Email salah kirim, meeting berantakan, dan… oh ya, bos barunya ternyata mantan gebetan yang dulu menolak dia mentah-mentah.
Seolah belum cukup, datang lagi intern baru yang cerewet tapi manisnya bikin susah marah — dan entah kenapa, selalu muncul di saat yang salah.
Di tengah tumpukan laporan, deadline gila, dan gosip kantor yang tak pernah berhenti, Emma harus belajar satu hal:
Bagaimana caranya tetap profesional saat hatinya mulai berantakan?
Antara mantan yang masih bikin jantung berdebar dan anak magang yang terlalu jujur untuk dibiarkan begitu saja, Emma akhirnya sadar — cinta di tempat kerja bukan cuma drama… tapi juga risiko karier dan reputasi yang bisa meledak kapan saja.
Cinta bisa datang di mana saja.
Bahkan di ruang kerja yang penuh tawa, kopi tumpah, dan masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ASEP SURYANA 1993, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 10 — Rapat yang Membakar Segalanya
Hari itu, udara di kantor Vibe Media terasa lebih berat dari biasanya.
Setiap langkah Emma menuju ruang rapat terdengar seperti gema di lorong panjang — semua mata memperhatikannya.
Di layar besar di ruang rapat, tampak slide bertuliskan “Professional Boundaries & Workplace Ethics.”
Judul yang membuat jantung Emma langsung turun setengah meter.
Tessa berbisik ke Monica di pojok ruangan,
“Ini pasti gara-gara gosip minggu lalu.”
Monica membalas, “Ya ampun, ini bakal seru banget.”
Emma menarik kursi, duduk di deretan tengah bersama tim editorial. Ryan duduk di sebelahnya, menyengir tegang.
“Tenang aja, aku udah latihan ekspresi tidak bersalah semalaman,” bisiknya.
Emma mendesah. “Latihan ekspresi tidak akan menyelamatkan karierku, Ryan.”
Pintu terbuka. Liam masuk, mengenakan setelan gelap, wajahnya tegas tapi matanya… menatap Emma lebih lama dari yang seharusnya.
“Baik, mari kita mulai,” katanya sambil menyalakan pointer.
---
Presentasi berlangsung tegang.
Slide demi slide tentang etika profesional, batasan pribadi, dan hubungan di tempat kerja bergulir dengan suara narator HR yang monoton.
Tapi setiap kata “hubungan” terasa seperti panah yang diarahkan langsung ke dada Emma.
Saat sesi tanya jawab dibuka, seorang staf desain — yang tampaknya ingin mencari sensasi — mengangkat tangan.
“Pak Dawson, saya mau tanya. Kalau misalnya hubungan pribadi terjadi di antara senior dan intern, apa yang sebaiknya dilakukan?”
Seluruh ruangan menoleh ke Emma dan Ryan secara refleks.
Ryan mengangkat alis. “Wah, pertanyaan pancingan.”
Emma menunduk, pipinya panas.
Liam menatap staf itu tajam, tapi nadanya tetap dingin.
“Kalau itu terjadi, yang terpenting adalah transparansi dan tanggung jawab. Tapi saya yakin tim kita cukup profesional untuk tahu batasannya.”
Lalu ia menatap langsung ke arah Emma — sekilas, tapi cukup untuk membuat seluruh ruangan menangkap maknanya.
Emma mengepalkan tangan di bawah meja.
Ia tahu, meski Liam berniat melindungi, tatapan itu justru memperparah keadaan.
Setelah rapat selesai, beberapa rekan langsung berbisik lagi.
Monica berkomentar, “Wah, kalau tatapan bosku kayak gitu, aku juga mungkin jatuh cinta.”
Emma berdiri cepat. “Aku butuh udara.”
Ryan menatapnya, lalu menyusul keluar.
---
Di tangga darurat kantor, Emma berdiri memandangi jendela dengan napas berat.
Ryan muncul beberapa detik kemudian membawa dua kaleng soda.
“Minum dulu,” katanya sambil menyodorkan satu.
“Biar nggak kehabisan energi buat nahan gosip.”
Emma mengambilnya, menatap Ryan tanpa bicara.
Ryan meneguk sodanya, lalu berkata pelan, “Kau tahu, kadang aku heran kenapa mereka peduli banget sama hidup kita.”
“Karena mereka bosan dengan hidup mereka sendiri,” jawab Emma datar.
“Ya, tapi mereka nggak tahu betapa rumitnya hidup kita,” kata Ryan sambil menyandarkan kepala ke dinding. “Mereka cuma lihat dua orang tertawa di kafe, nggak tahu bahwa salah satunya sebenarnya lagi nyembunyiin luka.”
Emma menatapnya. “Siapa yang kamu maksud?”
Ryan tersenyum kecil. “Kamu, tentunya.”
Emma diam. Kata itu sederhana, tapi menembus pertahanan yang selama ini ia bangun.
Ia menatap Ryan lama, lalu berkata pelan, “Kau selalu bisa bikin suasana serius jadi ringan.”
Ryan menatapnya balik. “Dan kau selalu bisa bikin hal ringan terasa penting.”
Hening beberapa detik. Lalu mereka tertawa kecil — sampai suara berat memecah suasana.
“Carter. Miller.”
Liam berdiri di pintu tangga darurat.
Ryan langsung tegak. “Pak— kami cuma—”
Liam memotong dengan tenang. “Aku ingin bicara dengan Carter. Sendirian.”
Ryan menatap Emma, seolah ingin memastikan ia baik-baik saja.
Emma mengangguk, memberi isyarat halus agar ia pergi.
Begitu Ryan pergi, Liam melangkah pelan mendekat.
“Aku tahu kau merasa terpojok,” katanya tanpa nada menghakimi. “Tapi kau harus tahu… aku tidak akan membiarkan siapa pun menjatuhkanmu.”
Emma menatapnya. “Dengan melibatkan aku di rapat itu? Dengan tatapan yang membuat semua orang tambah yakin?”
Liam terdiam sejenak. “Aku— tidak bermaksud begitu.”
“Tapi kau melakukannya,” balas Emma pelan. “Kau mungkin pikir sedang melindungiku, Liam, tapi semua ini justru memperburuk keadaan.”
“Kalau aku diam saja, mereka akan menyerangmu,” katanya serius.
Emma mendekat satu langkah. “Dan kalau kau terlalu banyak bicara, mereka akan menyerangku karena alasan lain.”
Mereka saling menatap — tegang, tapi di bawahnya ada sesuatu yang lain.
Liam berkata pelan, “Kau masih marah karena masa lalu kita.”
Emma tersenyum getir. “Aku tidak marah. Aku cuma belajar menutup pintu.”
“Kalau aku minta kesempatan kedua?” tanya Liam dengan nada lebih lembut.
Emma menatapnya lama. “Kau yakin yang kau cari bukan kesempatan… untuk menang?”
Liam tak menjawab. Ia hanya menatap Emma dengan pandangan yang sulit dijelaskan — campuran penyesalan dan keinginan.
Emma menarik napas panjang. “Liam, aku tidak bisa terus begini. Aku tidak bisa jadi bagian dari masa lalu dan masa kini sekaligus.”
Ia berjalan melewatinya, membuka pintu, lalu berhenti sejenak.
“Tapi kalau kau benar-benar mau memperbaiki semuanya, jangan mulai dari aku. Mulailah dari dirimu sendiri.”
Pintu tertutup.
Liam berdiri sendiri di tangga, menatap lantai, lalu bergumam pelan:
> “Kau selalu tahu cara membuatku merasa kalah, Carter…”
---
Sore harinya, Ryan menghampiri Emma di mejanya.
“Gimana? Bos besar ngomong apa?”
Emma tersenyum tipis. “Hal yang sama seperti dulu — dengan gaya yang lebih sopan.”
Ryan mengangkat bahu. “Maksudmu… masih ada rasa?”
Emma memandangnya, lalu menjawab pelan tapi jujur,
> “Yang ada cuma sisa — tapi sisa pun bisa bikin luka baru kalau disentuh.”
Ryan terdiam sejenak, lalu dengan gaya santainya berkata,
“Kalau gitu, biar aku bantu kamu lukis sesuatu yang baru.”
Emma menatapnya heran. “Apa maksudmu?”
Ryan mengeluarkan ponsel dan menunjukkan gambar doodle yang ia buat: dua karakter kartun, perempuan dengan kopi dan laki-laki dengan laptop, sedang berdiri di tengah badai hujan — tapi saling memayungi.
Emma menatap gambar itu lama, lalu tersenyum untuk pertama kalinya hari itu.
“Lucu banget.”
Ryan tersenyum kecil. “Nggak lucu. Itu rencana.”
---
Di kejauhan, dari balik kaca ruangannya, Liam memperhatikan mereka berdua.
Tidak ada kemarahan di wajahnya — hanya kesadaran bahwa sesuatu yang dulu miliknya, kini mulai perlahan berpindah arah.
Ia menatap Emma yang tertawa kecil bersama Ryan, lalu berkata dalam hati:
> “Kalau cinta memang harus kalah… setidaknya biarkan dia menang dengan bahagia.”
---