berhasil."
"Aku akan berusaha dua kali, tiga kali lipat lebih keras."
"Hmm...... Kau pasti akan menyesal kalau mabukmu sudah hilang."
Menyadari bahwa hati Baek So-cheon sudah mulai luluh, Beon Saeng mendesaknya dengan membabi buta.
"Aku tidak akan pernah menyesal. Kalau begitu, aku anggap Kakak sudah setuju. Terima kasih, Kakak. Hahaha."
Merasakan Baek So-cheon hendak menolak lagi, Beon Saeng bahkan membuat janji yang tak mungkin bisa ia pertanggungjawabkan.
"Besok, bajingan-bajingan Taejeongpa itu akan kuberishkan dengan tanganku sendiri!"
* * *
Keesokan paginya, Beon Saeng memegangi kepalanya di kantor cabang. Itu bukan hanya karena sakit kepala akibat mabuk.
"Ah, aku sudah gila. Aku harus berhenti minum!"
Beon Saeng menyesal. Bagaimana bisa ia menjadikan junior yang baru datang sebagai Kakak? Padahal baru bertemu sehari. Apa? Ingin mengubah hidup dengan menjadikan pertemuan itu sebagai momentum?
"Hah, dasar orang gila!"
Terlebih lagi, ia sudah sesumbar akan membersihkan kamar dan mencuci pakaian Baek So-cheon. Kebodohan macam apa ini?
'Dasar bodoh, bersihkan saja kamarmu sendiri.'
Jika ada yang melihatnya, mereka mungkin akan mengira dia telah memasang formasi sihir di kamarnya (saking berantakannya).
Beon Saeng membenturkan kepalanya ke meja berulang kali.
'Ah! Semoga ini semua hanya mimpi.'
Rasanya seperti sedang berjalan, melihat penjual obat jalanan, lalu berpikir, 'Dasar penipu, mari kita lihat trik apa yang dia pakai', tapi sesaat kemudian sadar-sadar kedua tangan sudah penuh dengan obat yang dibeli. Setan apa yang merasukinya?
"Apa kubilang saja kalau itu bercanda? Atau pura-pura tidak tahu dan menyangkalnya?"
Saat itu, terdengar suara dari belakang.
"Apa yang kau gumamkan sendirian di situ?"
Ia terlonjak kaget dan menoleh, ternyata itu Im Chung.
"Kau sudah mendisiplinkannya dengan benar?"
Beon Saeng mengangkat kepalan tangannya ke udara dan berkata.
"Tentu saja! Anda belum pernah melihat kemampuan bertarung saya, kan? Saya juga pernah menjadi calon anggota Kelompok Pedang Besi."
Tepat pada saat itu, Baek So-cheon masuk sambil memberi salam.
Melihat penampilannya yang segar bugar, Im Chung berbisik di telinga Beon Saeng.
"Dia terlihat baik-baik saja, tuh?"
Beon Saeng merendahkan suaranya.
"Luka dalamnya pasti parah."
"Baguslah."
Im Chung tersenyum dan masuk ke ruang kerjanya. Tentu saja, dia tidak percaya pada ucapan Beon Saeng.
'Untung saja kalau dia tidak dihajar balik. Yah, syukurlah tidak ada kejadian besar.'
Begitu Im Chung masuk, Baek So-cheon menunjuk tumpukan dokumen di atas meja dan berkata.
"Kau tidak bawa ini?"
"Hah? Apa?"
"Katanya mau mengerjakan semua pekerjaanku? Ambil pekerjaan ini dan kerjakanlah."
"Itu......"
Beon Saeng ragu-ragu, bingung harus menjawab apa.
Baek So-cheon berkata dengan nada mengejek.
"Sudah kubilang kau akan menyesal kalau mabukmu hilang, kan?"
Kata-kata itu melesat seperti senjata rahasia dan menancap tepat di harga diri Beon Saeng.
Beon Saeng melompat berdiri.
"Aku ini orang yang menepati janji! Jangan remehkan orang."
Beon Saeng melangkah lebar, mengambil dokumen Baek So-cheon, dan membawanya ke mejanya sendiri. Namun, bahkan sebelum duduk, ia sudah menyesal.
'Ah, dasar orang gila. Bukan ini, kan? Kenapa kau tidak bisa menahan diri sebentar saja dan malah mengambil ini? Seharusnya kau bilang itu cuma bercanda!'
Namun, begitu melihat wajah Baek So-cheon, segalanya tidak berjalan sesuai rencana. Ada stimulus tersendiri dari sosok Baek So-cheon. Sesuatu yang aneh, yang menyentuh harga diri dan emosi seseorang.
"Janjinya?"
"Janji apa?"
"Kau bilang hari ini akan membereskan bajingan-bajingan Kelompok Hitam (Heukhoe) itu, kan?"
Beon Saeng terperanjat.
"Saya?"
Meski ia balik bertanya seolah tak tahu, ia ingat dengan jelas. Pada saat itu, ia merasa bisa menghajar semua anggota Kelompok Hitam.
Tapi, pekerjaan kantor bisa digantikan, namun menghajar Kelompok Hitam adalah hal yang mustahil.
Baek So-cheon mendatangi Beon Saeng dan mengambil kembali dokumennya.
"Sudahlah. Orang bisa saja bicara begitu karena mabuk."
Andai saja dia memaki dan menyebutnya menyedihkan, mungkin tidak apa-apa. Tapi karena dia dengan sopan mengajak melupakan hal itu, Beon Saeng kembali tersulut emosi.
Bibir Beon Saeng bergetar.
Ia selalu merasa tidak enak hati karena tidak bisa menolong orang-orang yang tertindas. Ya, persetan dengan semuanya, lakukan saja.
'Akan kubereskan semua bajingan Kelompok Hitam itu! Janji itu juga akan kutepati!'
Hati pemuda berusia dua puluh enam tahun itu membara, dan kata-kata itu sudah naik sampai ke tenggorokan.
Namun, sisi lain dari Beon Saeng menghentikannya.
'Hei, kau gila? Kau tahu betapa kejamnya bos Taejeongpa, kan? Oke, anggaplah kau beruntung bisa menangkapnya. Bagaimana kalau dia menyuruh anak buahnya di luar untuk membunuhmu? Tidak cuma itu, bagaimana dengan Kelompok Mitos (Shinhwabang) yang ada di belakangnya? Orang sepertimu akan diusir dari Aliansi Murim dalam semalam, tahu?'
Lalu, sisi lain Beon Saeng memberikan keberanian.
'Melihat kata-kata itu keluar karena pengaruh alkohol, berarti itu adalah hal yang paling ingin kau lakukan selama ini! Dasar pengecut. Lakukanlah hal yang benar walau hanya sekali! Bukankah itu alasanmu menjadi seorang pendekar?'
'Kalau kau mati konyol, apa dia akan meneteskan air mata untukmu?'
'Ini bukan untuk pamer padanya. Ini demi orang-orang yang menderita. Ini perbuatan yang bermakna. Sekalipun mati, ada artinya.'
Sungguh, jika dia sedang bermeditasi menyalurkan tenaga dalam, dia pasti sudah mengalami penyimpangan Qi (Juhwa-ibma).
Saat itu, pintu ruang Kepala Cabang terbuka dan Im Chung keluar sambil berkata.
"Ketua Tim Beon, ikut aku. Ada tempat yang harus kita datangi."
Keluar dari kantor cabang, Beon Saeng berkata dengan suara lesu.
"Terima kasih."
"Untuk apa?"
"Saya tahu semuanya. Suara di luar terdengar jelas sampai ke dalam."
Ia sengaja bicara keras agar Im Chung mendengarnya. Berharap Im Chung akan menghentikannya.
'Dasar licik. Dalam situasi begitu pun masih mencari cara untuk kabur. Kau benar-benar sampah yang tak tertolong, sampah.'
Im Chung menghiburnya.
"Kenapa kau malah dipermainkan oleh anak baru?"
"Itulah masalahnya. Saya malah sesumbar mau menjadikannya Kakak."
"Kau bilang mau melayaninya sebagai Kakak?"
"......Ya."
"Padahal biasanya kau sok pintar."
"......"
Beon Saeng menghentikan langkahnya sejenak dan bertanya dengan hati-hati.
"Soal Taejeongpa, tidak bisa diapa-apakan, ya? Walaupun harus minta bantuan dari pusat."
"Lalu selanjutnya bagaimana?"
Masalahnya adalah Kelompok Mitos (Shinhwabang) yang ada di belakang mereka. Jika hanya Taejeongpa, Im Chung juga tidak akan membiarkan mereka bertingkah seperti itu.
Beon Saeng juga bukannya tidak tahu.
'Ya, Kepala Cabang pasti juga kesal.'
Merasa bersalah, Beon Saeng pun mengalihkan pembicaraan.
"Omong-omong, kita mau ke mana?"
"Baru tanya sekarang. Kita pergi ke Kediaman Keluarga Jo (Jo Ga-jang)."
Im Chung dan Beon Saeng tiba di Kediaman Keluarga Jo.
Tujuannya untuk menyelidiki kasus keluarga Yang Chu. Semasa hidupnya, orang yang paling dekat dengan Yang Chu adalah Kepala Keluarga Jo.
'Kepala Keluarga Jo pasti tahu sesuatu.'
Saat mereka berdua sedang berjalan menuju ruang tamu dengan dipandu oleh pelayan, sesuatu terjadi.
Dua orang berjalan keluar dari arah berlawanan.
Secara mengejutkan, mereka adalah Wang Gon dan Heuk Su.
"Kepala Cabang Im, ada angin apa sampai kemari?"
Bertemu Wang Gon di tempat yang tak terduga membuat Im Chung terkejut.
"Kemarin terjadi kasus pembunuhan. Saya datang menemui Tuan Jo untuk penyelidikan kasus tersebut."
"Aku juga mendengarnya. Sungguh kejadian yang malang. Pastikan kau menangkap pelakunya."
"Saya akan berusaha semaksimal mungkin."
"Ah, dan kita masih punya urusan yang harus diselesaikan, mari kita atur pertemuan dalam waktu dekat."
"Ya, sampai jumpa nanti."
Wang Gon dan Heuk Su berjalan melewati mereka berdua. Berbeda dengan Wang Gon yang berlalu sambil tersenyum, Heuk Su menatap tajam ke arah mereka berdua dengan tatapan mengejek.
Setelah mereka menghilang di kejauhan, Beon Saeng berkata.
"Dasar bajingan sialan, Anda lihat sorot matanya tadi?"
"Aku lihat."
Setiap isyarat yang dikirimkan oleh manusia bernama Heuk Su itu penuh dengan ejekan dan penghinaan.
"Dia itu bajingan campuran yang merasakan kepuasan saat menindas dan menginjak-injak orang lain dengan kekuatannya."
Im Chung kembali melangkahkan kakinya.
'Masalahnya adalah dunia ini makin dipenuhi orang-orang seperti itu.'
* * * "Aku sungguh tak pernah bermimpi dia akan mengalami kejadian tragis seperti ini."
Kepala Keluarga Jo, Jo Jin, tampak lelah dan lesu.
"Anda pasti sangat terpukul."
"Yang Chu, aku sudah mengenalnya selama tiga puluh tahun."
"Pasti sudah seperti saudara kandung."
"Benar. Bisa dibilang hubungan kami lebih dalam daripada saudara sedarah."
Setelah menyampaikan rasa duka cita atas kematian Yang Chu, Im Chung mulai mengajukan pertanyaan inti.
"Kapan terakhir kali Anda bertemu Pendekar Yang?"
"Sebulan yang lalu."
"Apakah ada yang berbeda dari biasanya?"
"Tidak, tidak ada."
"Apa ada perkataan yang Anda ingat?"
"Kami hanya mengobrol santai seperti biasa lalu berpisah."
Im Chung bisa merasakannya. Suara Jo Jin bergetar. Dia jelas berbeda dari biasanya. Memang, aneh jika seseorang tetap tenang setelah sahabat terdekatnya dan seluruh keluarganya dibantai.
"Apakah belakangan ini ada orang yang memiliki hubungan buruk dengan Pendekar Yang?"
Jawabannya muncul setelah jeda yang cukup lama.
"Aku tidak mendengar hal seperti itu."
Entah dia sengaja menunjukkannya atau memang tidak bisa menyembunyikannya, satu hal sudah pasti.
'Dia menyembunyikan sesuatu.'
Karena dia dekat dengan Yang Chu, seharusnya dia mau mengatakan apa saja demi menangkap pembunuhnya.
Apa sebenarnya yang dia sembunyikan? Orang sekelas Kepala Keluarga Jo seharusnya tidak ada yang perlu ditakuti.
Tiba-tiba wajah Wang Gon terlintas di benaknya.
Rasanya aneh bertemu dengannya di sini hari ini.
"Saat datang tadi, saya bertemu Ketua Wang."
Mendengar perkataan mendadak itu, Jo Jin tersentak kaget.
"Saya juga sudah lama tidak bertemu dengannya."
"Dia orang yang banyak berjasa untuk wilayah kita."
"Benar sekali."
Begitu nama Ketua Wang disebut, bola mata Jo Jin semakin bergetar dan dia tidak bisa menatap mata Im Chung dengan benar.
'Jangan-jangan? Ada hubungannya dengan pihak sana?'
Di Provinsi Zhejiang, hanya ada segelintir orang yang memiliki kekuatan untuk membungkam mulut Kepala Keluarga Jo, dan Kelompok Mitos (Shinhwabang) jelas termasuk di antaranya.
'Apakah yang hubungannya tidak baik dengan Yang Chu belakangan ini adalah Wang Gon? Jangan-jangan Shinhwabang?'
Dalam situasi seperti itu, terlintas pikiran bahwa Wang Gon mungkin datang lebih dulu untuk mengancam Jo Jin. Tidak, dia bahkan tidak perlu mengancam. Kunjungannya saja sudah cukup menjadi ancaman.
Lalu kenapa dia datang tepat saat Im Chung berkunjung? Kebetulan?
'Jangan-jangan dia sudah memprediksi kedatanganku?'
Karena Im Chung sudah memberitahu dan membuat janji dengan Kediaman Jo sebelumnya, ada kemungkinan Wang Gon sengaja datang menyesuaikan waktu.
Jika begitu, ini bukan hanya ancaman bagi Kepala Keluarga Jo.
Ini juga ancaman bagi dirinya.
Segera Im Chung menggelengkan kepalanya. Ini kasus pembantaian satu keluarga.
'Bagaimanapun mereka menyebut diri mereka Aliran Putih...... tidak mungkin sampai sejauh itu, kan.'
* * * Setelah keluar dari Kediaman Keluarga Jo, mereka berdua kembali ke kantor cabang.
Saat mendekati kantor cabang, Im Chung berkata pada Beon Saeng.
"Biar aku yang jelaskan masalah Kelompok Hitam kepada Baek So-cheon."
"Tidak. Saya yang akan membereskannya."
"Kau yakin bisa?"
"Saya yang memulainya, jadi saya yang harus menyelesaikannya."
Meskipun prosesnya akan melukai harga diri, itu lebih baik daripada menyerahkannya pada orang lain hanya untuk menghindari momen sesaat, lalu menyesalinya kemudian.
Sesampainya di kantor cabang, Beon Saeng berkata pada Baek So-cheon.
"Ada yang ingin saya bicarakan. Nanti minum sepintas denganku."
"Baiklah."
Seharian itu ia tidak bisa fokus bekerja. Ia menyesal telah berjanji akan menghabisi Taejeongpa, merasa bersalah pada para pedagang, dan juga marah karena situasinya jadi begini padahal ia ingin terlihat baik di depan Baek So-cheon yang ingin ia jadikan Kakak.
'Mari bicara dari hati ke hati.'
Beon Saeng membulatkan tekadnya.
Setelah jam kerja usai, Baek So-cheon dan Beon Saeng pergi ke pasar.
Terdengar suara barang pecah berantakan dari toko besi di depan penginapan yang hendak mereka tuju.
Melihat tempat itu dan orang-orang yang berdiri di depannya, Beon Saeng menghela napas panjang.
'Ah!'
Lelucon nasib macam apa ini?
Orang-orang yang mengepung pintu masuk toko besi itu adalah bajingan-bajingan Taejeongpa dari Kelompok Hitam. Pemilik toko besi itu adalah Pak Tua Go yang baru saja mengajukan keluhan kali ini.
'Kenapa langit memberikan cobaan seperti ini padaku?'
Ia merasa kesal pada langit. Ia ingin memutar langkah dan kembali. Jika sendirian, ia pasti sudah kembali.
Saat itu, Baek So-cheon berkata dengan nada lembut.
"Bagaimana kalau kita minum lain kali saja?"
Jika Baek So-cheon menyuruhnya pergi membantu, ia justru akan ragu. Ia pasti akan mencari berbagai alasan.
Tapi mendengar pengertian Baek So-cheon, yang hampir pasti merupakan provokasi yang disengaja, emosi Beon Saeng kembali tersulut tanpa ampun.
Sebagai ganti jawaban, Beon Saeng berteriak ke arah bajingan-bajingan Taejeongpa itu.
"Hei bajingan! Hentikan!"