NovelToon NovelToon
MERENDAH UNTUK MELANGIT

MERENDAH UNTUK MELANGIT

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Kehidupan di Kantor / Kebangkitan pecundang / Bepergian untuk menjadi kaya / Romansa / Mengubah Takdir
Popularitas:5.6k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

​Di Desa Asri yang terpencil, Fajar Baskara, seorang pemuda multitalenta ahli pengobatan tradisional, harus menyaksikan keluarganya hancur—ayahnya lumpuh karena sabotase, dan adiknya difitnah mencuri—semuanya karena kemiskinan dan hinaan. Setiap hari, ia dihina, diremehkan oleh tetangga, dosen arogan, bahkan dokter lulusan luar negeri.
​Namun, Fajar memegang satu janji membara: membuktikan bahwa orang yang paling direndahkan justru bisa melangit lebih tinggi dari siapapun.
​Dari sepeda tua dan modal nekat, Fajar memulai perjuangan epik melawan pengkhianatan brutal dan diskriminasi kelas. Mampukah Fajar mengubah hinaan menjadi sayap, dan membuktikan pada dunia bahwa kerendahan hati sejati adalah kekuatan terbesar untuk meraih puncak kesuksesan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

berhasil mendapatkan sewaan ruko

## **BAB 19: MENCARI LOKASI - DITOLAK KARENA "TIDAK BONAFID"** *(lanjutan)*

"Mau sewa ruko ini?" tanyanya dengan suara parau tapi ramah—sangat berbeda dengan pemilik-pemilik ruko sebelumnya yang terdengar sombong dan meremehkan.

"Iya, Pak," jawab Fajar dengan sopan meski hatinya sudah lelah dengan penolakan demi penolakan. "Kami mau buka usaha laundry kiloan di sini."

Pak Soleh menatap mereka bertiga lama sekali. Matanya yang sudah tua itu seolah bisa membaca sesuatu yang lebih dalam dari sekadar penampilan luar.

"Laundry kiloan ya..." gumamnya sambil mengangguk-angguk pelan. "Bagus. Bisnis yang jujur. Bisnis yang bermanfaat."

Fajar, Reza, dan Pak Ganes saling melirik dengan tatapan tidak percaya. Ini pertama kalinya ada pemilik ruko yang tidak langsung meremehkan atau menolak.

"Kalian mahasiswa?" tanya Pak Soleh sambil membuka pintu ruko—pintu yang berderit keras karena engselnya sudah berkarat.

"Saya dan dia mahasiswa, Pak," jawab Fajar sambil menunjuk Reza. "Pak Ganes ini partner kami yang lebih senior. Beliau yang akan bantu operasional."

Pak Soleh menatap Pak Ganes dengan tatapan penuh respek. "Bapak... tukang becak ya? Saya sering lihat Bapak mangkal di terminal."

"Iya, Pak," jawab Pak Ganes dengan senyum. "Tapi sekarang saya mau coba hal baru. Membantu anak-anak muda ini membangun bisnis yang jujur."

Pak Soleh tersenyum—senyum yang sangat tulus dan hangat. "Bagus. Bagus sekali. Orang tua kayak kita harus support anak muda yang punya semangat kayak gini."

Mereka masuk ke dalam ruko. Ruangannya memang sangat kecil—3x5 meter. Dinding penuh dengan jamur hijau di sudut-sudut. Cat dinding sudah mengelupas di banyak tempat. Lantai keramik retak-retak. Atapnya terlihat bocor di beberapa bagian—ada bekas air yang mengering di lantai. Listriknya masih ada—Pak Soleh menyalakan lampu bohlam kuning redup yang tergantung di tengah ruangan.

Bukan tempat yang bagus.

Jauh dari ideal.

Tapi ada sesuatu di tempat ini—sesuatu yang membuat Fajar merasa... ini adalah tempatnya.

"Ruko ini... sudah lama kosong, Pak?" tanya Reza sambil melihat-lihat kondisi ruangan dengan alis berkerut—jelas dia agak ragu dengan kondisi tempat ini.

"Dua tahun," jawab Pak Soleh dengan suara sedikit sedih. "Dulu ini warung kecil saya. Jual sembako, rokok, jajan anak-anak. Tapi setelah istri saya meninggal dua tahun lalu, saya nggak sanggup lagi jalanin sendirian. Jadi saya tutup. Sejak itu kosong."

Ia mengusap dinding ruko itu dengan lembut—seolah mengusap kenangan.

"Istri saya... dia yang jagain warung ini bertahun-tahun. Dia yang ramah sama pembeli. Dia yang bikin warung kecil ini rame. Setelah dia pergi... warung ini jadi sepi. Rasanya... rasanya seperti kehilangan jiwa."

Suaranya bergetar. Matanya berkaca-kaca.

Fajar merasakan dadanya sesak mendengar cerita itu. Ia paham persis perasaan kehilangan. Ia paham persis bagaimana rasanya ketika tempat yang dulu penuh kehangatan tiba-tiba menjadi kosong dan dingin.

"Maaf atas kehilangan Bapak," kata Fajar dengan tulus.

Pak Soleh tersenyum sedih. "Terima kasih, Nak. Tapi hidup harus jalan terus kan? Makanya saya mau sewa ruko ini lagi. Biar ada kehidupan lagi di sini. Biar nggak kosong dan mati kayak gini."

"Berapa harga sewanya, Pak?" tanya Reza langsung to the point.

"Dua juta per bulan."

Fajar dan Reza tersentak. Dua juta untuk ruko di gang dengan kondisi seperti ini—terlalu mahal. Ruko di jalan utama dengan kondisi lebih bagus saja cuma dua juta.

"Pak," Reza mencoba negosiasi dengan hati-hati, "itu agak mahal untuk ukuran ruko di gang dengan kondisi seperti ini. Apa bisa kurang?"

Pak Soleh menggeleng pelan. "Maaf, Nak. Memang segitu harganya. Saya tahu ini mahal untuk lokasi di gang. Tapi... saya butuh uang untuk biaya hidup dan obat-obatan. Saya sakit jantung. Obatnya mahal. Kalau saya turunin harga, saya nggak cukup buat hidup."

Ia tersenyum getir.

"Saya paham kalau kalian mungkin nggak jadi sewa. Nggak apa-apa. Saya udah biasa ditolak. Sudah sepuluh orang yang datang lihat ruko ini, tapi semua nolak karena harga terlalu mahal dan kondisi jelek."

Fajar merasakan hatinya teriris. Pak Soleh ini... mengingatkannya pada ayahnya. Seorang pria tua yang sudah banyak menderita, yang sudah kehilangan orang terkasih, yang sakit, tapi tetap harus bertahan hidup dengan segala keterbatasan.

"Tapi kalian..." Pak Soleh menatap mereka bertiga dengan tatapan yang sangat hangat, "kalian berbeda dari yang lain. Saya lihat mata kalian—mata orang yang jujur. Mata orang yang berjuang. Saya... saya seneng kalau ruko ini disewa sama orang-orang baik kayak kalian. Biar ruko ini hidup lagi. Biar istri saya di sana—" ia menunjuk langit, "—bisa tersenyum lihat ruko ini rame lagi."

Keheningan.

Fajar, Reza, dan Pak Ganes saling melirik.

Reza berbisik pelan pada Fajar. "Jar, ini terlalu mahal. Lokasi nggak strategis. Kondisi jelek—kita harus renovasi, itu butuh biaya tambahan. Budget kita nggak cukup kalau ambil tempat ini."

"Aku tahu," bisik Fajar balik. "Tapi... aku ngerasa ini tempat yang tepat."

"Tepat gimana? Ini literally the worst option yang kita survey—"

"Aku nggak bisa jelasin," potong Fajar dengan suara pelan tapi tegas. "Tapi aku ngerasa... ini adalah tempat di mana kita harus mulai. Tempat yang sederhana. Tempat yang nggak sempurna. Tapi tempat yang punya... jiwa."

Reza menatap Fajar lama sekali. Kemudian ia menghela napas panjang.

"Kamu yakin?"

"Aku yakin."

Reza menatap Pak Ganes. "Pak Ganes, pendapat Bapak?"

Pak Ganes tersenyum—senyum yang penuh wisdom. "Kadang tempat terbaik bukan tempat yang paling bagus atau paling strategis. Tapi tempat yang terasa 'pas' di hati. Dan aku ngerasa... tempat ini pas."

Reza menghela napas lagi. Kemudian ia tersenyum—menyerah dengan cara yang baik.

"Oke. Kalau kalian berdua udah yakin, aku ikut aja. Partner harus trust satu sama lain kan?"

Fajar tersenyum lebar—senyum pertama yang tulus hari itu.

Mereka bertiga menghampiri Pak Soleh yang berdiri di pojok dengan tatapan penuh harap.

"Pak Soleh," kata Fajar dengan suara tegas tapi ramah, "kami mau sewa ruko ini. Dua juta per bulan. Kami siap."

Pak Soleh menatap mereka dengan mata terbelalak tidak percaya. Kemudian matanya berkaca-kaca. Air matanya jatuh perlahan.

"Benaran?" suaranya bergetar. "Kalian... kalian mau sewa?"

"Iya, Pak. Kami serius."

Pak Soleh menangis—menangis dengan suara terisak yang sangat terharu. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan, bahunya bergetar.

"Terima kasih... terima kasih, Nak..." isaknya. "Kalian nggak tahu seberapa berarti ini buat saya. Saya udah hampir putus asa. Udah mikir mau jual ruko ini murah aja. Tapi... tapi akhirnya ada yang mau sewa. Dan yang nyewa orang-orang baik kayak kalian..."

Fajar, Reza, dan Pak Ganes terdiam—terharu melihat Pak Soleh menangis begitu.

"Pak," kata Pak Ganes sambil menghampiri dan menepuk bahu Pak Soleh dengan lembut, "kami yang berterima kasih. Bapak kasih kami kesempatan saat semua orang nolak kami. Bapak nggak nanya track record kami. Bapak nggak meremehkan kami. Bapak... Bapak perlakukan kami dengan hormat. Itu berarti sangat besar buat kami."

Pak Soleh mengusap air matanya dengan punggung tangannya yang keriput dan gemetar.

"Saya cuma... saya cuma bisa lihat orang dari mata mereka, Pak," katanya dengan suara parau. "Dan mata kalian bertiga—mata orang jujur. Mata orang yang punya niat baik. Saya percaya sama kalian."

Mereka berempat—tiga penyewa dan satu pemilik—berdiri di ruko kecil yang sudah dua tahun kosong itu, dengan mata berkaca-kaca, dengan hati penuh emosi.

"Kapan kalian mau mulai?" tanya Pak Soleh setelah berhasil menenangkan dirinya.

"Secepat mungkin, Pak," jawab Fajar. "Kami mau renovasi sedikit—cat ulang, benerin atap yang bocor, benerin lantai yang retak. Habis itu langsung operasional."

"Kalau mau renovasi, saya bisa bantu tenaga," tawar Pak Soleh dengan antusias. "Saya udah tua, tapi masih kuat kok bantu-bantu. Nggak usah bayar. Anggap aja kontribusi saya biar ruko ini cepet hidup lagi."

"Tidak, Pak," Reza langsung menolak dengan halus. "Bapak sudah sakit jantung. Nggak boleh kerja berat. Biar kami yang urus. Bapak istirahat aja."

"Tapi—"

"Nggak ada tapi, Pak," potong Fajar dengan senyum. "Bapak udah kasih kami tempat ini. Itu sudah lebih dari cukup. Sekarang biar kami yang kerja."

Pak Soleh akhirnya mengangguk—meski terlihat jelas dia ingin sekali membantu.

"Oke kalau begitu," kata Reza sambil mengeluarkan uang dari tas ranselnya. "Ini uang sewa bulan pertama. Dua juta. Dan ini—" ia mengeluarkan uang lima ratus ribu tambahan, "—ini untuk Bapak. Untuk beli obat. Anggap aja bonus dari kami karena Bapak udah percaya sama kami."

"Tidak tidak tidak!" Pak Soleh langsung menggeleng keras, menolak uang lima ratus ribu itu. "Saya nggak bisa terima ini! Sewa dua juta udah cukup!"

"Terima aja, Pak," kata Fajar dengan lembut. "Bapak bilang obat jantung mahal kan? Lima ratus ribu ini buat bantu Bapak beli obat. Please. Kami ikhlas."

"Tapi ini terlalu banyak—"

"Pak Soleh," Pak Ganes angkat bicara dengan suara tegas tapi penuh kehangatan, "kami sama-sama orang yang berjuang keras. Kami tahu bagaimana susahnya hidup dengan sakit dan nggak punya cukup uang untuk obat. Terima aja uang ini. Biar Bapak sehat. Biar Bapak bisa lihat ruko ini rame lagi kayak dulu."

Pak Soleh menatap mereka bertiga lama sekali. Kemudian ia mengangguk pelan, menerima uang itu dengan tangan gemetar.

"Terima kasih," bisiknya dengan suara sangat bergetar. "Kalian... kalian orang-orang baik. Istri saya pasti seneng kalau tahu ruko ini disewa sama orang baik kayak kalian."

Mereka menandatangani kontrak sewa yang sederhana—ditulis tangan di atas kertas folio bergaris, sangat jauh dari kontrak formal yang biasa dipakai untuk sewa-menyewa komersial. Tapi tidak ada yang peduli. Yang penting kesepakatan jelas dan sama-sama ikhlas.

Setelah selesai, Pak Soleh menyerahkan kunci ruko—kunci besi tua yang berkarat—pada Fajar.

"Ini kunci ruko kalian sekarang," katanya sambil tersenyum lebar—senyum pertama yang tulus sejak mereka bertemu. "Semoga sukses, Nak. Semoga bisnis kalian lancar. Semoga ruko ini bawa berkah buat kalian."

"Amin," jawab mereka bertiga serempak.

---

Malam itu, Fajar, Reza, dan Pak Ganes duduk di dalam ruko kosong yang sekarang resmi menjadi milik mereka—atau setidaknya, tempat yang mereka sewa untuk memulai mimpi mereka.

Hanya diterangi oleh bohlam kuning redup, mereka duduk melingkar di lantai keramik yang retak. Tidak ada furniture. Tidak ada apapun. Hanya mereka bertiga, satu bohlam redup, dan mimpi yang sangat besar.

"Jadi," kata Reza sambil tersenyum, "officially, ini adalah kantor pertama BUMI BERSIH LAUNDRY."

"Kantor?" Pak Ganes tertawa kecil. "Ini mah lebih kayak gudang tua yang hampir roboh."

"Tapi ini gudang tua kita," sahut Fajar sambil tersenyum lebar—senyum yang penuh bangga. "Ini adalah tempat di mana kita akan mulai. Tempat di mana kita akan buktikan pada dunia bahwa orang-orang yang diremehkan, yang ditolak berkali-kali, yang dianggap 'nggak bonafid'—bisa sukses."

Ia menatap keliling ruangan kecil yang penuh jamur dan retak-retak itu.

"Tempat ini jelek. Lokasi nggak strategis. Kondisi buruk. Tapi ini adalah tempat kita. Dan dari tempat yang jelek ini, kita akan bangun sesuatu yang indah. Sesuatu yang bermakna. Sesuatu yang akan diingat orang."

Reza dan Pak Ganes menatap Fajar dengan tatapan penuh respek. Pemuda ini—pemuda kurus kering yang sudah ditolak puluhan kali, yang sudah diremehkan ratusan kali—masih punya api yang menyala sangat besar di matanya.

"Besok," kata Fajar dengan suara tegas penuh determination, "besok kita mulai renovasi. Kita cat ulang. Kita benerin yang rusak. Kita bersih-bersih. Dan dalam seminggu, tempat ini akan jadi laundry pertama BUMI BERSIH."

"Seminggu?" Reza mengerutkan kening. "Itu terlalu cepat. Renovasi butuh waktu—"

"Kita nggak punya waktu banyak," potong Fajar. "Uang kita terbatas. Setiap hari yang kita buang untuk renovasi adalah uang yang kita buang. Kita harus cepat operasional. Cepat dapat omzet. Cepat cash flow."

Pak Ganes mengangguk setuju. "Fajar benar. Semakin cepat kita buka, semakin cepat kita bisa survive. Aku akan bantu renovasi full time. Reza, kamu handle pembelian mesin cuci dan supplies. Fajar, kamu handle branding material dan izin-izin kalau perlu."

"Deal," kata Reza sambil mengangguk. "Kita bagi tugas jelas. Kita kerja cepat. Kita buka dalam seminggu."

Mereka bertiga menaruh tangan di tengah—seperti ritual tim olahraga sebelum pertandingan.

"BUMI BERSIH LAUNDRY," kata Fajar dengan suara keras penuh semangat.

"BERSIH, JUJUR, TERJANGKAU," sambung Reza dan Pak Ganes serempak.

"MULAI DARI NOL, MELANGIT KE PUNCAK!" teriak mereka bertiga bersama-sama.

Teriakan mereka menggema di ruko kecil yang kosong itu—teriakan penuh harap, penuh semangat, penuh tekad yang tidak bisa dipatahkan oleh apapun.

Di luar, hujan tiba-tiba turun—hujan deras yang membasahi gang sempit itu. Suara gemuruh air hujan menghantam atap seng yang bocor, meneteskan air ke dalam ruko di beberapa titik.

Tapi mereka tidak peduli.

Mereka duduk di lantai yang mulai basah karena bocoran, tertawa bersama, merencanakan masa depan bersama.

Karena mereka tahu—dari tempat yang paling rendah, dari tempat yang paling tidak menjanjikan, justru lahir kesuksesan yang paling indah.

Dan mereka bertekad—kesuksesan itu akan menjadi milik mereka.

Tidak peduli berapa lama.

Tidak peduli seberapa berat.

Mereka akan berhasil.

Atau mati mencoba.

**BERSAMBUNG...**

1
Sean Eagle
yg gue bingung Fajar ini masih umur 5 tahun kah thor ?......dikit dikit nangis
Dri Andri: terlalu pedih hidupnya
total 1 replies
ceuceu
sebenarnya kasian sm fajar,tapi kerasnya yg bikin greget,ga mau minta bantuan akhirnya kerja trs ampe sakit,biaya rumah sakit gede kn .
lama" ngeselin fajar.
Meru Kristanto
udah tamatkah
Dri Andri: belum kak... aku belum update bab... masih update 2 novel lain Sultan setelah koma dan cinta beda alam

mungkin bab ini sekarang update tunggu ya 😊
total 1 replies
ceuceu
Masyaa Allah ikut senang nereka sukses bersama/Good//Good//Good/
Dri Andri: iya makasih hadirnya yah
total 1 replies
Adek Denu
nice thor💪😍
Dri Andri: makasi
total 1 replies
Dewiendahsetiowati
semoga cepat clear masalah Fajar dan Damar dapat hukuman
Dri Andri: susah kak... karena dari keluarga kaya koneksi besar hukum bisa di tutup dengan cuan
total 1 replies
ceuceu
terimakasih update nya thor
Dri Andri: sama sama makasih juga dukungan lewat komentarnya
total 1 replies
ceuceu
thor rani apa kabarnya pengacara david udh nanganin kasusnya blm?
Dri Andri: hehehe kelupaan.. kebawa suasana cerita kuliah,,, pokus dulu aja di sini
total 1 replies
ceuceu
gedeg bgt blm apa" udh ada pengacau
Dri Andri: 🤭minum dulu jngn terbawa suasana
total 1 replies
Dri Andri
ya seperti parkiran.... kan beda di sana kota... sama bahan bakar yang pake🤭
ceuceu
thor bukan nya sepeda ga pake bensin ya?
kok demi hemat fajar ga bawa sepeda ke kampus?
kalaw jalan kaki bukan nya hemat malah lebih boros di waktu dan tenaga.
Dri Andri
sama....bukan lebay yah aku aja yang tulis mau nangis
ceuceu
tiap bab penuh bawang/Sob/
Dri Andri: sama.... bukan lebay ya... aku aja yng tulis sampe mau nangis
total 1 replies
ceuceu
ga tega bgt fajar/Sob/
Dri Andri
sabar yaa
Dri Andri
terimakasih udah selalu hadir di novel saya.... ini suatu kebangaan bagi saya 🙏
Dri Andri
Terimakasih kak udah selalu hadir di novel saya ini suatu kebangaan bagi saya
Dewiendahsetiowati
bikin dada nyesek.baca 😭😭
Dewiendahsetiowati
hadir thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!