Mereka melihatnya sebagai Upik Abu. Mereka salah besar. Regina adalah CEO muda yang menyimpan rahasia besar. Di rumah mertua, ia menghadapi musuh yang tak terlihat dan cinta yang diuji. Mampukah ia mengungkap kebenaran sebelum terlambat? Ataukan ia akan kehilangan segalanya? Kisah tentang cinta, keluarga, dan rahasia yang bisa mengubah takdir seseorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ceriwis07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Upik Abu Eps 16
Sinar mentari pagi yang hangat mengusik tidur seorang wanita cantik. Ia menggeliat sejenak, lalu membuka mata. Sinar yang masuk membuat penglihatannya buram sesaat, bagai tirai kabut yang perlahan tersibak, sementara matanya berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya.
Ia menelisik seluruh ruangan tempatnya berada. Kamar dengan nuansa abu-abu yang dominan, cenderung ke arah hitam, terasa cukup luas. Di dinding, terpajang beberapa foto yang menarik perhatian Meghan. Ia memperhatikan satu per satu. Ada foto seorang wanita cantik dengan rambut hitam bergelombang, tersenyum dengan ceria, seolah menularkan kebahagiaan.
Kemudian, ada foto seorang anak lelaki dengan hidung mancung, sedang merengut, wajahnya menyimpan sejuta tanya. Namun, tidak ada satu pun foto sang ayah. Sebuah kejanggalan yang menusuk benaknya, karena lazimnya, jika ada foto ibu dan anak, pasti ada sosok ayah di sana, melengkapi kebahagiaan keluarga.
Ia kembali terduduk di tepi ranjang, kepalanya masih berdenyut nyeri, bagai genderang yang ditabuh bertalu-talu. Barulah ia menyadari, tubuhnya hanya terbalut kemeja putih kebesaran, yang seperti gaun selutut menutupi sebagian tubuhnya.
Seketika, perih terasa di area bawah tubuhnya. Pikiran-pikiran aneh mulai menari-nari di benaknya, menciptakan bayangan yang menakutkan. Dengan gerakan cepat, ia bangkit dan menyibak selimut berwarna putih senada dengan seprai yang membungkus ranjang besar itu.
Nafasnya tercekat. Pikirannya terbukti benar. Di sana, terhampar bercak darah yang mengering, bagai luka yang menganga. Dadanya bergemuruh, darahnya mendidih, amarahnya membuncah. Siapa yang berani melakukan ini padanya? Ia kembali terduduk di tepi ranjang, merenungi nasibnya yang terasa begitu pahit.
Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat. Tak lama kemudian, pintu terbuka, menampilkan sosok pria dengan tinggi badan proporsional dan tubuh atletis. Penampilannya rapi dan penuh percaya diri. Bentuk wajahnya oval dengan tulang pipi yang sedikit menonjol, hidungnya mancung, alisnya tebal dan hitam, dengan mata berwarna cokelat gelap yang ekspresif, sorot matanya tajam menusuk.
Di belakang pria itu, berdiri dua orang pelayan wanita. Yang satu tampak seumuran ibunya, sementara yang satu lagi masih muda, namun auranya dewasa. Salah satu dari mereka mendorong troli penuh dengan makanan, aroma menggugah selera menyeruak memenuhi ruangan.
Pria itu berdeham, lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Bersihkan dirimu, biar mereka membantumu," ucap pria asing berhidung mancung itu, suaranya berat dan dingin. Tanpa menunggu jawaban, pria itu melangkahkan kaki keluar dari kamar dan menghilang di balik pintu.
Meghan hanya membisu, bagai patung yang kehilangan nyawa, ketika pelayan seumuran ibunya itu perlahan membuka kemeja yang menutupi tubuhnya. "Permisi, Nyonya," ucapnya lembut, bagai bisikan angin. Pelayan yang lain dengan sigap menyiapkan air. Terdengar gemericik air mengalir di walk in closet, memenuhi ruangan dengan simfoni kecil. Ia digiring masuk ke dalam bathtub yang sudah terisi air hangat dan aroma terapi, uapnya mengepul lembut, bagai kabut pagi yang menenangkan.
Kedua pelayan itu undur diri, meninggalkan Meghan seorang diri. Aroma terapi mulai bekerja, merayapi setiap sarafnya, memberikan efek relaksasi yang menenangkan. Rasa perih di bagian bawah tubuhnya pun berangsur menghilang, digantikan oleh sensasi nyaman yang memanjakan.
Usai berendam, ia pun dipakaikan baju oleh pelayan. "Permisi, Nyonya," ucap pelayan paruh baya itu dengan sopan. "Sudah seperti orang lumpuh saja," gumam Meghan lirih, namun masih dapat ditangkap oleh telinga sang pelayan. Sang pelayan hanya tersenyum tipis, menanggapi omelan sang majikan.
Keduanya beranjak keluar setelah selesai membantu Meghan. Tak lama kemudian, derap langkah yang sama seperti pria yang tadi pagi terdengar mendekat. Pria itu melangkah masuk, lalu duduk di tepian ranjang, tepat di sebelah Meghan, jarak mereka begitu dekat hingga Meghan bisa merasakan aroma maskulin yang menguar dari tubuh pria itu.
Ia mengambil mangkuk berisi bubur, lalu meniupnya sejenak, uap hangat mengepul di udara, bagai bisikan lembut. Kemudian, ia menyodorkan sesendok bubur itu ke bibir tipis Meghan. Meghan terdiam, membeku di tempatnya, enggan membuka mulut.
"Makanlah dulu, isi tenaga. Baru kita lanjut ronde yang ke enam," ucap pria berhidung mancung itu sambil tersenyum sinis, senyumnya bagai pisau yang siap mengiris. Lain halnya dengan Meghan, matanya langsung melotot, amarahnya kembali membuncah.
Meghan dengan cepat berusaha berdiri, namun pria itu dengan sigap menarik tangannya, membuatnya kembali terduduk di ranjang. "Nanti saja protesnya, makan dulu," ucap pria itu dengan nada memerintah, lalu menyuapkan sesendok bubur yang sudah ditiupnya ke mulut Meghan.
Meghan menerima suapan itu dengan enggan, hingga suapan kelima ia menggeleng, menolak untuk melanjutkan. Pria itu meletakkan kembali mangkuk bubur dan mengambil segelas susu, lalu mendekatkannya ke bibir Meghan. "Aku bukan orang lumpuh atau cacat," ucap Meghan sarkas, kata-katanya tajam bagai belati.
"Oh... aku kira kamu sudah tak punya kekuatan, makanya aku membawakan kedua pelayan ku untuk membantumu," ucap pria itu sambil tersenyum tipis, senyumnya menyimpan seringai tersembunyi, bagai serigala yang mengintai mangsanya.
Meghan enggan meminum susu tersebut. Ia mengembalikan gelas itu ke atas meja dengan kasar, hingga sebagian isinya tumpah, membentuk lukisan abstrak di atas permukaan kayu. Kemudian, ia beranjak dari duduknya dan berjalan menuju balkon. Matanya terbelalak, terkejut bukan kepalang.
Bukan lagi London yang ia lihat, melainkan Indonesia. Hamparan pasir putih dan deburan ombak yang tenang menyambutnya, kontras dengan hiruk pikuk kota metropolitan yang biasa ia lihat.
Dari balkon , ia bisa menyaksikan keindahan laut yang membentang luas, bagai permadani biru yang berkilauan diterpa sinar mentari. "Siapa namamu, Nona?" tanya pria itu, setelah berdiri di samping Meghan, suaranya memecah keheningan pagi.
Meghan masih membisu, bagai patung yang membeku. Ia masih tak percaya, bagaimana bisa dalam waktu semalam dirinya berada di Indonesia, tanpa ia sadari sedikit pun. Keheranannya bagai labirin yang tak berujung.
Merasa diabaikan, pria itu memilih untuk undur diri. Ia ingin memberikan waktu pada Meghan untuk mencerna semua yang terjadi. "Baiklah, aku pergi dulu. Ada hal yang harus kuurus," ucap pria itu sambil melirik jam tangannya, gerakannya anggun bagai seorang bangsawan.
Baru dua langkah pria itu menjauh, Meghan membuka suara, memecah kesunyian. "Aku di mana?" tanya Meghan, suaranya lirih namun penuh dengan tuntutan. Ia hanya ingin memastikan bahwa tebakannya benar, bahwa ia memang berada di negeri yang jauh dari rumahnya.
Pria itu menghentikan langkahnya tanpa berbalik. "Kita di Indonesia, Vila Manggar," ucapnya, suaranya datar tanpa ekspresi. Meghan berbalik, berjalan mendahuluinya, lalu menjatuhkan diri di sofa.
"Mau mendengar ceritaku?" tanya pria itu, nadanya lembut namun menyimpan misteri. Ia pun menyatukan bobot tubuhnya di sofa, duduk bersebelahan dengan Meghan. Aroma maskulin yang menguar dari tubuhnya menyeruak memenuhi indra penciuman Meghan, membuat nya teringat sesuatu.
Ada yang mau dengar cerita nya mas hidung mancung?
Bukan Upik Abu