Romance psychological, domestic tension, obsessive love, slow-burn gelap
Lauren Hermasyah hidup dalam pernikahan yang perlahan kehilangan hangatnya. Suaminya semakin jauh, hingga sebuah sore mengungkapkan kebenaran yang mematahkan hatinya: ia telah digantikan oleh wanita lain.
Di saat Lauren goyah, Asher—tetangganya yang jauh lebih muda—selalu muncul. Terlalu tepat. Terlalu sering. Terlalu memperhatikan. Apa yang awalnya tampak seperti kepedulian berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih intens, lebih sulit dihindari.
Ketika rumah tangga Lauren runtuh, Asher menolak pergi.
Dan Lauren harus memilih: bertahan dalam kebohongan, atau menghadapi perhatian seseorang yang melihat semua retakan… dan ingin mengisinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24_Tatapan yang bicara.
Beberapa hari berlalu dengan ritme yang nyaris terlalu tenang.
Lauren mengisi hari-harinya dengan rutinitas sederhana—bangun pagi, membersihkan rumah, berbelanja seperlunya, memasak. Tidak ada pesan masuk dari Arga selain kabar singkat yang dingin dan formal. Masih di luar kota. Rapat padat. Nanti kabari.
Lauren tidak membalas panjang. Ia belajar—atau memaksa diri—untuk tidak lagi menunggu.
Siang itu, aroma tumisan bawang putih dan cabai memenuhi dapur. Lauren berdiri di depan kompor, mengaduk masakan dengan gerakan mantap. Ia mengenakan celemek sederhana, rambutnya diikat rapi. Wajahnya tenang—bukan karena tidak ada luka, melainkan karena ia sudah lelah berlari darinya.
Jam dinding menunjukkan pukul 12.15.
Lauren sedang menambahkan garam ketika suara mobil terdengar di halaman depan.
Gerakannya terhenti.
Bukan karena terkejut—melainkan karena ia tahu. Ada insting yang mengenali bunyi itu. Lauren mematikan kompor, meletakkan spatula, lalu mencuci tangannya perlahan di wastafel. Air mengalir, menenangkan.
Pintu depan terbuka.
Langkah kaki masuk ke dalam rumah.
“Lauren?” suara Arga terdengar, sedikit lebih keras dari biasanya, seolah ingin memastikan kehadirannya.
“Aku di dapur,” jawab Lauren datar.
Arga muncul di ambang pintu dapur beberapa detik kemudian. Ia mengenakan kemeja kerja yang sudah diganti—bersih, rapi—namun wajahnya menunjukkan lelah perjalanan. Koper hitam berdiri di dekat pintu masuk, belum dibuka.
“Kamu masak?” tanyanya, seolah itu hal yang mengejutkan.
“Iya,” jawab Lauren singkat. “Makan siang.”
Arga mengangguk. Pandangannya menyapu dapur—terlalu rapi, terlalu tenang. Ada jeda canggung di antara mereka, seperti dua orang yang belum tahu harus memulai dari mana.
“Kamu kelihatan… baik,” kata Arga akhirnya.
Lauren menoleh sebentar, menatapnya sekilas. “Aku memang baik.”
Nada itu tidak defensif. Tidak juga hangat. Hanya pernyataan.
Arga menggeser posisi berdirinya, jelas tidak nyaman. “Perjalanan dinasnya cukup melelahkan.”
Lauren kembali ke kompor, menyalakan api kecil. “Kamu lapar?”
“Iya,” jawab Arga cepat. “Lumayan.”
Lauren mengangguk. Ia mengambil piring, menata makanan dengan rapi. Tidak ada gerakan tergesa, tidak ada upaya menyenangkan. Ia hanya melakukan apa yang perlu dilakukan.
Arga duduk di kursi meja makan, memperhatikan punggung Lauren. Ada sesuatu yang berbeda—bukan pada penampilannya, melainkan pada caranya berdiri, caranya bergerak. Lebih tegak. Lebih tenang.
“Beberapa hari ini kamu ke mana saja?” tanya Arga, mencoba terdengar santai.
“Di rumah,” jawab Lauren. “Seperti biasa.”
Itu benar.
Dan sekaligus tidak.
Lauren menyajikan makanan di meja, lalu duduk berhadapan dengannya. Untuk beberapa saat, hanya suara sendok dan piring yang terdengar. Arga makan dengan lahap, seolah tidak terjadi apa-apa. Lauren makan pelan, terukur.
“Kantormu bagaimana?” tanya Lauren akhirnya.
Arga berhenti mengunyah sesaat. “Baik. Banyak perubahan.”
Lauren mengangguk. “Aku dengar.”
Arga menatapnya, alisnya sedikit berkerut. “Dari siapa?”
“Dari orang lama,” jawab Lauren ringan. Ia tidak menjelaskan. Tidak perlu.
Hening kembali jatuh di antara mereka. Bukan hening yang canggung—melainkan hening yang waspada. Seperti dua orang yang sama-sama tahu ada sesuatu yang harus dibicarakan, tapi belum siap menyentuhnya.
Arga meletakkan sendoknya. “Lauren…”
Ia berhenti.
Lauren menatapnya. Wajahnya tenang, matanya jernih. “Iya?”
Arga membuka mulut, lalu menutupnya lagi. “Nanti saja,” katanya akhirnya. “Aku capek.”
Lauren mengangguk. “Istirahatlah.”
Tidak ada pelukan.
Tidak ada sentuhan.
Tidak ada pertanyaan lanjutan.
Setelah makan, Lauren membereskan meja. Arga bangkit membawa kopernya ke kamar. Suara roda koper bergesek di lantai terdengar jelas, lalu menghilang di lantai atas.
Lauren mencuci piring dengan gerakan pelan.
Di balik ketenangan itu, ada keputusan yang sudah ia buat—bukan hari ini, bukan kemarin, melainkan sejak malam ia berhenti menunggu telepon diangkat.
Kepulangan Arga tidak membawa kelegaan.
Hanya kepastian.
Dan saat air mengalir di wastafel, Lauren tahu—
percakapan yang tertunda itu tidak bisa dihindari lebih lama.
__
Keesokan paginya, suasana kantor Arga berjalan seperti biasa.
Lift naik dan turun, suara sepatu formal bergesekan dengan lantai marmer, aroma kopi panas bercampur pendingin ruangan yang terlalu dingin. Segalanya tampak normal—terlalu normal, seolah apa pun yang terjadi di luar gedung ini tidak pernah ada.
Arga melangkah keluar dari lift, tas kerjanya di tangan kiri, ponsel di tangan kanan. Beberapa rekan kerja menyapanya.
“Pagi, Pak Arga.”
“Perjalanan dinasnya lancar?”
“Selamat datang kembali.”
Arga membalas dengan anggukan singkat dan senyum profesional. Tidak ada yang aneh dari raut wajahnya. Tidak ada jejak malam panjang, tidak ada bayangan kekacauan yang tertinggal di rumah.
Ia berjalan menuju ruangannya.
Namun sebelum sampai, langkahnya melambat.
Di ujung lorong, Maya berdiri di dekat meja kerjanya.
Wanita itu tidak menyapanya. Tidak tersenyum. Tidak mengangguk seperti biasanya. Ia hanya menatap.
Tatapan Maya tajam—bukan marah, bukan pula benci. Lebih mirip tatapan seseorang yang tahu terlalu banyak, namun memilih diam. Matanya tenang, tapi di dalamnya ada sesuatu yang mengendap lama dan tidak menguap.
Arga menangkap tatapan itu.
Hanya sesaat, tapi cukup untuk membuat dadanya mengencang.
Ia berhenti sejenak, lalu kembali berjalan. Saat melewati Maya, Arga membuka mulut, berniat menyapa seperti biasa.
“Pagi, Maya—”
Namun Maya memalingkan wajahnya lebih dulu, pura-pura sibuk menyalakan komputer. Tangannya bergerak cepat, rapi, tanpa satu pun gerakan canggung. Seolah Arga hanyalah udara yang lewat.
Arga berdiri kaku selama sepersekian detik.
Tidak ada kata.
Tidak ada tuduhan.
Tidak ada konfrontasi.
Justru itu yang membuatnya terasa lebih berat.
Ia melanjutkan langkah menuju ruangannya. Begitu pintu tertutup, Arga meletakkan tas kerjanya di meja dan menghela napas panjang. Ia duduk, menyandarkan punggung ke kursi, menatap kosong ke depan.
Tatapan itu muncul lagi di benaknya.
Tatapan yang sama ketika Maya mengirim pesan malam itu—singkat, kaku, tanpa basa-basi. Tatapan seseorang yang tidak meminta penjelasan, karena sudah lebih dulu memahami semuanya.
Ponsel Arga bergetar.
Sebuah pesan masuk dari Lauren.
Aku akan keluar siang ini. Jangan tunggu makan malam.
Tidak ada tanda tanya. Tidak ada nada emosional. Hanya informasi.
Arga menatap layar ponselnya lama. Jemarinya bergerak, mengetik sesuatu, lalu berhenti. Ia menghapus kalimat yang belum selesai dan meletakkan ponsel itu kembali ke meja, layar menghadap ke bawah.
Di luar ruangannya, Maya akhirnya berdiri dan berjalan menuju pantry. Saat melewati kaca dinding ruang Arga, matanya melirik sekilas ke dalam.
Arga duduk di sana—rapi, tenang, berwibawa.
Namun untuk pertama kalinya, Maya melihat sesuatu yang lain.
Bukan rasa bersalah.
Bukan pula ketakutan.
Melainkan kegelisahan kecil yang retak di balik wajah yang terlalu terbiasa berpura-pura.
Maya tidak mengatakan apa-apa.
Ia hanya berjalan pergi, membawa pengetahuannya sendiri—dan keputusan untuk tidak lagi menutupi apa pun jika saatnya tiba.
Karena beberapa rahasia tidak hancur oleh teriakan,
melainkan oleh tatapan yang tidak lupa.
Anyway, semangat Kak.👍