"Hai apa yang kalian lakukan di sini?"
"Ka ... ka ... kami tidak," belum selesai ucapan Rara.
"Pak ini tidak bisa di biarkan, udah seret saja mereka berdua ke rumah pak ustad secarang."
"Perbuatanya membuat malu kampung ini." sahut salah satu warga lalu menyeret gadis di dalam tidak lupa mereka juga menarik pria yang ada di dalam kamarnya.
"Jangan ..., jangan bawa kakakku." Teriak gadis berusia belasan tahun memohon pada warga yang ingin membawa kakaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lorong kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Perlahan kelopak mata Rara terbuka. Bukan karena cahaya matahari yang menyilaukan atau suara Alarm, melainkan sesuatu yang seakan terasa hangat. Hembusan nafas yang hangat terasa di lehernya. Ingatannya kembali pada malam tadi, sedikit terkejut dan membuka mata kaget menoleh ke samping.
Rara terdiam memandang wajah tampan itu, sambil menutup mulutnya tak percaya. Ia menahan nafas, mencoba mengangkat tangan Athur perlahan. Berharap gerakan kecil tidak akan membangunkan sosok di sampingnya. Jujur saja ia merasa sangat tegang mendengar setiap desahan di telinganya.
Sayangnya gerakan yang di timbulkan gadis itu justru membuat pria di sampingnya malah tambah melingkarkan tangannya pada pinggang Rara. Ia merasa sekujur tubuhnya menengang. Memejamkan mata erat-erat, mengalihkan pikirannya untuk hal lainnya. Apapun yang jelas memikirkan hal lain selain kenyataan yang baru di sadari.
Sudut bibir Athur melengkung tanpa di sadari gadis di sampingnya. Ia sebenarnya tadi sudah bangun, karena merasakan gerakan dari tubuh sang istri. Tetapi dia lebih memilih untuk pura-pura masih tertidur. Merasakan hanyanya memeluk tubuh kecil mungil itu dengan Aroma tubuh yang sangat menggoda. Tidak ingin melepaskan momen itu, toh juga hari ini Rara tidak berangkat sekolah ataupun bekerja.
Diluar Alden masih terlihat sangat nyaman dengan meringkuk di sofa. Nina menggelangkan kepalanya, padahal arah jarum jam di dinding sudah menunjukan pukul 8 pagi. Beralih menatap kamar Rara, ternyata masih tertutup rapat tak ada tanda tanda kehidupan yang sudah bangun. Pikiranya mungkin saja kakaknya sudah di dapur.
Berjalan perlahan melangkah ke arah dapur tapi di sana juga sama tak ada. "Apa kakak belum bangun?" gumamnya lirih menoleh arah belakang.
Akhirnya Nina memutuskan memasak untuk sarapan. Nina membuka kulkas mencari sayur dan lauk yang akan di masaknya. Namun, dia di kejutkan oleh seseorang yang sudah berdiri menyandar dengan tangan yang di lipat.
"Ngapain?"
"Ih ... ngagetin aja sih. Kebiasaan banget sih Bang, ngapain juga sepagi ini udah di sini?" cecar Nina sedikit kesal karena terkejut.
"Biasakan," sahutnya santai.
"Hufff, minggir ...," ujar Nina menyingkirkan Devan untuk menjauh.
"Rara mana? tumben kamu yang masak?" celetuk Devan, ya karena selama ini yang dia tahu pasti kedua wanita itu saling bantu. Nina menaikan bahunya menandakan tidak tahu.
"Lah kok gitu jawabanya?" Devan keheranan, "apa dia sudah pergi kerja? tapi ini hari minggu?" ucap Devan bermonolog, tanganya malah meraih pisau yang sedang di pegang Nina.
"Ih ... Bang sini? Aku dah lapar, jangan ganging ...," Nina berusaha mengambil pisau itu.
"Jawab dulu!"
"Nina nggak tahu Bang," sahutnya kesel menggentakan kakinya pada kaki Devan keras.
"Ah ...."
Saat Devan berteriak, Nina yang sudah di buat kesal dari tadi memasukan sedikit cabai yang sudah di potong kecil kedalam mulut Devan yang menganga karena teriak.
"Ha ... ha ... ha ...." gelak tawa seseorang di sana sembari memegangi perutnya.
"Huaw .... pedes Nin. Air ... mana air ...," Devan menyambar gelas dan menuangkan air lelu meneguknya dengan cepat. "Gila lo bocil ..., dan lo ngapain ketawa nggak lucu." gerutu Devan yang masih kepedasan.
"Makanya jangan buat kesel. Rasain tu ...,"
"Tega banget sih lo Nin." sambar Alden yang masih terus tertawan.
"Biar tahu rasa."
Nina memperhatikan wajah Devan yang sedikit memerah karena kepedasan. Tak tega akhirnya dia memotongkan sediki gula merah lalu menjurulkan tanganya kearahnya. "Ni makan," tawar Nina.
Devan langsung meraihnya dengan mulut tanpa meras jijik. "Bang ...," Devan tidak menanggapi lalu berlalu meninggalkan gadis itu.
"Bug!"
"Auw ..., sakit Bang." teriak Alden mengusap bahunya yang di tinju oleh Devan kesel, sendari tadi melihatnya dan menertawakannya.
"Nggak lucu."
"Sayang sekali tadi nggak di vidio. Kalau boleh di ulang adegannya Bang. Biar afdol nanti Al vidio kasih ke mama." goda Alden mengingat kejadian tadi.
"Sialan lo. Awas aja lo kalau sampai minta bantuan gua. Nggak bakal gua bantu, atau mau gua tanbahin muka boyok lo." .
"Ih ... takut ..., Abangku bisa marah juga nih," ledek Alden yang merasa kapan lagi bisa ngusilin pria itu. Selama ini dia, dia terus yang jadi bahan candaan kedua Abangnya.
Ha ... ha ... ha ...
Tawa Alden Nina juga terlihat tertawa mendengar keusilan Alden. "Ngapain lo ikut ketawa?" tunjuk Devan pada Nina.
"Ngrasa ni kalau di ketawain?" ledek Nina tambah membuat kesal Devan.
"Apes banget gua pagi ini." gerutunya.
"Apes kenapa?" Tanya seorang pria dengan rambut yang masih acak-acakan kas orang bangun tidur. Di sebelahnya justru terlihat ada luka lebam di sudut bibirnya juga pelipis.
"Rara kenapa?" tanya Devan yang belum mengetahui kejadian yang menimpa Rara. Jika dia sudah melihat wajah Alden yang justru tidak heran karena sering dia melihatnya seperti itu. Tapi ini berbeda dengan Rara gadis itu, seakan telah mengalami tindakan kekerasan.
******
"Pah, Alden sama Athur tumben belum turun?" tanyanya pada Louise melihat arah jarum jam dining menunjukan pukul sembilan lewat empat puluh lima.
"Minggu mah, biarakan saja mereka." sahut Louise mengingat kan pada sang istri jika hari ini akhir pekan.
"Iya mama inget pah, tapi biasanya juga nggak sampe sesiang ini," timpalnya lagi.
"Silahkan nyonya ini teh nya. Dan ini kopinya tuan." ucap Mba ART yang meletakan minuman. Kemudian dia malah menyahut percakapan kedua majikannya.
"Maaf Tuan, Nyoya. Semalam Mas Alden tidak pulang, sedangkan Tuan Athur dia semalam keluar dan juga tidak pulang." jelasnya karen dia sendiri yang membukakan pintu ketika Athur pergi.
"Apa!" Sintya terkejut mendengar penjelasannya.
"Betul Nyonya, saya sendiri yang membukakan pintu ketian Tuan Athur ingin pergi. Tapi wajahnya sangat panik saat keluar rumah." tambahnya lagi.
"Pah, lihat anakmu tidak pulang tapi tak ada satupun di antara mereka yang mengabari mama." jelasnya kesal. Louise yang di ajak bicara justru sangat santai, pikiranya tidak terlalu kawatir.
"Biarkan mah, paling di rumah temennya."
"Papah ini terlalu memanjakan mereka, jadi begitu deh mereka. Athur juga baru saja pulang di suah pergi lagi." Sintya sangat kesal sudah lama di ingin sekali seperti dulu tiap weekend berkumpul bersama kedu anak-anaknya.
"Mah mereka bukan anak kecil lagi. Kita juga tak bisa mengekangnya. Biarkan saja mereka mencari jati dirinya mau seperti apa. Jangan terlalu takut atau kawatir, papah selalu memantau merek mah." Jelas Louise menenangkan perasaan sang istri.
"Au ah." sahutnya lalu mengambil teh hangat dan meminumnya sedikit lalu beralih metong cake dan memakukan potongan itu kedalam mulutnya. sedangkan Louise hanya menggelangkan kepalanya.
Sebenarnya suaminya tahu kemana perginya kedua anak lelakinya itu. Apa lagi ketika Athur berpamitan dan mengatakan kejadian yang menimpa Rara semalam lewat telephone. Ia juga geram dan sangat bersyukur salah satu anak lelakinya tak sengaja menyelamatkan menantunya.
Jika berkata jujur, Louise tentu saja memilih Rara dan merestui hubungan mereka. Apa lagi semenjak dia mengetahui hubungan Vina dan pria yang selalu berkencan dengannya di belakang Athur. Selama ini memang dia sengaja membiarkan anak lelakinya mengetahui dengan sendirinya. Namun, anaknya itu bodoh karena di butakan oleh cinta.
kok bisa dinikahkan sih ?
Duh kasihan sekali masih muda 17 tahun sudah dinikahkan, terlalu muda sekali, mana suaminya juga baru kenal.....kok begitu sih ?😭