Alina harus menerima kenyataan kalau dirinya kini sudah bercerai dengan suaminya di usia yang masih sama-sama muda, Revan. Selama menikah pria itu tidak pernah bersikap hangat ataupun mencintai Alina, karena di hatinya hanya ada Devi, sang kekasih.
Revan sangat muak dengan perjodohan yang dijalaninya sampai akhirnya memutuskan untuk menceraikan Alina.
Ternyata tak lama setelah bercerai. Alina hamil, saat dia dan ibunya ingin memberitahu Revan, Alina melihat pemandangan yang menyakitkan yang akhirnya memutuskan dia untuk pergi sejauh-jauhnya dari hidup pria itu.
Dan mereka akan bertemu nanti di perusahaan tempat Alina bekerja yang ternyata adalah direktur barunya itu mantan suaminya.
Alina bertemu dengan mantan suaminya dengan mereka yang sudah menjalin hubungan dengan pasangan mereka.
Tapi apakah Alina akan kembali dengan Revan demi putra tercinta? atau mereka tetap akan berpisah sampai akhir cerita?
Ikuti Kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Penolakan Leon
Leon kini sudah bersiap. Ia hanya mengenakan kaus hitam dan celana jeans, meski dalam hatinya, ia sudah mantap akan menolak perjodohan ini mentah-mentah.
Ia menuju basement apartemen yang tampak sunyi.
Sesampainya di mobil, Leon memutar musik pelan. Beberapa kali ia menghela napas kasar, mencoba meredakan kekesalan yang sedari tadi membuncah.
Apa Leni pikir dengan menjodohkannya, Leon akan bahagia? Wanita itu hanya mementingkan ego dan kasta, tidak pernah benar-benar peduli pada perasaannya.
Setelah menempuh perjalanan selama 20 menit, Leon akhirnya tiba di restoran langganan tempat mamanya biasa makan.
"Putrimu cantik sekali, dan jauh lebih cantik dari foto yang aku lihat tempo hari," puji Leni sambil tersenyum, menatap Gisel yang tampak menunduk malu.
"Kurasa, kalau disandingkan dengan Leon, mereka pas dan cocok-cocok saja," lanjut Leni dengan nada penuh harap.
"Hum, tapi menurutku kita perlu memberikan mereka kesempatan untuk saling mengenal lebih dulu. Jangan terburu-buru memutuskan pernikahan. Aku tidak ingin putriku dinikahi oleh pria yang tidak mencintainya."
"Cinta itu bisa datang kapan saja," sahut Leni santai. "Lihat saja aku dan almarhum suamiku. Kami dijodohkan, tapi seiring waktu, kami saling mencintai."
"Setiap takdir orang berbeda, Jeng," timpal Moli pelan. "Ada yang berhasil dengan perjodohannya, ada juga yang tidak."
Ehem!
Suara deheman berat dari arah belakang membuat mereka menoleh serentak.
"Leon," kata Leni cepat-cepat, langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri putranya.
"Kenapa nggak pakai pakaian yang Mama kirimkan?" bisik Leni tajam.
"Nggak, ah," jawab Leon.
Lalu ia menatap ibunya lurus-urus. "Sekarang Mama to the point aja. Apa sebenarnya alasan Mama ngundang aku ke sini?"
Leni tersenyum tipis dan menarik Leon agar duduk di sebelahnya.
"Moli, Gisel, ini putraku, Leon. Kalian pasti sudah pernah bertemu dengannya, kan?"
"Ya," sahut Moli sambil mengangguk. "Waktu acara resepsi sepupunya, kalau tidak salah."
Leon memandang mereka datar, wajahnya menunjukkan ketidak-tertarikan yang jelas. Ia sama sekali tidak berminat berada di sini.
Dia tahu, perempuan di depannya itu beberapa kali mencuri pandang ke arahnya.
"So... langsung saja Mama ngomong, kalau Mama mau menjodohkan kamu sama Gisel," kata Leni.
Leon mendengus.
"Kamu udah 26 tahun tapi belum juga nikah-nikah, mending Mama cariin, kan? Tapi kamu tenang aja, perempuan di depan Mama ini perempuan baik-baik dan dari keluarga baik-baik. Dia juga masih gadis," lanjut Leni.
"Maaf... Aku nggak tertarik," jawab Leon singkat.
"Ck, kenalan dulu kalau gitu. Cinta kan nggak langsung datang gitu aja," kata Leni lagi, mencoba tetap tenang.
Leon mendongak, menatap Gisel lurus.
"Kamu suka sama saya?" tanyanya tiba-tiba.
Gisel tak menjawab, hanya tersenyum kecil dan menunduk.
"Maaf, tapi saya tidak tertarik dengan perempuan sepertimu. Karena saya sudah punya kekasih, dan saya sangat mencintai kekasih saya," ucap Leon tegas.
Gisel dan Moli tersentak. Kedua perempuan itu saling berpandangan, terkejut.
"Lah? Katamu putramu tidak punya kekasih?" tanya Moli menatap Leni.
Leni melotot tajam ke arah Leon yang tetap tenang.
"Mol... anu—"
"Apa Mama saya tidak bilang kalau saya sudah punya kekasih? Kalau tidak percaya, ini buktinya," kata Leon, lalu membuka ponselnya dan memperlihatkan foto dirinya yang sedang merangkul Alina.
"Jadi, sudah jelas kan? Aku tidak suka dijodohkan, dan tidak akan pernah mau."
"Terserah Mama mau melakukan apa, tapi aku tidak akan pernah menuruti perintah Mama lagi," lanjutnya, kini menatap tajam ke arah Leni.
Kemudian ia mengalihkan pandangan ke Moli dan Gisel.
"Dan untuk Anda, Nyonya dan kamu..."
"Kurasa tidak sulit bagi putri Anda mencari pria single. Jadi, jangan habiskan waktumu mengejar diriku yang sudah memiliki tambatan hati."
Leni mengepalkan tangannya erat, menahan amarah. Ingin rasanya ia menyumpal mulut putranya itu.
Moli hanya mengangguk lalu menarik Gisel berdiri.
"Terima kasih atas waktunya. Sebenarnya aku juga tidak terlalu ingin menjodohkan putriku, tapi karena ibumu yang memaksa, aku terima saja. Kupikir juga kamu masih single. Ternyata yah... ya sudahlah," kata Moli, sebelum mereka berdua pergi meninggalkan tempat itu.
Brak!
Leni menggebrak meja di depannya, matanya menatap Leon nyalang.
"Apa?" tanya Leon dengan nada santai.
"Apa Mama pikir bisa misahin aku sama Alina?" Leon menggeleng pelan.
"Nggak akan bisa."
"Kamu, semenjak sama dia, jadi berubah! Dulu kamu nggak pernah ngelawan perkataan Mama. Tapi sekarang!?" bentak Leni, suaranya naik.
"Karena aku sadar kalau aku manusia, bukan robot yang bisa Mama atur-atur. Aku berhak menentukan pilihanku sendiri tanpa campur tangan Mama," balas Leon tegas.
"Orang tua yang baik tidak akan memaksakan kehendaknya pada anak. Mereka akan mendukung pilihan anaknya, selama pilihan itu tidak menyimpang. Tapi Mama? Mama selalu merasa paling benar tanpa mau tahu apa yang sebenarnya aku rasakan."
Setelah mengatakan itu, Leon berdiri dan pergi, meninggalkan Leni yang kini terduduk termenung sambil mengepalkan tangannya erat.
Apa salah dia melakukan yang terbaik untuk putranya?
Dia hanya ingin Leon mendapatkan perempuan baik-baik, yang masih gadis.
Bukan janda anak satu seperti Alina.
Lagi pula, apakah Alina benar-benar mencintai Leon?
Atau... dia hanya ingin balas budi dengan menerima Leon sebagai kekasihnya?
••••••
“Hm... enak,” kata Devi seraya mencicipi kuah buatannya.
“Nggak usah asin-asin lagi ya, Mama nggak suka,” kata Fitri—ibu Devi—terkekeh.
“Gimana hubungan kamu sama Revan?” tanyanya lagi.
Devi tersenyum kecut.
“Baik-baik aja sih... tapi ya, mamanya belum kasih restu,” jawab Devi pelan.
“Kenapa nggak kamu jebak aja dia? Biar Revan hamilin kamu, pasti deh mamanya nyuruh dia tanggung jawab. Beres urusan,” celetuk Fitri.
“Ma... Nggak salah dengar aku Mama ngomong gitu?” kata Devi, terkejut.
Fitri terkekeh lalu menggeleng.
“Mana mungkin Mama nyuruh kamu ngelakuin hal dosa kayak gitu. Ibu macam apa Mama ini” jawabnya sambil tertawa kecil.
“Mungkin mamanya Revan maunya dapat yang setara sama keluarganya,”
Devi menghela napas lalu duduk menghadap ibunya.
“Kayaknya bukan itu permasalahannya, Ma. Tapi karena emang beliau nggak suka sama aku. Mungkin... emang masih ngarepnya sama Alina,” kata Devi, suaranya mulai melemah.
“Jujur, Mama nggak terlalu suka sama Alina itu dari dulu. Dari segi harta mungkin dia menang, tapi kalau soal cantik dan pintar, kamu jauh lebih unggul dari dia,” ujar Fitri.
“Ma, jangan banding-bandingin. Kita semua punya kekurangan masing-masing,” kata Devi.
Fitri menghela napas dalam.
“Perempuan sebaik kamu masih aja ditolak sama mamanya Revan. Entah apa yang dipikirkan wanita itu. Teman-teman Mama aja banyak yang suka sama kamu, bahkan ada yang pengen jadiin kamu mantunya,” kata Fitri, suaranya terdengar kesal.
“Ma...” Devi menatap ibunya serius. “Ada yang pengen aku ceritain.”
“Soal apa?”
“Ini tentang masa lalu Revan.”
“Maksudnya?”
“Revan pernah tidur sama Alina. Dan... kemungkinan Alina hamil anaknya.”
“Apa!?” Fitri membelalakkan mata. “Dari mana kamu tahu!?”
“Aku juga baru tahu, Ma. Tapi belum pasti sih, itu anaknya Revan atau bukan,” jelas Devi.
“Terus kalau ternyata itu anaknya Revan, kamu gimana?”
“Ya nggak gimana-gimana. Aku bakalan rawat anaknya juga,” jawab Devi pelan.
Fitri menghela napas lagi, kali ini lebih berat.
“Mama 100% percaya sama Revan. Dia nggak akan ninggalin kamu. Tapi yang Mama takutkan itu... mamanya Revan. Kalau dia tahu anak Alina itu cucunya, nggak mungkin dia diam aja,”
“Entahlah, Ma. Tapi yang terpenting bagiku sekarang adalah Revan. Selama dia setia sama aku, maka aku juga akan melakukan hal yang sama,” kata Devi dengan suara pelan. “Jujur... aku udah cinta banget sama dia. Rasanya berat kalau harus pisah, meskipun aku sering nyuruh dia buat ninggalin aku.”
Fitri mengusap bahu putrinya dengan lembut, menatap wajah Devi yang terlihat diliputi perasaan yang campur aduk.
“Apapun keputusan kamu, Mama dukung. Kalau apa yang kamu jalani sekarang bisa bikin kamu bahagia, ya... Mama juga ikut bahagia.”
Devi mengangguk pelan. Dalam hatinya, ia berharap bisa menikah dengan Revan dalam waktu dekat, menjalani hidup bersama lelaki yang dicintainya.