Saat Shima lyra senja seorang dokter berbakat di rumah sakit ternama, menemukan suaminya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri, dunianya hancur seketika.
Pengkhianatan itu tidak hanya merenggut pernikahannya, tapi juga rumah, nama baik, dan tempat untuk pulang.
Di titik terendah hidupnya, ia menerima tawaran tak masuk akal datang dari Arru Vance CEO miliarder dingin dengan aturan yang tidak bisa dilanggar. Pernikahan kontrak, tanpa cinta, tanpa perasaan. Hanya ada aturan.
Namun, semakin dekat ia dengan Arru, semakin ia sadar bahwa sisi dingin pria itu menyembunyikan rahasia berbahaya dan hati yang mampu merasakan semua yang selama ini ia rindukan.
Ketika pengkhianatan masa lalu kembali muncul dan skandal mengancam segalanya, Shima harus memilih: mengikuti aturan atau mempertaruhkan segalanya demi cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziafan01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TUJUH ATURAN KONTRAK PERNIKAHAN
Malam di Mansion Vance
Mansion itu terlalu sunyi untuk disebut rumah.
Lampu-lampu temaram memantul di lantai marmer. Jam dinding berdetak pelan, seolah menghitung sesuatu yang akan berubah malam ini.
Shima duduk di sofa ruang kerja Arru.
Kontrak pernikahan terbuka di meja kaca di hadapannya.
Tangannya dingin.
Arru berdiri di dekat jendela, punggungnya menghadap Shima. Ia baru saja melepas jas, lengan kemeja digulung rapi. Segelas whisky ada di tangannya, tak disentuh.
“Sudah kau baca?” tanya Arru tanpa menoleh.
“Sudah,” jawab Shima pelan. “Tapi… aku ingin mendengar langsung darimu. Tentang aturannya.”
Arru berbalik. Tatapannya tajam, tenang, seperti seseorang yang sudah terlalu sering menang dalam hidup dan terlalu sering kehilangan sesuatu yang tak bisa dibeli.
“Baik,” katanya singkat.
“Dengarkan dengan kepala dingin. Karena ini bukan pernikahan biasa.”
Ia melangkah mendekat, berdiri di seberang meja.
Aturan 1 — Jangan Pernah Jatuh Cinta
Arru menatap Shima lurus.
“Tidak ada cinta. Tidak ada pengakuan. Tidak ada harapan.”
Shima menelan ludah.
“Cinta membuat orang bodoh,” lanjut Arru datar.
“Aku tidak membayar kebodohan.”
Kalimat itu dingin.
Terlalu dingin untuk sekadar aturan.
Aturan 2 — Jangan Menuntut Peran Suami
“Aku tidak wajib hadir,” katanya lagi.
“Tidak wajib menjelaskan ke mana aku pergi. Tidak wajib bersikap manis.”
Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan:
“Kau istriku di atas kertas. Bukan pusat hidupku.”
Shima mengangguk pelan. Ia sudah kehilangan suami—yang ini setidaknya jujur sejak awal.
Aturan 3 — Tidak Ada Masa Lalu di Antara Kita
Arru menyilangkan tangan.
“Jangan bawa luka pernikahan lamamu ke sini.”
Nada suaranya mengeras sedikit.
“Jangan sebut mantan suamimu. Jangan membandingkan.”
Tatapannya menusuk.
“Aku bukan pengganti kegagalan hidupmu.”
Kalimat itu seperti pisau tapi Shima tetap diam.
Aturan 4 — Jangan Mengatur Hidupku
“Kau tidak mengecek ponselku.”
“Tidak bertanya tentang perempuan lain.”
“Tidak ikut campur urusan bisnis.”
Ia menyebutkannya satu per satu.
Tenang. Pasti.
“Kontrol hanya satu arah,” tutupnya.
Aturan 5 — Jangan Pernah Menghilang Tanpa Izin
Arru terdiam lebih lama di aturan ini.
Nada suaranya berubah.
Lebih rendah. Lebih dalam.
“Jangan menghilang tanpa izin.”
Shima mengerutkan kening. “Kenapa aturan ini—”
“Tidak perlu tahu alasannya,” potong Arru cepat.
Namun matanya…
gelap.
Ada masa lalu yang tidak ia izinkan siapa pun menyentuh.
Aturan 6 — Di Depan Publik, Kau Milikku
Arru mendekat satu langkah.
“Di balik pintu tertutup, aku dingin.”
“Di depan dunia, kau milikku.”
Ia menunduk sedikit, cukup dekat hingga Shima bisa mencium aroma maskulin yang tenang.
“Aku akan melindungimu. Aku akan posesif.”
Lalu ia menegaskan:
“Ini bukan cinta. Ini wilayah.”
Aturan 7 — Jangan Sentuh Hal yang Tidak Kuperbolehkan
Arru menunjuk ke arah ruangannya.
“Ruang kerjaku.”
“Laci tertentu.”
“Dokumen tertentu.”
Ia menatap Shima tajam.
“Jangan sentuh.”
Di sanalah rahasia Arru bersembunyi.
Dan Shima belum tahu… rahasia itu suatu hari akan menghancurkan segalanya.
Aturan 8 Jika Salah Satu Melanggar, Kontrak Berakhir
Arru kembali berdiri tegak.
“Tanpa diskusi.”
“Tanpa penjelasan.”
“Tanpa kesempatan kedua.”
Ia mengangkat dagu Shima sedikit bukan sentuhan lembut, tapi tegas.
“Termasuk aku.”
Shima terkejut.
“Termasuk kamu?”
Arru melepas tangannya.
“Aturan harus adil.”
Ia tidak mengatakan bahwa dialah orang pertama yang akan melanggarnya.
Aturan Tak Tertulis
Arru berjalan menjauh, mengambil berkas lain.
“Ada hal-hal yang tidak tertulis,” katanya dingin.
Ia tidak menatap Shima saat mengucapkannya:
“Aku tidak akan membiarkan mantan suamimu menyentuh hidupmu lagi.”
“Aku tidak akan membiarkan siapa pun merendahkanmu.”
“Aku akan menjaga jarak… meski tidak selalu ingin.”
Ia berhenti di ambang pintu.
“Dan jika kau atau aku merasa cemburu..”
Arru menoleh sedikit, senyum tipis yang berbahaya muncul.
“Anggap saja itu ilusi.”
Pintu tertutup pelan.
Shima duduk membeku.
Kontrak masih terbuka.
Ia sadar satu hal dengan sangat jelas malam itu:
Ia tidak sedang menikah dengan pria dingin.
Ia menikah dengan badai yang dikendalikan oleh aturan.
Shima menatap pintu kamar yang baru saja ditutup Arru. Ia menarik napas panjang, suara lirihnya nyaris tercekat ketika berkata, “Tunggu… surat cerai-ku. Jika pernikahan ini akan dipublikasikan, aku harus punya surat resmi perceraian.”
Tatapannya tidak menoleh. Ia menunduk sejenak, genggaman tangannya di ujung jas hitam yang dipinjamkan Arru bergetar pelan. “Dan aku… aku tidak punya apa-apa lagi.”
Hatinya menekan keras. Rekeningnya? Kosong. Semua aset masih atas nama Arya. Segala yang ia bangun kini seakan lenyap, dan Shima harus mulai dari nol lagi.
Arru berdiri beberapa langkah di depannya, tetap tenang, punggung lurus, tangan dalam saku celana. Ia memperhatikan Shima, diam namun penuh makna.
“Aku mengerti,” katanya akhirnya, suaranya rendah, tapi tegas. Dengan gerakan rapi, ia menyerahkan sebuah kartu hitam mengkilap. “Ini untukmu. Gunakan sesuka hatimu. Ethan akan datang untuk membantumu mengurus surat cerai, dan mempermudah segalanya.”
Shima menatap kartu itu. Berat, dingin, tapi seolah memegang jawaban untuk beberapa masalahnya sekaligus. Ia mengangguk pelan, menerima kartu itu. Hatinya bergetar bukan karena kemewahan, tapi karena untuk pertama kalinya, di tengah kekosongan dan kehancuran, ada seseorang yang memberi kendali kembali padanya.
Arru menatapnya sebentar, lalu melangkah masuk ke kamar, meninggalkan Shima berdiri sendiri di lorong ruang kerja. Sunyi mengelilingi mereka, tapi Shima tahu satu hal: malam ini, ia mulai menulis babak baru dalam hidupnya dengan bantuan orang yang mungkin selama ini hanya ia kenal dari jarak jauh.
Dan untuk pertama kalinya, di tengah kekosongan yang menjeratnya, ada secercah rasa aman yang ia rasakan.
***
Pagi itu, cahaya matahari menyelinap lembut melalui jendela mansion. Shima Lyra Senja menatap dirinya di cermin sebentar, merapikan jas putihnya, lalu menggenggam tas dokter yang selalu ia bawa. Saat melewati ruang tamu, ia bertemu dengan Arru.
Sejenak mereka saling menatap. Shima menunduk hormat, gerakannya tenang dan sopan, seperti kebiasaan mereka sehari-hari. Arru hanya mengangguk, tatapannya tetap dingin namun penuh perhatian, mengikuti langkah Shima hingga pintu mansion tertutup di belakangnya.
Di mobil, Shima menarik napas dalam. Ada sesuatu yang berbeda pada dirinya hari ini sebuah versi baru dari dirinya yang lebih hidup, lebih kuat, dan tidak lagi menampilkan raut sedih yang kemarin menguasai wajahnya. Ia siap menghadapi dunia, dengan semua kepedihan yang telah menjadi pelajaran, bukan beban.
Begitu tiba di Vance Medical Center, Shima berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit dengan langkah mantap. Senyum kecil kadang terukir di wajahnya, dan staf yang melihatnya pun merasakan aura berbeda Shima kini tampak lebih tegas, lebih percaya diri, dan profesional seperti sebelumnya, bahkan lebih dari biasanya.
Ia segera memeriksa pasien, memimpin operasi dengan ketelitian dan ketenangan yang menjadi ciri khasnya. Setiap instruksi, setiap keputusan medis, diambil dengan percaya diri, tanpa tersirat rasa sakit atau dendam meski di dalam hatinya, rencana balas dendam perlahan mulai terbentuk.
Di sisi lain, Arya duduk di ruangannya, wajahnya pucat ketika menerima surat cerai. Perlahan ia membuka amplop itu, menatap dokumen dengan campuran perasaan marah, kesal, dan… entah mengapa, sedikit tersentuh. Ia menolak menandatangani pada awalnya. Masih ada rasa sayang, masih ada sisa-sisa suka terhadap Shima yang tidak bisa ia hapus begitu saja.
bikin mereka yg menyakiti melongo.
ketawa aja kalian sekarang sepuasnya, sebelum ketawa itu hilang dr mulut kalian.
OOO tentu tidak... dia bakal semakin kaya.
mending bergerak, selidiki Arya sama Laura.