NovelToon NovelToon
Iparku

Iparku

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Beda Usia / Keluarga / Romansa / Sugar daddy
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: Khozi Khozi

"mbak meli ,besar nanti adek mau sekolah dikota smaa mbak "ucap lita yang masih kelas 1 SMP
" iya dek kuliahnya dikota sama mbak "ucap meli yang sudah menikah dan tinggal dikota bersama suaminya roni.

apakah persetujuan meli dan niat baiknya yang ingin bersama adiknya membawa sebuah akhir kebahagiaan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khozi Khozi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

episode 6 menghindar

Sampai di titik di mana tangan Roni tanpa sadar menyentuh dan mengusap dada Lita yang basah, waktu seperti berhenti. Keduanya terpaku — tatapan mata saling bertemu, cepat namun menusuk, seolah mencoba membaca isi pikiran masing-masing.

Lita tersentak, buru-buru meraih kain kering dari tangan Roni, lalu menempelkannya di dada yang basah. Tanpa berkata sepatah pun, ia melangkah cepat menuju kamar, napasnya sedikit tersengal.

Di atas kasur, Lita terduduk diam. Pikirannya berputar, mengulang-ulang kejadian barusan. Mas Roni… tadi… bantuin aku? Ih, kenapa rasanya aneh banget… . Aduh, kalau ketemu nanti gimana? Malu banget… Ia menggigit bibir, lalu memutuskan, Kayaknya aku harus sering-sering di kamar kalau Mas Roni masih ada di rumah.

Ia membuka lemari, mengambil baju kering, lalu merebahkan diri di kasur. Tangannya sibuk memainkan ponsel, meski pikirannya masih tersangkut pada momen tadi.

Sementara itu, Roni masih duduk di kursi, tubuhnya tegap namun matanya kosong. Ada senyum samar di wajahnya — bahagia karena momen kecil barusan. Namun, rasa bersalah ikut menyusup.

Pintu depan terbuka. “Mas, kamu sendirian? Lita mana?” suara Melly memecah lamunan Roni.

“Habis makan tadi, dia ke kamar… katanya perutnya sakit,” jawab Roni dengan senyum tipis.

“Oh pantes, makanannya masih banyak,” ucap Melly sambil melirik piring di meja. “Udah minum obat belum dia?”

“Belum… kayaknya mau tidur dulu,” Roni berusaha terdengar biasa.

Melly mengangguk. “Nanti aku tanya langsung. Aku mandi dulu ya, Mas.”

“Iya, sayang,” ucap Roni pelan, senyumnya samar namun matanya masih menyimpan sisa bayangan kejadian barusan.

Beberapa menit kemudian, Melly yang sudah selesai mandi berjalan menuju kamar Lita. Ia mengetuk pelan pintu kayu itu.

Tok… tok…

“Siapa?” suara Lita terdengar dari dalam, sedikit lemah namun tetap berusaha terdengar normal.

“Ini Mbakmu,” jawab Melly.

“Buka aja, Mbak. Pintunya nggak dikunci,” sahut Lita.

Meli masuk, duduk di pinggir kasur sambil menatap adiknya itu. “Kamu… katanya Mas Roni, perutnya sakit?” tanyanya, nada khawatir jelas terdengar.

“Iya, Mbak… nggak tahu, tiba-tiba aja sakit,” jawab Lita, menunduk. Dalam hatinya, pikirannya kacau. Apa Mas Roni cerita ke Mbak Melly tentang tadi? Kalau iya… aku harus jawab apa? Kalau Mbak marah gimana? Detak jantungnya tak karuan.

“Masih sakit?” tanya Meli lagi. “Mbak ambilin obat, ya.” Ia bangkit, berjalan ke lemari obat.

Tak lama, ia kembali dengan segelas air dan sebutir obat di tangan. “Nih, minum dulu,” ucapnya sambil menyodorkan.

Lita langsung menelannya, mencoba tersenyum tipis.

“Besok kamu nggak usah sekolah dulu kalau masih sakit,” saran Meli lembut.

“Aku mau sekolah, Mbak. Bentar lagi juga mau lulus,” jawab Lita cepat. Namun jauh di dalam hati, ia ingin sekali menghindar dari Roni. Ia tidak ingin lagi ada momen seperti tadi… momen yang membuatnya gelisah dan takut

"iya tapi besok obatnya dibawa buat jaga² ya" ucap meli memberi obat tadi

" iya mba "jawab lita kembali tidur

" kamu istirahat dulu mbak mau kekamar "meli menaikan selimut lita sampai sebatas dada

" iya mbak besok juga udah sembuh " ucap lita setelah mbaknya keluar dia berfikir mbaknya tadi tidak menanyakan apapun apa dia belum tahu dan kejadian tadi berati mas Roni tidak cerita ke mbak meli

diPagi buta, saat langit masih abu-abu dan embun masih terlihat , Lita sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Bahkan Bu Yana pun belum bangun. Dengan langkah hati-hati, ia mengendap menuju pintu depan, menahan napas setiap kali lantai kayu berderit. Begitu pintu terbuka, udara dingin pagi menyambutnya. Ia berjalan cepat, hampir berlari, menuju jalan depan di mana Amel sudah menunggunya dengan motor.

“Tumben banget lo ngajak berangkat sepagi ini. Ayam aja belum sempet berkokok,” celetuk Amel sambil menguap. Ia masih heran karena tadi subuh-subuh Lita menelepon, memintanya menjemput. Untung saja ia sahabat yang pengertian di situasi apapun

“Jangan berisik. Udah, sekarang kita langsung ke rumah lo,” ujar Lita cepat, matanya gelisah menoleh ke kanan dan kiri.

Amel, yang menangkap kegugupan sahabatnya, tak banyak bertanya. Ia langsung memutar gas motornya, membelah udara dingin menuju rumahnya.

Begitu sampai, mereka masuk ke kamar Amel. Lita langsung menjatuhkan tasnya, sementara Amel bersedekap, menatap curiga.

“Oke, sekarang lo cerita. Kenapa lo kayak orang menghindar gitu dari rumah?”

“Gue nggak ngindar. Gue cuma lagi marahan sama Ibu,” jawab Lita singkat, memalingkan wajah.

Amel mengerutkan kening. “Marahan sampai segitunya? Sampe kabur pagi-pagi?”

Lita terdiam. Ia tak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Bagi dirinya, kejadian semalam adalah rahasia yang menekan dadanya seperti batu besar dia terlalu malu untuk bercerita baginya itu aib , terlalu berisiko jika sampai terdengar oleh orang lain.

“Iya… ini beda, Mel. Ibu marah banget sama aku,” ucap Lita lirih,

“Aku ngerti perasaan kamu… kamu tenang dulu di sini. Aku mau mandi sebentar,” kata Amel sambil menepuk pundak sahabatnya pelan.

“Jangan kelamaan, ya. Biasanya kalau udah mandi suka lupa waktu,” sahut Lita, heran dengan kebiasaan Amel yang betah berlama-lama di kamar mandi.

“Iya, nggak lama kok,” jawab Amel sambil tersenyum tipis lalu berlalu.

Tak lama kemudian, dari arah dapur terdengar suara lembut yang hangat.

“Tumben pagi-pagi udah ke sini, Ndok,” sapa Bu Sarah, ibunya Amel, sambil melirik penuh rasa ingin tahu.

“Iya, Buk. Mau ngerjain tugas dulu. Nanti di kelas sekalian kumpul,” jawab Lita sambil menerima uluran tangan Bu Sarah.

“Untung Ibu udah masak. Kamu makan di sini aja, ya,” tawar Bu Sarah ramah.

“Iya, Buk. Nunggu Amel dulu, sekalian

makan bareng,” jawab Lita. Rumah ini sudah seperti rumah keduanya sejak kecil, tempat ia sering tertawa, menangis, bahkan dulu dia sering menginap

“Kalau Arya nggak ikut bareng ke sini?” tanya Bu Sarah penasaran.

“Enggak, Buk. Biasanya dia berangkatnya siang,” jawab Lita.

“Nanti bawain dia bekal, ya,” ucap Bu Sarah penuh perhatian. Sejak kecil, mereka berempat sudah terbiasa makan dan menginap di sini. Tak heran, Bu Sarah menganggap mereka seperti anaknya sendiri.

kurang dari setengah jam amel keluar dari kamarnya

"lit, ayo makan gue udah laper nih" ajak amel

" gue juga laper dari tadi nungguin lo perut gue udah bunyi " ucap sinis lita

" ya kenapa gak langsung makan,ibuk juga pasti udah suruh makan" amel yang tidak Terima disalahkan

"ya gue mau makan bareng sama lo " ucap lita dengan nada sok imutnya

" lo begitu aja masih cantik kalau gak udah muntah aku " canda amel

"ibuk tadi bilang disuruh bawain bekal buat Arya" ucap lita

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!