Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.
Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.
Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.
Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.
Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.
Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 - Rindu dan Duka
Raka terhenti, terkejut ketika seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Ia menoleh perlahan.
Seorang kakek berjenggot panjang dengan kumis hampir menutupi mulutnya berdiri di sana. Wajahnya teduh namun penuh wibawa, dengan pakaian abu-abu hitam. Matanya bersinar ramah, dan gerak-geriknya seolah menyambut Raka untuk masuk ke desa sebagai tamu yang dihormati.
Ada ketenangan dan keakraban yang aneh, membuat Raka merasa diperbolehkan hadir di antara penduduk desa meski ia belum dikenal siapa pun di sana. Ia menunduk sejenak, menghargai sapaan kakek itu, lalu perlahan mengikuti langkahnya menuju desa, tetap menjaga jarak dan memperhatikan setiap gerakan, sambil menyerap pelajaran tentang manusia dan alam yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
Setiap warga yang dilewati menyambutnya dengan salam sederhana, menempelkan tapak tangan di depan dada sebagai tanda hormat yang tulus. Anak-anak berhenti bermain sejenak, tersenyum malu, sementara para orang dewasa mengangguk pelan.
Kakek itu membawa Raka ke rumahnya yang sederhana, berdinding anyaman bambu dan beratap daun palem. Di dalam, hanya ada beberapa perabot: bangku bambu untuk duduk dan meja rendah dari kayu yang diolesi getah, menahan makanan.
Ia menepuk bangku di sampingnya, mempersilakan Raka duduk, lalu menyodorkan minuman dari gelas bambu berisi air segar dan makanan ringan: talas tumbuk dicampur madu. Aroma manisnya menyentuh hidung Raka, membuatnya tersenyum tipis. Tanpa kata banyak, kakek itu duduk berhadapan, matanya bersinar penuh perhatian.
Raka mengecap talas madu di tangannya. Manisnya berbeda dari apapun yang pernah ia rasakan. Dalam pikirannya, ia bergumam, “Ini pertama kalinya aku makan sesuatu yang manis…”
Kakek memulai percakapan dengan suara tenang namun berat.
“Namaku Gajo. Aku lahir di musim ke-7 dari siklus kering ke-270.”
Raka terkejut. Matanya membesar, membayangkan umur panjang kakek yang tampak kokoh dan tegap meski telah melewati ratusan siklus, sedangkan gurunya baru siklus ke-155. Rasa takjub itu menumpuk di hatinya, sementara lidahnya masih mengecap manis talas madu.
Gajo menghela napas pelan, matanya sejenak redup.
“Para Rasi… sudah lama mereka tidak datang sejak siklus ke-16. Entah apa yang terjadi, meninggalkan kami di sini… padahal kami selalu menyambut mereka, selalu menerima ajaran yang mereka tinggalkan.”
Raka menatap kakek itu, merasakan kesepian yang tersirat di balik ketegaran dan senyumnya. Meski baru pertama kali bertemu, ada sesuatu dalam kata-kata Gajo yang menggetarkan hatinya, seperti potongan sejarah yang hilang dan menunggu untuk diingat.
Gajo menatap Raka lama, seolah mencium sesuatu yang tak kasat mata.
“Getah Pohilon,” gumamnya pelan. “Dan serat Ara… pakaian seperti itu hanya dipakai para murid Rasi.”
Raka terdiam, dadanya menegang. Ia tak menyangka penyamarannya terbaca hanya dari aroma dan serat baju. Tapi Gajo tidak menanyai apa pun. Ia hanya tersenyum tipis, lalu menunduk, berpikir sendiri: Tak mungkin seorang anak terlalu muda menapaki Prahya sepenuhnya.
Matanya berkaca-kaca, teringat kehadiran Rasi dan para muridnya.
“Dulu, mereka mengajarkan kami tentang 12 musim, agar tahu tanda-tanda alam, kapan menanam, kapan memanen, dan kapan waktunya berburu. Bahkan pertanyaan remeh pun selalu dijawab Rasi dengan senyum sabar,” gumamnya.
“16 siklus telah berlalu tanpa mereka. Tanda-tanda alam tetap muncul, cahaya api hijau yang misterius menari di langit, namun maknanya tak seorang pun bisa pahami. Hanya Rasi dan muridnya yang memiliki wahyu, yang mengetahui arti setiap fenomena.”
Rasa rindu itu mendesak dadanya, namun di balik kenangan hangat itu, teringat tragedi yang tak terhapuskan. Bayi-bayi tunas, tak berdosa, menjadi korban pembantaian. Benda panjang dan tajam, berkilau seperti kayu basah, mampu menebas tubuh menjadi dua bagian dalam sekejap.
Gajo menutup mata, menelan air mata, dan berbisik pada dirinya sendiri:
“Kekuatan semacam itu bukan untuk manusia biasa. Hanya mereka yang memahami wahyu, yang bisa menapaki jalan itu tanpa hancur.”
Raka terkejut, dadanya bergetar.
Beberapa pria dewasa pernah bercerita padanya tentang tragedi yang menimpa desa mereka: pertempuran yang dipimpin Lahkara Ama, berakhir tragis karena senjata misterius yang mampu menebas tubuh menjadi dua bagian. Beberapa warga berhasil mengungsi jauh dari medan perang, menyelamatkan diri, sementara yang lain… tak terselamatkan.
Kini Raka menyadari sesuatu yang selama ini samar: hari kelahirannya sama dengan hari ketika tragedi itu terjadi. Tidak heran ia adalah anak yatim piatu, dibesarkan oleh gurunya, Rasi Laka, tetap menjadi rahasia.
Ia menunduk, mencoba menyerap kenyataan itu. Semua yang ia dengar tentang perang, para Rasi, cahaya api hijau, dan murid-murid yang mengajarkan 12 musim, kini terasa lebih nyata dan dekat.
Dunia yang selama ini tampak jauh dan mistis, kini mengalir ke dalam darahnya, membuatnya mengerti: takdirnya bukan kebetulan ia bagian dari sejarah yang harus dijalani dengan hati dan keberanian.
Raka hanya terdiam sejenak, menatap mata Gajo dengan rasa hormat dan pengertian. Ia tak tahu harus berkata apa dan perlu kehadirannya sendiri sudah cukup menjadi penopang sunyi bagi kakek itu.
Gajo menghela napas panjang, menunduk, lalu berkata dengan suara pelan, hampir berbisik:
“Maafkan aku, Nak… aku hanya terbawa kenangan. Hal-hal ini… seharusnya tidak kubicarakan padamu.”
Raka mengangguk perlahan, tetap duduk di sampingnya, memahami bahwa kadang keheningan lebih bermakna daripada kata-kata. Suasana itu terasa hangat, meski berat, seperti dua jiwa yang terhubung oleh sejarah dan rasa kehilangan, meski berbeda generasi.
Setelah bicara panjang tentang kenangan dan tragedi masa lalu, Gajo menarik napas panjang, menepuk pundak Raka perlahan.
“Sudah cukup cerita untuk hari ini, Nak… sekarang ikut aku. Warga akan memulai ritual Pawenang Langit. Ini waktunya kita menyapa bumi dan langit,” ucapnya dengan suara tenang namun tegas.
Raka mengangguk, sedikit gugup tapi penuh rasa ingin tahu, lalu mengikuti Gajo keluar ke lapangan terbuka di tengah desa. Kabut pagi masih menipis di antara pepohonan tinggi, memberi kesan sepi namun hidup pada setiap helaan napas alam.
Raka menatap setiap gerak-gerik kakek, menyadari bahwa ritual ini lebih tentang ketenangan hati daripada gerakan yang rumit.
Gajo berdiri di tengah warga yang duduk bersila, mengangkat seikat daun pohilon kering ke tanah untuk di bakar, mengucapkan mantra pelan:
“Tanah lapar, air haus. Keduanya menunggu dalam diam.” ucapnya dalam suara lembut namun tegas
Asap tipis dari daun yang dibakar naik ke langit, mengitari batang pohon dan daun basah yang tergantung di pintu rumah-rumah desa.
Raka mengamati setiap gerak, setiap tarikan napas warga, menyadari bahwa ini bukan sekadar ritual ini adalah cara mereka menyapa bumi dan langit, menunggu izin alam sebelum bekerja.
“Dengarlah wahai anak bumi...
Watu N'yeyep tanahra, masa di mana tanah menutup matanya, air menahan napasnya, dan akar-akar kembali ke rahim bumi.
Pada masa ini, jangan ada yang menanam.
Benih yang kau tanam akan seperti bayi yang dipaksa lahir di tengah malam tanpa cahaya takkan tumbuh sempurna.
Jangan menebang pohon besar, sebab batang dan dahannya sedang berdoa kepada bumi agar hujan datang tepat waktu.
Jangan pula menggali tanah dalam, karena rahim bumi sedang menyimpan kekuatan untuk musim berikutnya.
Dan dengarlah baik-baik...
Jangan ada yang menikah di Watu N'yenyep tanahra. Karena bumi belum diberi izin untuk melahirkan, maka setiap ikatan baru dianggap belum direstui oleh alam.
Bumi bukan hanya tempat berpijak, tapi ibu yang hidup.
Jika kita memaksa di saat ia beristirahat, maka tahun depan ia akan lelah dan enggan memberi hasil.
Hormatilah Watu N'yeyep tanahra, agar musim berikutnya penuh berkah dan segala yang hidup kembali tumbuh dengan hati yang tenteram.”
Setelah ritual Pawenang Langit selesai, kabut pagi mulai menebal di antara pepohonan, dan warga perlahan kembali ke aktivitas masing-masing. Raka menatap daun basah yang masih tergantung di pintu rumah-rumah desa, merasa penasaran.
“Kakek… kenapa daun itu digantung begitu?” tanyanya pelan.
Gajo tersenyum, menepuk kepala Raka lembut.
“Ah, itu… daun yang basah ini bukan sekadar hiasan. Ia simbol perlindungan dan penyampaian niat kita kepada langit dan bumi.
Rumah-rumah yang memiliki daun ini dijaga dari kekeringan dan panas berlebih, sekaligus menerima berkah dari alam.
Semua ini agar manusia dan alam tetap selaras.”
Raka mengangguk, perlahan memahami bahwa setiap langkah ritual, setiap daun, setiap asap dan abu, adalah bahasa yang menghubungkan manusia dengan alam dan tanda-tanda langit.
Raka duduk di tepi lapangan, menatap sisa-sisa asap dari daun Pohilon yang masih mengepul tipis.
Ia merenung, mengingat ajaran Rasi Laka: bagaimana manusia harus sabar, mendengar alam, dan menghormati tanda-tanda langit.
Ajaran itu ternyata cukup kuat, mampu bertahan hingga siklus ke-16 meski Rasi dan muridnya tidak muncul.
“Barangkali aku bisa tinggal di desa ini sementara,” pikirnya pelan. Ia ingin memahami lebih dalam cara hidup yang selaras dengan alam, melihat apakah ada hal-hal baru yang berkembang dari ajaran Rasi.
Namun Raka tersentak menyadari satu hal: ia sedang menyembunyikan identitasnya.
Tidak boleh ada yang tahu bahwa ia murid Rasi Laka, apalagi seorang anak muda yang sedang menapaki ujian Prahya.
Ia menatap kakek Gajo, ragu-ragu.
Jika Gajo mengizinkan tinggal sementara, ia harus tetap menjaga jarak, diam, dan menyatu dengan desa, menyerap ilmu tanpa menonjolkan dirinya.
Dalam hati, Raka menghela napas panjang. Ia tahu ini ujian lain, bukan hanya dari alam, tapi dari kesabaran dan kewaspadaan terhadap manusia di sekitarnya.
Beberapa warga mendekat, menatap Raka dengan rasa ingin tahu.
“Sapa namamu, Nak?” tanya seorang wanita paruh baya sambil tersenyum lembut.
“Di mana kau tinggal selama ini?” sambung pria lain.
“Umurmu berapa sekarang?”
Raka terkejut, bukan hanya karena ditanya, tapi juga mengingat perjalanan panjang dari Gunung Salak ke desa yang memakan hampir setengah musim. Tubuhnya lelah, kakinya nyeri, namun hatinya tetap waspada karena identitasnya harus disembunyikan.
Ia menelan ludah, kemudian menjawab dengan hati-hati:
“Namaku… Raka. Tinggal di Gunung Salak bersama kakek.”
Ia menambahkan dengan suara pelan tapi jujur:
“Umurku… musim tunas, siklus ke-15.”
Warga-warga itu saling bertukar pandang, beberapa tersenyum kagum, sebagian lagi terkejut melihat anak muda yang baru datang dari perjalanan panjang, namun mereka tetap menghormati kehadirannya.
Raka menghela napas panjang, lega karena rahasia identitasnya tetap tersembunyi, sekaligus menyadari betapa jauhnya perjalanan ini membuatnya lebih menghargai desa dan orang-orang yang tinggal di sini.
Gajo menatap Raka, matanya terbelalak.
“Anak seusia siklus ke-15… sudah menempuh perjalanan sejauh ini?” gumamnya, suaranya tertahan antara kagum dan prihatin.
Raka menunduk, merasakan beratnya tatapan itu. Gajo pasti bisa menebak bahwa ia lahir dari tragedi pembantaian bayi, dan tinggal bersama kakek berarti Raka adalah anak yatim piatu yang selamat.
Gajo menghela napas panjang, lalu bertanya dengan lembut tapi tegas:
“Apakah ada keperluan yang membuatmu melakukan perjalanan jauh di usia terlalu muda?”
Raka terdiam, dadanya berdebar. Ia memandang gelang akar Sajar di pergelangan tangannya, menyentuhnya perlahan, mencari ketenangan dan inspirasi.
Setelah beberapa detik berpikir keras, ia menemukan jawaban yang aman.
“Saya… ingin pergi ke Suku Yaka,” jawab Raka pelan. “Katanya di sana ada pekerjaan yang bisa dipelajari… dan… mungkin berguna bagi desa juga.”
Gajo mengangguk perlahan, seolah menerima jawaban itu tanpa bertanya lebih jauh, namun matanya tetap waspada. Raka menyadari bahwa kedua mata itu mampu membaca lebih dari kata-kata, dan ia harus tetap berhati-hati menjaga rahasianya.
Gajo menatap Raka dengan lembut, lalu menghela napas panjang.
“Aku mengerti,” katanya perlahan. “Perjalanan jauh di usia muda… apalagi di malam yang gelap pekat, pasti melelahkanmu.”
Raka menunduk, merasa lega meski tetap waspada.
Gajo melangkah ke samping, menunjuk sebuah rumah sederhana di ujung desa.
“Di sana, kau bisa beristirahat beberapa hari. Gunakan waktu itu untuk memulihkan tenaga, makan, dan menenangkan pikiran. Nanti, setelah siap, kau bisa memutuskan langkah berikutnya.”
Raka mengangguk pelan, hatinya campur aduk antara rasa lega, syukur, dan kewaspadaan.
Ia tahu tinggal sementara di desa berarti waktu untuk belajar, mengamati, dan menyesuaikan diri dengan kehidupan orang-orang di sini, tanpa harus mengungkapkan rahasia dirinya.
Dengan hati-hati, ia mengikuti Gajo menuju rumah yang disediakan, setiap langkahnya masih terasa berat setelah perjalanan panjang, tapi ada rasa aman yang perlahan menyelimuti dada.
Gajo membuka pintu rumah sederhana itu, dinding anyaman bambu, beratap daun palem, dan menunjuk ke sudut yang agak lapang.
Setiap sambungan bambu dan kayu dililit tali dari serat ara, sehingga rumah ini kokoh.
“Ini rumah yang bisa kau gunakan sementara,” katanya. “Dulu, tempat ini juga digunakan oleh Rasi dan murid-muridnya saat menjalani ujian Prahya. Biasanya mereka tinggal enam musim, atau paling lama dua musim.”
Raka menatap sekeliling, merasakan aura yang berbeda dari rumah ini. Meski sederhana, setiap lilitan serat, setiap anyaman bambu, dan atap daun yang rapi memberi kesan tenang dan fungsional, seperti tempat yang benar-benar dibuat untuk belajar, berlatih, dan menenangkan diri.
Gajo tersenyum tipis, seolah membaca pikiran Raka.
“Rumah ini pernah menjadi tempat belajar dan menenangkan diri bagi mereka yang menapaki jalan Prahya. Gunakan waktumu sebaik-baiknya, pelajari lingkungan sekitar, dan jangan terburu-buru. Rumah ini bisa menjadi tempatmu beristirahat dan mengamati alam, sambil menenangkan pikiran.”
Raka mengangguk pelan, menyadari betapa pentingnya masa tinggal sementara ini. Ia akan belajar banyak, tapi tetap harus menjaga rahasia identitasnya. Rumah sederhana itu bukan hanya tempat istirahat, tapi juga gerbang pertama untuk memahami ajaran Rasi dan mempersiapkan diri menghadapi tantangan yang lebih besar.