⚠️ sebelum baca cerita ini wajib baca Pengantin Brutal ok⚠️
Setelah kematian Kayla dan Revan, Aluna tumbuh dalam kasih sayang Romi dan Anya - pasangan yang menjaga dirinya seperti anak sendiri.
Namun di balik kehidupan mewah dan kasih berlimpah, Aluna Kayara Pradana dikenal dingin, judes, dan nyaris tak punya empati.
Wajahnya selalu datar. Senyumnya langka. Tak ada yang tahu apa yang sesungguhnya disimpannya di hati.
Setiap tahun, di hari ulang tahunnya, Aluna selalu menerima tiga surat dari mendiang ibunya, Kayla.
Surat-surat itu berisi kenangan, pengakuan, dan cinta seorang ibu kepada anak yang tak sempat ia lihat tumbuh dewasa.
Aluna selalu tertawa setiap membacanya... sampai tiba di surat ke-100.
Senyum itu hilang.
Dan sejak hari itu - hidup Aluna tak lagi sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim elly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 3
Aluna Kayara memegang surat itu di tangannya, matanya bersinar.
Asalamualaikum… Kamu udah bisa baca, sayang. Ini ibu cantik.
Aluna tersenyum sendiri di samping Anya, membaca setiap kata yang ditulis ibunya.
“Hmm… kamu pasti udah kelas 2 SD ya. Papah Romi kasih surat ini buat kamu. Sehat ya, sayang. Ini surat pertama kamu dari ibu. Aluna jangan nakal ya, jangan bikin nenek, kakek,ayah revan dan Papah Romi marah. Aluna harus jadi anak yang baik dan nurut ya, sayang. Segitu dulu surat dari ibu. Peluk hangat dari ibu yang sudah jauh dari Aluna. Semoga Aluna bahagia selalu, ya, sayang.”
Dari ibunya Aluna, Kayla.
“Kenapa ibu nggak tulis nama Mama Anya, sih?” cemberut Aluna sambil menatap Anya.
Saat itu, Anya tersenyum tipis. “Waktu itu, Mama belum sama Papa Romi. Papa Romi malu-malu, malah nggak mau nikah, katanya mau urus Aluna dulu,” jelasnya sambil menimang bayi kecil di pangkuannya—Arka.
“Ouh… gitu,” ucap Aluna sambil mengusap pipi Arka yang mungil.
“Ibu orangnya baik, ya, Mah?” tanya Aluna polos.
“Baik banget,” jawab Anya lembut.
“Pantesan Tuhan sayang dia,” ucap Aluna sambil tersenyum, matanya berbinar.
“Iya… Tuhan lebih sayang ibu Aluna, jadi dipanggil duluan,” balas Anya sambil mengelus rambut Aluna.
“Aluna bobo siang ya,” kata Anya sambil tersenyum.
“Iya,” jawab Aluna, lalu tiduran dengan nyaman.
Sore itu, Romi datang membawa kado untuk Aluna.
“Maaf telat ya, kado-nya,” ucap Romi sambil terkekeh.
“Gak apa-apa, Pah. Aluna suka,” jawab Aluna sambil mencoba sepatu baru yang diberikan.
“Pah, Papa Axel ngajakin Aluna ke pantai,” ucap Aluna dengan mata berbinar.
“Kapan? Papa sibuk, nggak bisa anterin kamu. Dede Arka juga masih bayi, gimana?” tanya Romi khawatir.
“Gak apa-apa, berdua aja,” jawab Aluna mantap.
“Kapan?” tanya Romi lagi.
“Hari ini,” jawab Aluna malu-malu.
Tak lama, Axel sudah menunggu di depan pintu rumah.
“Aluna, mana?” sapa Axel ceria.
“Papa!” teriak Aluna sambil berlari ke arahnya.
“Hayu, kita ke pantai,” ajak Axel dengan senyum lebar.
“Berdua?” tanya Aluna, setengah tak percaya.
“Hmmm… why not?” jawab Axel sambil tertawa.
“Yeee! Ke pantai!” Aluna jingkrak-jingkrak kegirangan.
“Nitip ya,” ucap Romi.
“Ok,” jawab Axel.
Malam itu, setelah sampai di pantai, Aluna tertidur lelap. Axel menatapnya, lalu menaruh tubuh mungil itu di kasur. Ia memeluk Aluna perlahan, menatap wajah polosnya, merasakan kehangatan yang selalu berhasil menenangkan hatinya.
Keesokan harinya, mereka berlarian di pantai. Tangan kecil Aluna mengepal pasir, membangun istana yang sempurna di bawah matahari sore. Tawa mereka bergema, lepas, bebas—momen yang selalu mereka ulang sebulan sekali atau dua minggu sekali.
Selain pantai, Axel juga sering mengajak Aluna ke kebun binatang, berendam air panas, hingga camping. Semua kegiatan yang dulu Kayla nikmati kini diulang bersamanya—sebagai kenangan hidup yang diteruskan untuk Aluna.
Hingga Aluna beranjak remaja dan masuk SMP, Axel dan Romi menyekolahkan Aluna di sekolah elit.
Mereka bergantian mengantar dan menjemputnya. Tapi di rumah, Aluna tetap manis, penurut. Sedangkan di sekolah, ia dikenal tegas dan agak judes—sikapnya yang jauh berbeda, seolah menutup sisi rapuhnya.
Hari itu, ulang tahunnya yang ke-13. Romi memberikan Aluna lima surat dari Kayla. Aluna membukanya perlahan, membaca dengan mata berbinar.
“Hay, cantik.
Aluna udah SMP ya sekarang, gimana sekolahnya?
Hmm, dulu ibu sekolah SMP sama Ayah Revan, sama Papah Romi, sama Om Axel.
Aluna menyela di saat membaca 'papa axel bu.'sambil terkekeh.
Kami bertiga akur, tapi kami nggak akur sama Om Axel. Om Axel rese, dia kaya sombong.
Kalo Ayah Revan sama Papa Romi keluarga biasa-biasa, sayang. Mau jajan aja susah. Papa Romi banyak uang, kok, Bu,” canda Kayla di surat itu.
“Hihi, pernah suatu hari ibu sama Ayah Revan dan Papa Romi main di lapangan. Ibu nggak bawa uang karena ganti celana. Om Axel nenteng es krim di depan kita, dia makan sambil dijilat-jilat gitu, kita semua ngiler, mau jajan nggak ada duit.
Akhirnya kita palak Om Axel, minta uangnya buat jajanin kita. Dia ngasih, tapi pulang ngadu ke mamahnya. Hihi, cengeng ya Om Axel.
Kalo Aluna deket sama Om Axel, salam dari ibu ya. Dia baik kok, Aluna jaga dia, kalo bisa cariin dia istri baru.
Udah dulu surat hari ini, sayang. Semangat ya sekolahnya. Aluna, mah, anak baik, kesayangan ibu.
Peluk hangat dari ibu yang jauh,
Kayla.”
“Iya, Bu. Nanti Aluna sampein ke Papa Axel,” ucap Aluna sambil memeluk surat itu erat, matanya berkaca-kaca.
Keesokan harinya, Aluna duduk di taman, tempat Kayla dulu menghembuskan nafas terakhirnya.
“Pah,” ucapnya pelan pada Axel.
“Ya,” jawab Axel sambil menikmati es krim.
“Dapat salam,” kata Aluna.
“Dari siapa?” tanya Axel.
“Ibu,” jawab Aluna dengan wajah berbinar.
“Aluna dapat surat lagi dari ibu?” tanya Axel, matanya bersinar.
“Iya,” jawab Aluna singkat.
“Kok Papa nggak dapat, ya?” cemberut Axel.
“Bosen kali ibu nulis buat Papa,” Aluna terkekeh.
“Ibu bilang apa aja?” tanya Axel penasaran.
“Katanya suruh Papa nikah lagi,” jawab Aluna polos.
“Nggak, ah. Bilangin nggak mau,” Axel mendelik.
“Dih, kok gitu sih,” Aluna nyengir.
Ucapan itu sama persis seperti kata-kata Kayla dulu. Axel tersenyum tipis, hatinya hangat.
“Papa tuh takut dapat istri yang nggak sayang sama Aluna,” ucap Axel pelan.
“Tapi Papa sayang Aluna kan?” tanya Aluna mantap.
“Iya dong,” jawab Axel sambil mengelus kepala Aluna.
“Asal Papa sayang Aluna, nggak apa-apa kok,” ucap Aluna lembut.
“Nggak ah, Al… nggak mau. Nanti Papa ketemu ibu kamu di mimpi, Papa bilangin,” Axel terkekeh geli.
“Ih, si Papa mah bisa aja,” Aluna tertawa lepas.
Sore itu, mereka duduk berdua di taman, matahari mulai tenggelam, mewarnai langit jingga. Suasana hening namun hangat, penuh cinta yang tak pernah habis.
Mereka terus berbicara, tertawa, dan menikmati momen bersama—sampai malam menjelang, ketika mereka pulang dengan hati yang penuh rasa syukur.
Bersambung...
tapi ruwetan baskara aluna🤣
tapi aku suka ama anaknya🤣