NovelToon NovelToon
Cahaya Yang Ternodai

Cahaya Yang Ternodai

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / One Night Stand / Romansa / Bad Boy / Idola sekolah
Popularitas:384
Nilai: 5
Nama Author: Itz_zara

Hujan deras malam itu mengguyur perkampungan kecil di pinggiran kota. Lampu jalan yang redup hanya mampu menerangi genangan air di jalanan becek, sementara suara kendaraan yang melintas sesekali memecah sunyi. Di balik dinding rumah sederhana beratap seng berkarat, seorang gadis remaja duduk memeluk lututnya.

Alendra Safira Adelia.
Murid kebanggaan sekolahnya, panutan bagi teman-temannya, gadis berprestasi yang selalu dielu-elukan guru. Semua orang mengenalnya sebagai bintang yang bersinar terang di tengah gelap. Tapi hanya dia yang tahu, bintang itu kini nyaris padam.

Tangannya gemetar menggenggam secarik kertas—hasil tes yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Tulisan kecil itu menghantam seluruh dunia yang telah ia bangun: positif.

Air mata jatuh membasahi pipinya. Piala-piala yang tersusun rapi di rak kamar seakan menatapnya sinis, menertawakan bagaimana semua prestasi yang ia perjuangkan kini terasa tak berarti.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

5. Bohong

Suasana rumah itu sunyi ketika Alendra membuka pintu perlahan. Lampu ruang tamu masih menyala, menandakan seseorang belum tidur. Nafasnya tercekat, langkahnya pelan, dan jari-jarinya sibuk merapikan ujung lengan seragam yang kusut. Ia bahkan sempat menepuk-nepuk rambutnya, mencoba menata agar tak terlihat acak-acakan.

Dalam hati, ia berdoa lirih. Semoga Ibu sama Ayah nggak sadar. Semoga...

Namun doanya langsung runtuh ketika langkah kecilnya disambut sosok Larissa, ibunya, yang tiba-tiba muncul dari arah dapur. Mata sang ibu sembab, jelas terlihat ia habis menangis. Tak lama kemudian, Ardian—ayahnya—menyusul dari kamar, wajahnya penuh cemas.

“Ya Allah, sayang...” Larissa langsung menghampiri, memeluk Alendra erat-erat. Suaranya pecah, isaknya tertahan di bahu putrinya. “Kamu habis dari mana, Nak? Ibu panik banget, ditelepon nggak bisa, pesan nggak dibalas. Ibu kira terjadi sesuatu...”

Alendra terpaku di pelukan itu. Dadanya sesak. Ia ingin mengatakan yang sebenarnya, ingin menjerit minta tolong, tapi bibirnya tak sanggup bergerak. Yang keluar justru kalimat bohong yang ia persiapkan sejak tadi di jalan.

“Maaf, Bu...” suaranya bergetar, tapi ia paksa terdengar tenang. “Alendra tadi lembur di kafe. Ramai banget, sampai malam. Terus... HP-nya mati, lupa bawa charger. Jadi nggak bisa kabarin rumah.”

Larissa mengusap wajah anak gadisnya, menatap dengan penuh sayang. “Kenapa nggak pinjem HP teman atau staf kafe? Ibu hampir pingsan, Nak. Ibu takut kehilangan kamu...”

Ardian yang berdiri di belakang ikut bicara, suaranya tegas tapi bergetar. “Kan Ayah udah bilang, kamu nggak usah kerja, Len. Biarlah Ayah yang cari nafkah. Kamu cukup belajar, jaga diri, jadi anak pintar. Kenapa kamu keras kepala begini?”

Alendra tersenyum tipis, memaksa wajahnya setenang mungkin. “Nggak apa-apa, Yah... Alendra seneng kerja di sana. Biar ada pengalaman juga. Lagi pula... Alendra mau bantu, walaupun sedikit.”

Ardian menghela napas panjang, lalu mengusap kepala anaknya. “Kamu tuh masih sekolah, Nak. Ayah sama Ibu cukup kok buat kamu. Jangan maksain diri, ya?”

“Ya...” jawab Alendra pelan, menunduk.

Larissa kembali memeluknya erat, seolah tak rela melepaskan. “Masuk kamar, istirahat. Ibu bikinin susu hangat biar tidur kamu nyenyak.”

Alendra mengangguk, lalu berjalan ke kamarnya dengan langkah lemah.

Begitu pintu kamar tertutup, senyum tipis yang ia pasang di depan orang tuanya langsung runtuh. Nafasnya memburu, dadanya naik turun tak terkendali. Ia bersandar di pintu, tubuhnya bergetar.

Detik berikutnya, tangis yang ia tahan sejak tadi akhirnya pecah. Ia menutup mulut dengan kedua tangan, menahan suara agar tak terdengar keluar. Tapi air matanya jatuh tanpa henti, deras, seolah semua dinding pertahanannya hancur.

Ia terhuyung menuju tempat tidur, lalu meringkuk di atas kasur. Bantalnya basah dalam sekejap.

Kenapa aku? Kenapa harus aku? batinnya menjerit. Kenapa aku nggak bisa lari? Kenapa aku nggak bisa nolak?

Tangannya meremas sprei dengan kuat. Ingatan malam itu berkelebat lagi—tatapan mata dingin, tubuh yang tak bisa ia lawan, suara racau, dan akhirnya kehancuran yang tak pernah ia bayangkan.

Alendra menggigil. Rasa sakit itu masih nyata, baik di tubuh maupun hatinya. Ia memeluk dirinya sendiri, mencoba menenangkan diri. Tapi semakin ia mencoba, semakin luka itu terasa menyayat.

“Aku kotor...” bisiknya lirih di antara isakan. “Aku kotor... aku udah nggak suci lagi...”

Kata-kata itu terus berulang di kepalanya. Ia menutup telinga dengan bantal, berusaha menghentikan suara-suara itu. Namun semakin ia mencoba melupakan, semakin jelas bayangan itu menghantuinya.

Air matanya jatuh tak terkendali. Ia menangis sejadi-jadinya, tanpa henti, hingga dadanya sakit.

Di ruang tamu, Larissa kembali duduk dengan gelisah. Meski sudah melihat anaknya pulang, ada rasa aneh yang mengganjal di hatinya. Insting seorang ibu membuatnya sadar—ada yang tidak beres dengan anak gadisnya.

“Yah...” Larissa menatap suaminya. “Kamu lihat mata Alendra? Wajahnya pucat, kayak orang habis nangis.”

Ardian menghela napas, menepuk bahu istrinya. “Mungkin capek, Ris. Dia kerja seharian di kafe, terus sekolah dari pagi. Wajar kalau kelihatan lelah.”

“Tapi rasanya bukan cuma lelah...” gumam Larissa, air matanya kembali menggenang. “Hati ibu nggak tenang. Seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan.”

Ardian terdiam, lalu menarik istrinya ke dalam pelukan. “Jangan berpikir macam-macam dulu. Besok pagi kita tanya lagi baik-baik, ya? Jangan sampai bikin dia tambah tertekan.”

Larissa mengangguk pelan, meski hatinya masih gelisah.

Di kamar, Alendra masih terisak. Ia menggenggam ponselnya yang mati, lalu melemparnya ke lantai. Ia muak. Ia benci pada dirinya sendiri.

“Kenapa aku nggak bisa lawan...” ia menangis lagi. “Kenapa aku malah diem aja...”

Setiap kali ia mencoba mengingat wajah pemuda itu, tubuhnya bergetar hebat. Ia tak tahu siapa namanya, darimana asalnya, hanya tahu sosok itu asing dan sekaligus akan jadi mimpi buruk dalam hidupnya.

Ia berjanji pada dirinya sendiri. Aku nggak akan pernah cerita ke siapa pun. Nggak ke Ibu, nggak ke Ayah. Mereka nggak boleh tahu. Aku harus pura-pura kuat. Harus pura-pura nggak terjadi apa-apa.

Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu itu hanya kebohongan lain. Luka itu terlalu besar untuk ditutupi.

Jam dinding berdetak lambat. Malam semakin larut, tapi mata Alendra tetap basah. Hingga akhirnya ia terlelap dengan tangisan, tubuhnya masih meringkuk, seakan berusaha melindungi diri dari dunia yang tiba-tiba terasa begitu kejam.

Rayven mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, menembus dinginnya malam. Jalanan sepi, hanya suara mesin motornya yang meraung kasar, seolah ikut melampiaskan kekacauan di dalam kepalanya. Matanya merah, wajahnya penuh keringat bercampur rasa mabuk yang belum sepenuhnya hilang.

Sesekali ia mengerang pelan, menahan mual yang tiba-tiba menyerang. Tapi bukan hanya karena alkohol—lebih karena beban yang menghantam dadanya begitu keras.

Sesampainya di apartemen, Rayven hampir saja terjatuh ketika turun dari motor. Dengan langkah gontai, ia menyeret tubuhnya masuk ke dalam gedung. Petugas keamanan hanya menatap sekilas, sudah terbiasa melihat pemuda itu pulang larut malam dalam keadaan kacau.

Begitu pintu apartemen tertutup, Rayven langsung melempar kunci sembarangan. Sepatunya ia tendang hingga menabrak dinding. Ia berjalan sempoyongan ke ruang tamu, lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa kulit hitam yang dingin.

Hening.

Hanya detak jam di dinding yang terdengar, membuat kepalanya semakin pening.

Rayven menutup wajahnya dengan kedua tangan. Nafasnya tersengal, dada terasa sesak. Gambaran tentang gadis yang tadi ia tinggalkan di rumah kosong terus menghantui pikirannya. Gadis itu menangis, tubuhnya gemetar, tatapan matanya penuh rasa takut dan hancur. Dan itu semua karena dirinya.

“Shit!” teriak Rayven sambil menghantam meja di depannya. Botol minuman di atasnya jatuh dan pecah, serpihan kaca berhamburan.

Ia bangkit dengan emosi meluap. Langkahnya gontai menuju lemari kecil di pojok ruangan yang penuh dengan koleksi minuman keras. Ia meraih salah satunya, menuangkan ke gelas tanpa peduli serpihan kaca yang melukai telapak tangannya. Darah bercampur dengan minuman itu, tapi ia tetap menenggaknya dalam sekali teguk.

Namun, rasa pahit alkohol kali ini tak mampu menenggelamkan rasa bersalahnya. Justru semakin ia minum, semakin jelas wajah gadis itu muncul dalam benaknya.

“Kenapa… gue bisa ngelakuin itu?” suaranya pecah, hampir berbisik, tapi penuh penyesalan.

Rayven menendang kursi hingga terbalik, lalu menjatuhkan dirinya ke lantai. Ia terduduk, memegang kepalanya, rambutnya berantakan, tubuhnya bergetar hebat.

Air matanya jatuh—sesuatu yang jarang sekali terjadi pada dirinya. Pemuda keras kepala, dingin, dan dikenal tak peduli pada siapapun itu, malam ini luluh lantak di dalam apartemen mewahnya sendiri.

Ia memandang tangannya, tangan yang sama yang tadi merenggut kehormatan seorang gadis yang bahkan tak ia ketahui namanya. Tangan itu bergetar, seolah penuh dosa.

“Gue brengsek… gue monster…” Rayven memukul dadanya sendiri, berulang kali, sampai sesak.

Malam itu, ia tak bisa tidur. Ia hanya terduduk di sudut ruangan, dikelilingi botol kosong, bau alkohol, dan rasa bersalah yang menyesakkan. Semua bayangan tentang gadis itu tak berhenti menghantui.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Rayven benar-benar merasa takut. Takut pada dirinya sendiri.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!