“Aku akan membuatmu hamil, tapi kau harus melakukannya dengan caraku dan hanya aku yang akan menentukannya. Setelah kau hamil, kontrak kita selesai dan pergi dari hidupku.”
Itulah syarat Alexander Ace—bosku, pria dingin yang katanya imp0ten—saat aku memohon satu hal yang tak bisa kubeli di tempat lain: seorang anak.
Mereka bilang dia tak bisa bereaksi pada perempuan. Tapi hanya dengan tatapannya, aku bisa merasa tel4njang.
Dia gila. Mendominasi. Tidak berperasaan. Dan terlalu tahu cara membuatku tunduk.
Kupikir aku datang hanya untuk rahim yang bisa berguna. Tapi kini, aku jatuh—bukan hanya ke tempat tidurnya, tapi juga ke dalam permainan berbahaya yang hanya dia yang tahu cara mengakhirinya.
Karena untuk pria seperti Alexander Ace, cinta bukan bagian dari kesepakatan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 Menikah Denganku!
Dia pikir Alex akan melakukan sesuatu padanya—entah mengancam, memarahi, atau memecat. Tapi ternyata … hanya pekerjaan.
Alex memintanya menyiapkan berkas dan menemaninya untuk pertemuan sore ini.
Tentu saja Eve mengiyakannya. Itu memang tugasnya.
Namun saat Amanda tahu, ekspresi sahabatnya seperti melihat undian lotre jatuh dari langit.
“Ini pertama kalinya Alex mengajak orang lain selain Rayyan!” kata Amanda dengan mata membulat, seolah Eve akan dilamar malam ini juga.
Sekarang mereka bertiga ada dalam satu mobil.
Rayyan menyetir, Eve duduk di sampingnya, sementara Alex mematung di belakang—diam, dingin, dan misterius.
Tak ada yang berbicara. Bahkan deru AC pun terdengar lebih hidup daripada mereka.
Mobil berhenti tepat di depan restoran hotel bintang lima.
Langkah Alex dan Rayyan jauh lebih cepat, membuat Eve sesekali berlari kecil agar tak tertinggal.
Dia membawa tas berisi dokumen, dress-nya terasa terlalu ketat, dan sepatu haknya menyesal ikut dalam perjalanan ini.
Sepanjang pertemuan, Eve hanya duduk sambil tersenyum dan mengangguk.
Tidak satu pun masukan yang dia lontarkan dianggap. Bahkan tatapan Alex pun nyaris tidak menyentuhnya.
‘Kalau tahu cuma jadi pot bunga, lebih baik aku tetap di kantor,’ batinnya.
Setelah pertemuan selesai—yang berlangsung seperti ujian skripsi tanpa dosen pembimbing—Rayyan meminta pelayan membersihkan meja.
Namun mereka tidak langsung pulang.
Sebaliknya, pelayan datang membawa anggur mahal, dan Rayyan malah pamit meninggalkan ruangan.
Meninggalkan hanya dua manusia yang seharusnya tidak pernah ditinggalkan berdua.
Eve langsung salah tingkah.
“Direktur, bukankah seharusnya kita pulang?”
Alex tidak menjawab. Dia hanya menatap anggur merah di gelasnya dengan tenang.
Kemudian, suaranya terdengar rendah dan santai. “Temani aku minum.”
Eve membeku. “Tapi saya tidak minum.”
Alex mengangkat sebelah alis. Senyum tipisnya penuh ejekan.
“Lalu … siapa yang waktu itu memelukku di bar dengan mulut bau alkohol sambil muntah?”
Sial! Dia masih masih saja membahas itu?!
Eve menahan napas. Mukanya merah. Dia berusaha mencari alasan, tapi otaknya seolah meleleh bersama rasa malunya.
Tak ada pilihan. Tidak ada Darren yang bisa menahan gelasnya malam ini.
Dan tentu saja, Alex—yang katanya impoten, seharusnya tidak bisa melakukan apa-apa kalaupun dia nanti mabuk.
Oke, tidak apa-apa. Dia tidak akan melakukan apa pun. Dia ... impoten, kan?
Eve menarik napas, lalu tersenyum meyakinkan meski hatinya berdebar.
“Baiklah, saya akan menemani Anda minum. Tapi jika saya mabuk, saya tidak mau Anda meninggalkan saya di sini sendirian.”
Alex hanya mengulas senyum, menyodorkan gelas berkaki yang sudah terisi anggur di hadapannya.
Eve hanya meneguk beberapa kali, sementara Alex nyaris tak menyentuh gelasnya. Entah itu minuman sungguhan atau sekadar formalitas—tidak ada yang tahu.
Dia menyandar santai di kursinya, tapi tidak dengan tatapannya.
Tatapan Alex begitu tajam, menusuk, seolah sedang menel4njangi isi kepala dan hati Eve tanpa menyentuh sedikit pun tubuhnya.
Eve mengalihkan pandangan ke mana pun. Bahkan sekarang, tembok pun terasa jauh lebih menarik daripada pria di depannya.
Lalu tiba-tiba, suara berat itu membuka percakapan.
“Jadi, kau sudah resmi bercerai dengan suamimu?”
Eve menoleh pelan. “Bagaimana Anda tahu?”
“Aku bisa mendapatkan informasi apa pun yang aku inginkan.”
Informasi apa pun …?
Eve meringis dalam hati. Kalimat itu terlalu ambigu untuk diabaikan, tapi otaknya mulai terasa ringan. Kepalanya berputar.
Tidak mungkin. Baru beberapa teguk .…
Dia bangkit perlahan, tangannya menahan ujung meja.
“Maaf … saya … saya harus ke kamar mandi sebentar.”
Alex tidak menjawab. Hanya mengangguk kecil, seperti sudah memperkirakan semuanya.
Begitu Eve membuka pintu, pandangannya langsung gelap. Tubuhnya ambruk.
Beruntung, Rayyan yang sejak tadi berdiri di luar pintu, langsung menyambutnya dengan tangkapan cekatan.
“Bawa dia. Pastikan tak satu pun paparazi mencium ini. Bersihkan jejak. Dan kau boleh pulang,” perintah Alex dari dalam.
“Baik, Tuan.”
….
Eve terbangun lagi.
Lantai marmer putih. Tirai mewah. Aroma khas ruangan hotel berbintang.
Dan—Alex.
Berdiri di balkon, hanya mengenakan celana panjang putih, rokok di tangan kirinya.
Bahu tegapnya memantul samar dari cahaya luar.
Dia memijit pelipisnya. Pusing. Tapi tubuhnya tidak nyeri. Tidak terasa seperti disentuh secara tak pantas.
Buru-buru dia memeriksa diri. Pakaian masih sama, meski kusut. Tidak ada yang hilang.
Jadi tidak terjadi apa-apa?
Tapi untuk apa semua ini?
Dia melangkah pelan. Tak ingin memulai ledakan, tapi hatinya sudah seperti sumbu dinamit.
“Apa Anda menaruh sesuatu di minuman saya?”
Alex menoleh sekilas, lalu mengangguk pelan.
Asap rokok menari dari bibirnya. Wajahnya seperti tertutup kabut—dingin, tegas, dan penuh perhitungan.
“Kenapa? Apa yang Anda inginkan?” suara Eve terdengar nyaris gemetar. Tapi bukan takut. Lebih ke arah emosi yang dia tahan terlalu lama.
Alex tak menjawab. Dia hanya mengangguk ke arah meja kecil di samping ranjang.
Eve menoleh.
Ada beberapa foto di sana. Agak berantakan, tapi jelas terlihat.
Dia mengambil satu.
Matanya melebar.
“Apa-apaan ini?!”
Itu foto dirinya. Terbaring di tempat tidur. Mengenakan selimut putih, menutupi tubuhnya.
Tapi yang membuatnya ingin menjerit adalah—Alex juga ada di sana.
Tel4njang dada.
Dan Eve … bersandar di dadanya, seolah habis menyerahkan segalanya.
Tangannya gemetar saat memeriksa foto-foto lainnya.
Semuanya dari sudut berbeda.
Semuanya tampak terlalu nyata.
“Apa yang Anda lakukan?! Ini menjijikkan! Anda ingin menjatuhkan saya? Menuduh saya menjual diri?”
Alex tidak menjawab segera. Dia hanya menatap Eve. Lama. Dalam.
Kemudian dengan suara rendah namun penuh kontrol, dia berkata:
“Sederhana. Aku hanya ingin memberikan penawaran untukmu.”
“Anda sudah menjebak saya dan Anda ingin melakukan penawaran? Apa Anda gila?!”
Dengan kesal Eve menghempaskan semua foto-foto itu depan mata kepala Alex dan berbalik pergi.
“Jika kau melangkah sejengkal lagi, aku pastikan semua foto ini akan tersebar dalam hitungan menit.”
Langkah kaki Eve tertahan seketika. Kedua tangannya mengepal, rasanya dia ingin sekali menendang pusaka milik Alex kalau saja dia sudah lupa jika pria itu adalah Direktur Utama di perusahaannya.
“Baiklah, apa yang Anda inginkan?” tanyanya dingin tanpa membalikkan badannya sedikit pun.
“Menikah denganku.”
Enteng sekali Alex mengatakan itu. Eve ternganga, dia membalikkan tubuh dan melihat ekspresi Alex yang masih sama tenangnya.
“A- apa?” Eve mendengarnya, tapi dia tidak percaya Alex meminta dia untuk menikah dengannya. “Yang benar saja! Anda, Anda ini—“
Eve masih segan untuk mengatakan jika Alex impoten, tapi detik kemudian dia mengatakannya juga. “Anda ini imop0ten! Bagaimana bisa saya menikah dengan Anda? Lagipula, saya juga baru bercerai dan saya tidak tertarik untuk menjalin hubungan lagi.”
“Aku tidak mengajakmu untuk menjalin hubungan, aku memberikan penawaran.” Alex melangkah mendekat dan berdiri menjulang di depan Eve. “Kau hanya perlu menikah saja denganku, setidaknya sampai lima bulan. Tenang saja, aku akan menghitung setiap harinya sebagai hari kerja dan kau akan mendapatkan konpensasi sebagai pengantin bayaranku. Kau juga tidak perlu khawatir, aku impoten, dan kau mandul. Selama kau terikat denganku, aku tidak akan menyentuhmu sama sekali.”
“Apa Anda pikir menikah itu bisa dilakukan dengan seenaknya?”
“Bagi orang sepertiku dan sepertimu, itu tidak ada bedanya.”
“A—“
“Kau hanya perlu menjadi istriku yang baik. Tidak menjalin hubungan lain, dan setelah kontrak selesai, kau bisa pergi tanpa syarat.”
Eve berdiri terpaku.
Semua kalimat pria itu terdengar seperti lelucon kejam yang dikemas dalam jas mahal dan nada bicara santai.
Tapi matanya—tatapan Alex sama sekali tidak sedang bercanda.
***