Semua orang melihat Claire Hayes sebagai wanita yang mengandung anak mendiang Benjamin Silvan. Namun, di balik mata hijaunya yang menyimpan kesedihan, tersembunyi obsesi bertahun-tahun pada sang adik, Aaron. Pernikahan terpaksa ini adalah bagian dari rencana rumitnya. Tapi, rahasia terbesar Claire bukanlah cintanya yang terlarang, melainkan kebenaran tentang ayah dari bayi yang dikandungnya—sebuah bom waktu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leel K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6. Kemarahan yang Pecah
Aaron pulang lebih awal hari ini, pukul tujuh malam. Dr. David Sterling sudah pergi, lebih tepatnya dipaksa pergi oleh Claire begitu wanita itu tahu bahwa Aaron akan pulang sebentar lagi.
"Seperti katamu, Aaron akan pulang," ujar Claire, suaranya sopan namun ada nada tak terbantahkan di sana. Ia berdiri di depan pintu kamarnya, menghalangi jalan keluar dokter dengan cara paling halus yang ia bisa. "Jadi Anda juga bisa pulang sekarang, Dokter."
David merasa bingung. Di satu sisi, Aaron menyuruhnya untuk tinggal menjaga sang nyonya. Di sisi lain, Nyonya Silvan sendiri malah mendesaknya pulang dengan argumen-argumen yang aneh.
"Bagaimana kalau saya menunggu sebentar lagi, Nyonya?" saran David, mencoba mencari jalan tengah. "Sampai Direktur pulang dan memastikan keadaan Anda sudah stabil?"
Claire merengut. Ia menoleh sekilas ke arah kamera pengawas di sudut ruangan, lalu kembali menatap David. Ada ekspresi sedih yang begitu jelas di wajahnya saat ia melakukan itu, membuat David semakin gelisah. Apa maksudnya ini? Apa dia mengirim sinyal pada Direktur?
"Ka-kalau begitu," David menarik napas, merasa terpojok, "biarkan saya menghubungi Direktur dulu untuk memberitahu bahwa saya akan pulang."
"Aaron sedang di jalan, Dokter," potong Claire cepat, "tidak baik bertelepon sambil berkendara. Anda membuat suami saya dalam bahaya."
Rasanya David ingin menangis saat itu juga. Argumen itu terasa absurd, tapi sorot mata Claire entah kenapa membuatnya tidak bisa membantah. "Tidak apa-apa, Nyonya. Sekretaris Sam yang memegang kemudi, Direktur tidak menyetir sendiri—"
"Bagaimana jika tidak?" sela Claire lagi, suaranya sedikit lebih keras sekarang. Sorot matanya, yang tadinya sedih, kini beralih menjadi tatapan yang entah mengapa terasa menantang David.
David terdiam, kehabisan kata-kata, merasa seperti 'mati kutu' menghadapi Nyonya Silvan yang pendiam ini tapi entah kenapa begitu gigih.
Detik berikutnya, ponsel David bergetar. Sebuah notifikasi pesan masuk. Setelah dibaca, David menghela napas lega, seakan semua beban di dunia ini telah diangkat dari bahunya. Sebuah pesan singkat dari Aaron: Pulanglah, David.
"Kalau begitu, saya akan pergi sekarang, Nyonya." Ia membungkuk pamit dengan rasa syukur, "Selamat malam."
"Selamat malam," balas Claire, mengangguk sopan.
Mungkinkah dia mendapat pesan dari Aaron lagi? pikir Claire. Ia menghela napas berat, duduk ditepi tempat tidur, menatap miris ponselnya di atas nakas. Aku bahkan tidak memiliki nomornya.
Tak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk pelan. Claire tersentak dari lamunannya mendengar ketukan itu. Seketika, wajahnya berseri-seri, senyum sumringah terukir di bibirnya. Belum melihat siapa di balik pintu, namun seolah sudah tahu siapa yang ada di baliknya.
"Ma-masuk," ucap Claire gugup, suaranya agak pelan, malu karena ketahuan menunggu atau karena perasaannya sendiri.
Pintu terbuka, memperlihatkan sosok Aaron berdiri di ambang pintu. Dia masih lengkap dengan jas dan dasinya, seolah langsung datang ke kamarnya begitu ia pulang. Aaron terlihat lelah, ada kerutan halus di antara alisnya.
Claire merasa darahnya berdesir, jantungnya berdebar. "Aaron—"
"Kenapa harus membuat masalah lagi?" Aaron menginterupsi, suaranya tak tinggi namun terdengar datar, sarat akan rasa jengkel dan lelah. Ekspresinya dingin.
Claire, yang tadinya diliputi perasaan berbunga-bunga, kini mendadak diliputi perasaan takut dan gelisah. Senyum di wajahnya lenyap. Kenapa lagi? Apa salahku?
Ia menggigit bibirnya kuat, berusaha menahan diri untuk tidak menjawab atau menangis. Kedua tangannya terkepal di atas pangkuannya.
"David bukanlah orang sembarangan," lanjut Aaron, matanya tajam. "Dia dokter pribadiku yang sudah lama bersamaku." Langkahnya maju perlahan ke dalam kamar. "Aku memintanya di sini untuk menjagamu sebentar sebelum aku pulang, dan lihat apa yang kau lakukan?!" Sorot matanya semakin tajam, menusuk Claire. "Hanya tahu membuat masalah."
Kata-kata itu, diucapkan dengan suara dingin namun penuh kejengkelan, terasa seperti tamparan. Wajah Claire memucat, matanya mulai berkaca-kaca. Ia menggigit bibirnya semakin kuat, mencoba menahan isakan.
Aaron mengernyitkan alisnya, matanya tanpa sadar menangkap bibir wanita itu yang kini mulai mengeluarkan setetes darah akibat gigitan kuatnya. Lantas, entah didorong insting apa, Aaron mendekat, mengangkat dagu Claire perlahan dengan ibu jarinya, mendapati mata itu sudah berlinang air mata, siap tumpah. Darah menetes dari bibirnya.
Sial! batin Aaron, marah pada dirinya sendiri karena merasa tergerak. Dia mengusap darah di bibir itu dengan ibu jarinya—gerakan yang kontras dengan kata-katanya. "Jangan menggigit bibirmu!" Suaranya meninggi, ada campuran frustrasi dan perintah di sana.
Claire memejamkan mata mendengar bentakan di depan wajahnya, membuat air matanya luruh dari sudut matanya, mengalir turun di sisi wajahnya.
"Jangan menangis!" bentak Aaron lagi, melepas dagunya. "Aku tidak menyuruhmu menangis!"
Claire malah mengeluarkan suara isakan tertahan, bahunya semakin bergetar tak terkendali, dagunya juga. Isakannya memecah ketegangan.
Aaron tidak tahu lagi harus berbuat apa. Melihat wajah penuh air mata, mendengar suara isakan, dan merasakan genggaman tangannya yang gemetar saat wanita itu tiba-tiba meraih tangannya lagi—semuanya membuatnya jengkel dan frustrasi luar biasa. Dia melepas tangannya dari genggaman Claire—sedikit kuat, mungkin, membuat punggung tangan putih pucat itu memerah seketika.
Aaron menyisir kasar rambutnya ke belakang, membuang muka, menghela napas dengan kasar. Ia merasa terjebak dan marah.
"Aaron..." rintih Claire, suaranya lirih, isakannya terdengar putus asa. Tangannya terangkat di udara, berusaha meraih Aaron lagi, memegang tangan pria itu yang kini terlepas darinya. "Aaron..." rintihnya lagi.
Aaron semakin dibuat jengkel oleh permohonan itu, oleh wajah penuh air mata itu, suara itu, dan upaya putus asa itu.
"Kamu marah?" tanya Claire lirih di antara isakannya. "Maaf... maafkan aku. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Aku janji... aku janji," sesalnya, kata-katanya terputus-putus. "Jangan marah lagi ya, hm?" Permohonannya seperti anak kecil.
Aaron tidak tahan lagi. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Aaron berbalik pergi meninggalkan ruangan itu begitu saja, membanting pintu di belakangnya.
Melihat punggung itu hilang di balik pintu dan mendengar suara pintu terbanting, Claire tertunduk dalam, kembali menguraikan air matanya lagi, kali ini tanpa menahan diri. Isakannya memenuhi kamar yang kini terasa kosong.
Lain halnya Aaron. Setibanya di kamarnya, ia menutup pintu dengan kasar, menimbulkan suara hentakan keras yang bergema di penthouse. Melepas dasinya begitu kasar hingga kainnya terasa mencekik, membuka kancing kerahnya hingga kancingnya terlepas dari pakaiannya dan memantul di lantai.
"Sialan!" raungnya, suaranya penuh amarah yang tertahan.
Seolah belum selesai melampiaskan amarahnya, Aaron melempar lampu tidur di atas nakas dengan keras, mengenai cermin di dinding hingga pecah berderai. Pecahan cermin terpental. Tanpa Aaron sadari, sepotong pecahan mengenai pipinya, menggores kulitnya, dan mengeluarkan sedikit darah di sana. Rasa perih itu menambah kemarahannya.
"Kenapa?!" raungnya lagi, menatap bayangan dirinya di cermin yang pecah. "Kenapa hal ini harus terjadi padaku?!" Nafasnya memburu, dadanya naik turun dengan cepat.
Ia kemudian menjatuhkan dirinya di atas tempat tidur, duduk dan memegang kepalanya, merasa frustrasi dan hancur.
"Tidak... tidak bisa, Aaron," racaunya lagi, berbicara pada dirinya sendiri.
"Setelah apa yang dia lakukan padamu," suaranya penuh kepahitan saat merujuk pada Benjamin dan Claire, "setelah dia menghancurkan hidupmu sejauh ini, kau—!"
"Kau merasa kasihan padanya?!" Aaron tidak bisa menahan tawa. Tawa yang terdengar hampa, mengolok-olok dirinya sendiri.
"Betapa konyolnya dirimu, Aaron!" ejeknya pada pantulan dirinya.
"Betapa menyedihkannya kau."
"Setelah mengabdikan dirimu pada kesalahan saudaramu, sekarang kau berpikir untuk mengabdikan diri pada... wanitanya?!" Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan suara lebih rendah, ironis. "Ah ya... benar. Pada anaknya juga."
Aaron tertawa lagi, tawa yang memenuhi ruangan itu, tawa yang pada akhirnya membuat cairan bening—air mata—jatuh dari sudut matanya, mengalir turun di dagunya, menetes jatuh di atas punggung tangannya yang terkepal. Kehangatan air mata itu membuatnya semakin tersadar. Betapa menyedihkannya dirimu, Aaron.