"Tubuhmu milikku. Waktumu milikku. Tapi ingat satu aturan mutlak, jangan pernah berharap aku menanam benih di rahimmu."
Bagi dunia, Ryu Dirgantara adalah definisi kesempurnaan. CEO muda yang dingin, tangan besi di dunia bisnis, dan memiliki kekayaan yang tak habis tujuh turunan. Namun, di balik setelan Armani dan tatapan arogannya, ia menyimpan rahasia yang menghancurkan egonya sebagai laki-laki, Ia divonis tidak bisa memberikan keturunan.
Lelah dengan tuntutan keluarga soal ahli waris, ia menutup hati dan memilih jalan pintas. Ia tidak butuh istri. Ia butuh pelarian.
Sedangkan Naomi Darmawan tidak pernah bermimpi menjual kebebasannya. Namun, jeratan hutang peninggalan sang ayah memaksanya menandatangani kontrak itu. Menjadi Sugar Baby bagi bos besar yang tak tersentuh. Tugasnya sederhana, yaitu menjadi boneka cantik yang siap sedia kapan pun sang Tuan membutuhkan kehangatan. Tanpa ikatan, tanpa perasaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nyonya_Doremi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Naomi Darmawan menarik napas dalam-dalam. Udara di lobi Dirgantara Tower terasa dingin, bahkan menusuk tulang, seolah AC sentral di gedung pencakar langit itu memompa kesunyian dan arogansi, bukan sekadar udara sejuk. Ia meremas tas tangannya erat-erat, satu-satunya barang yang ia rasa masih miliknya di hari ia menjual seluruh kebebasan.
Di balik pintu putar berlapis krom yang mengkilap, terhampar kehidupan lain, dunia yang dipagari oleh marmer Italia, lampu kristal, dan tatapan dingin resepsionis berseragam couture yang melihatnya dengan jijik yang hampir tak kentara. Naomi tahu, ia tampak salah tempat. Ia mengenakan kemeja putih terbaiknya yang sedikit lusuh dan rok hitam yang warnanya sudah memudar. Pakaian yang ia gunakan untuk melamar pekerjaan, bukan untuk menandatangani kontrak perbudakan modern.
"Nona Darmawan?"
Suara itu halus, tetapi tajam, memanggilnya dari balik meja bantuan tamu. Wanita itu, dengan blazer yang rapi dan tatanan rambut yang sempurna, memindai Naomi dari ujung kaki ke ujung kepala.
"Ya, saya Naomi Darmawan." Suaranya terdengar serak.
"Silakan, Tuan Dirgantara sudah menunggu di lantai 45. Ikuti saya."
Saat berjalan melewati lobi, bayangan jeratan utang itu terasa seperti rantai besi yang menyeretnya.
Dua Miliar Rupiah.
Angka yang absurd. Uang peninggalan ayahnya yang terperangkap dalam investasi bodong. Seminggu yang lalu, para penagih utang telah datang ke rumah sakit, mengancam akan mencabut semua alat penunjang hidup ibunya yang terbaring koma akibat serangan jantung mendadak. Ayahnya sudah meninggal, meninggalkan warisan rasa bersalah dan tagihan tak berujung. Dua Miliar adalah harga untuk nafas ibunya, harga untuk ketenangan sementara.
Dan satu-satunya yang mampu melunasi utang itu adalah pria yang menunggunya di puncak menara ini, Ryu Dirgantara.
Naomi ingat saat ia pertama kali mendengar tawaran ini dari salah satu orang kepercayaan Ryu. Tawaran yang datang setelah segala upaya kerja keras, pinjaman, dan permohonan yang ia lakukan gagal total. Tawarannya sederhana, dan brutal, Ryu membutuhkan pendamping eksklusif yang bisa ia pamerkan di acara sosial dan gunakan sebagai pemuas kebutuhan pribadinya.
Tanpa Ikatan. Tanpa Perasaan. Tanpa Komitmen Jangka Panjang.
Semua demi uang. Demi membayar dosanya.
Di dalam lift berpanel kayu gelap yang membawa mereka naik dengan kecepatan memusingkan, Naomi memejamkan mata. Ia menggenggam kalung kecil di lehernya, memohon kekuatan. Ia harus melepaskan identitasnya. Ia harus meyakinkan dirinya bahwa ia bukan lagi Naomi Darmawan yang memegang teguh moral, melainkan Naomi sebuah komoditas yang dijual, sebuah boneka yang harus siap sedia.
Saat pintu lift terbuka di lantai 45, Naomi merasa ia telah melangkah keluar dari tubuh lamanya.
Beberapa saat sebelum Naomi tiba, Ryu Dirgantara berdiri di balik meja kerjanya. Punggungnya menghadap pintu, menatap panorama Jakarta yang mendidih di bawah. Hari sedang terik, namun di ruangan ini, suhu selalu diatur dingin, seolah Ryu ingin mencegah kehangatan apa pun menyentuh dirinya.
Ia baru saja menyelesaikan panggilan video dengan ayahnya. Panggilan yang sama sekali tidak menyenangkan.
"Ryu, kau sudah 32 tahun. Perusahaan membutuhkan stabilitas. Keluarga membutuhkan pewaris. Kau tidak bisa terus bermain-main dengan model murahan dan alasan sibukmu itu. Kau harus menikah sekarang juga!"
Ayahnya tidak pernah peduli dengan kebahagiaannya. Yang dicari hanyalah darah Dirgantara yang murni untuk melanjutkan dinasti.
Ryu menarik napas panjang, menanggalkan ketegangan yang ia tunjukkan saat berbicara dengan sang ayah. Ia mengenakan setelan Armani berwarna charcoal yang dijahit khusus, dan penampilannya memang definisi kesempurnaan seorang CEO muda, tak tersentuh, dan berkuasa.
Namun, di balik semua kerapian dan kekuasaan itu, Ryu membawa luka yang terasa seperti borok membusuk yang menggerogoti harga dirinya sebagai laki-laki.
Beberapa bulan lalu, hasil pemeriksaan medis itu tergeletak di mejanya, berteriak kencang menghancurkan seluruh arogansi dan kebanggaan yang ia miliki. Pria yang mampu mengendalikan triliunan rupiah di pasar saham, yang bisa menjatuhkan pesaing hanya dengan sekali sentuhan, ternyata tidak mampu melakukan hal paling dasar yang diharapkan dari seorang pria, yaitu memberikan keturunan.
Ini adalah rahasia yang tidak boleh keluar. Jika keluarganya tahu, ia akan dianggap lemah, cacat, dan akan kehilangan kendali atas perusahaannya. Mereka akan memaksanya untuk menunjuk ahli waris dari cabang keluarga lain, dan itu tidak akan pernah ia biarkan terjadi.
Ia tidak bisa menikah. Menikah berarti komitmen, dan komitmen berarti harapan. Jika ia menikah, istrinya akan berharap padanya, dan ketika harapan itu dihancurkan oleh fakta medisnya, ia tidak hanya akan kehilangan istri, tetapi juga rahasianya.
Maka, ia memilih jalan pintas. Ia memilih transaksi.
Ia membutuhkan pendamping yang menutup mulut keluarga, yang memuaskan kebutuhan biologisnya, tetapi yang sama sekqali tidak akan menuntut masa depan. Seorang gadis yang terdesak, yang akan menghormati kontrak yang kejam.
Dan gadis itu, Naomi Darmawan, akan segera tiba.
Ia tahu tentang utang gadis itu. Ia sudah melakukan pemeriksaan latar belakang yang menyeluruh. Naomi adalah target yang sempurna, seorang gadis baik-baik, cerdas, tetapi tercekik oleh kesulitan hidup. Dia tidak akan menjadi pengkhianat atau penuntut. Dia hanya seorang korban yang harus ia gunakan.
"Biarkan dia masuk," perintah Ryu melalui interkom. Suaranya sudah kembali datar, dingin, dan penuh kendali.
Pintu kantor Ryu Dirgantara terbuka tanpa suara. Naomi melangkah masuk, membiarkan Sekretaris Han menutup pintu di belakangnya, seolah menyegel dirinya dalam ruangan itu.
Kantor itu sungguh mengintimidasi. Bukan karena ukurannya, tetapi karena atmosfernya. Di sini tidak ada foto keluarga atau hiasan pribadi. Hanya seni kontemporer mahal, rak buku berisi jilid-jilid tebal hukum dan ekonomi, dan Ryu Dirgantara sendiri.
Pria itu sudah duduk, bersandar santai di kursi kulit, tangannya terlipat di depan wajah. Di depannya tergeletak map abu-abu.
"Duduk, Nona Darmawan," perintah Ryu.
Naomi duduk di kursi yang sudah ia duduki dalam draf sebelumnya, kursi yang terasa dingin, persis seperti tatapan Ryu.
"Aku sudah membaca latar belakangmu," Ryu memulai tanpa basa-basi. "Kau seorang lulusan terbaik, calon arsitek yang berbakat, dan sekarang kau duduk di sini karena kau terpaksa. Aku menghargai kejujuran, jadi aku juga akan jujur."
Ryu mengeluarkan selembar kertas, menggesernya di atas meja. Itu adalah ringkasan rekening bank Naomi yang sudah dikosongkan.
"Aku bisa melunasi utangmu. Aku bisa membiayai pengobatan ibumu di rumah sakit terbaik di luar negeri sekalipun. Tapi aku tidak memberikan amal. Aku memberikan pertukaran."
Ia membuka map abu-abu, memperlihatkan tumpukan halaman yang legal, berantakan, dan penuh dengan klausul. Naomi hanya melihat angka dua milyar yang dicetak tebal.
"Kontrak ini berlaku selama satu tahun. Dalam kurun waktu itu, kau adalah pendamping eksklusifku. Secara sosial, kau akan berstatus sebagai kekasih yang tak terjangkau. Secara pribadi..." Ryu berhenti, membiarkan implikasi kata-katanya menggantung di udara. "...Kau adalah pelarianku dari tekanan. Kau harus siap sedia kapan pun aku menginginkanmu, baik di depan umum maupun di kamar tidur."
Wajah Naomi memerah, tetapi ia memaksa dirinya untuk mempertahankan tatapan kontak mata. Dia tidak boleh terlihat lemah sekarang. Dia harus terlihat seperti seorang profesional yang sedang melakukan transaksi.
"Apa ada batasan waktu, Tuan?" tanya Naomi, suaranya berhasil ia buat stabil.
Ryu tersenyum tipis. Senyum yang tidak mencapai matanya. Senyum seorang predator.
"Waktuku milikku, Naomi. Dan karena waktumu sudah kubeli, maka itu juga menjadi milikku. Tidak ada hari libur. Tidak ada penolakan. Jika aku memanggilmu jam tiga pagi, kau harus menjawabnya."
Naomi menghela napas. Tiga ratus enam puluh lima hari. Itu saja. Ia harus bertahan. Demi ibunya.
"Dan mengenai privasi, Tuan?"
"Kau tidak akan pernah bertemu keluargaku. Kita tidak akan pernah makan malam di luar dalam suasana yang intim. Kau tidak akan diperkenalkan kepada rekan bisnis pentingku, kecuali aku membutuhkanmu sebagai hiasan. Kita akan bersikap mesra di depan umum, dan kita akan bersikap asing di kehidupan nyata. Aku tidak butuh drama. Aku butuh kepatuhan."
Kata-kata itu menghancurkan sisa-sisa harapan romantis yang mungkin ia miliki, tetapi juga memberikan kelegaan aneh. Transaksi murni. Tidak ada hati yang terlibat. Itu lebih mudah.
"Saya mengerti, Tuan," kata Naomi, mengangguk.
Ryu menyodorkan pena emas yang sama seperti di draf awal. Tapi kali ini, ia menahan pena itu di tangannya, tidak memberikannya langsung. Ia berdiri dan berjalan mengitari meja. Kehadirannya kini terasa mendominasi, seperti badai yang siap menerjang.
"Naomi," panggil Ryu, kini suaranya lebih lembut dari sebelumnya, sebuah trik psikologis untuk membuat korban lengah. "Kau tahu, aku bisa saja mencari model, artis, atau wanita mana pun yang rela tidur denganku tanpa perlu imbalan setinggi ini."
Naomi tidak menjawab. Ia tahu, Ryu ingin dia bertanya.
"Kenapa saya, Tuan? Jika Anda begitu berkuasa, mengapa repot-repot dengan kontrak ini?"
"Karena gadis-gadis itu selalu menuntut hal yang sama pada akhirnya," jawab Ryu, kini ia membungkuk, wajahnya sangat dekat sehingga Naomi bisa merasakan napasnya yang sejuk. "Mereka menuntut hati. Mereka menuntut masa depan. Mereka menuntut..."
Ryu berhenti. Ekspresi di matanya kini bercampur. Ada kebencian yang samar, bukan terhadap Naomi, melainkan terhadap dirinya sendiri. Tapi Naomi tidak bisa melihatnya. Ia hanya melihat seorang pria yang angkuh dan terbiasa mendapatkan apa pun yang ia mau.
"...mereka menuntut agar aku menanam benih di rahim mereka. Mereka semua ingin menjadi Nyonya Dirgantara dan melahirkan ahli waris."
Ryu mengambil jeda dramatis, lalu menjauhkan wajahnya, membiarkan kata-kata itu menggema. Ia lalu meletakkan kedua tangan di atas meja, di samping Naomi. Tubuhnya sedikit condong ke depan, seperti patung marmer yang terukir dengan sempurna.
Naomi memegang erat tepi kursi. Ia tahu ini adalah momen krusial, poin di mana ia harus setuju pada aturan yang paling menyakitkan dari semuanya.
Ryu mengambil pena emas itu, memutarnya di antara jemarinya yang panjang dan terawat. Ia menatap Naomi lagi, kali ini dengan tatapan yang seolah menelanjanginya sampai ke tulang.
"Aku lelah dengan tuntutan itu, Naomi. Aku tidak butuh ahli waris. Aku tidak butuh keluarga yang sempurna. Aku hanya butuh pelarian yang terjamin bebas dari komplikasi emosional. Dan kau harus menjamin itu."
Lalu, ia mengucapkan kalimat yang menjadi dasar kontrak mereka. Kalimat yang akan menghantui hubungan transaksional ini. Kalimat yang mengandung kebohongan terbesar yang pernah ia ucapkan.
"Tubuhmu milikku. Waktumu milikku. Tapi ingat satu aturan mutlak, jangan pernah berharap aku menanam benih di rahimmu."
Ryu mendorong pena itu ke tangan Naomi. Cengkeramannya yang dingin menyentuh kulit Naomi.
"Aturan ini tidak bisa ditawar. Aku tidak ingin ada bayi. Aku tidak ingin ada ikatan. Begitu kontrak ini berakhir, kau akan pergi dengan dua miliar di tanganmu. Tidak ada jejak apa pun yang tersisa. Jika kau melanggar aturan ini, jika kau hamil, kau akan tahu konsekuensinya."
Naomi merasakan air mata panas mengumpul di sudut matanya, tetapi ia menahannya. Ia mengingat wajah ibunya, mengingat janji yang ia buat untuk menyelamatkan wanita itu. Harga dua miliar adalah air mata, harga dirinya, dan janji untuk tidak pernah berharap.
Ia mengangkat pena itu. Tangannya gemetar, tetapi hatinya sudah mengambil keputusan.
Ya Tuhan, ampunilah aku. Aku menjual diriku.
Naomi menunduk, menggoreskan tanda tangannya di kolom 'Pihak Kedua'. Goresan tinta itu terasa seperti ikatan yang dingin, namun juga seperti kelegaan yang tiba-tiba rantai utang telah putus, digantikan oleh rantai yang lain.
Ryu menarik dokumen itu kembali, memindainya dengan mata elangnya. Puas. Kontrak itu sah. Naomi resmi menjadi properti eksklusifnya.
"Bagus," ucap Ryu, kembali ke kursinya dan meraih tabletnya. Ia tidak lagi peduli pada Naomi. Transaksi selesai. Gadis itu hanyalah salah satu aset barunya.
"Aku sudah meminta Sekretaris Han menyiapkan Penthouse B untukmu di gedung terpisah. Pergilah bersama dia. Semua kebutuhanmu akan diurus. Ponselmu akan diganti. Kehidupan lamamu berakhir hari ini."
"Tuan," panggil Naomi, suaranya nyaris berbisik. "Bolehkah saya... mengunjungi ibu saya sebentar?"
Ryu tidak mengangkat wajahnya dari tablet. "Tidak. Pergi ke sana hanya akan menimbulkan jejak. Aku tidak mau ada jejak. Han akan mengurus biaya rumah sakit dan memastikan ibumu mendapatkan perawatan terbaik. Kau tidak perlu repot. Tugasmu hanya fokus padaku."
Naomi terdiam. Ia baru saja menjual kebebasannya, dan bahkan tidak diizinkan mengucapkan selamat tinggal pada kehidupan lamanya.
"Pergilah. Aku akan datang malam ini. Jangan pernah membuatku menunggu," ujar Ryu, mengakhiri pembicaraan.
Naomi berdiri. Kakinya terasa mati rasa. Ia menunduk dalam-dalam, sebuah gestur yang lebih mirip kepatuhan budak daripada etiket, lalu melangkah keluar dari ruangan kaca itu.
Saat pintu tertutup, memisahkan Naomi dari pandangan, Ryu melempar tabletnya ke sofa. Ia menyentuh area dadanya, tepat di tempat hasil diagnosis itu berada beberapa bulan lalu.
Selesai.
Kini, ia memiliki kekasih yang sempurna, yang akan membungkam tuntutan keluarga. Kekasih yang tidak akan pernah menuntut apa pun yang ia sendiri tidak bisa berikan. Ia telah membeli tubuh Naomi untuk menutupi kekurangan dalam jiwanya.
Malam akan datang. Dan Ryu Dirgantara akan membuktikan pada dirinya sendiri dan pada gadis itu bahwa meski ia tidak bisa menanam benih, ia masih seorang pria yang utuh dan berkuasa.