NovelToon NovelToon
SIKSA KUBUR

SIKSA KUBUR

Status: tamat
Genre:Misteri / Horor / Tamat
Popularitas:81
Nilai: 5
Nama Author: gilangboalang

SINTA dan adiknya, ALIM, tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sangat taat. Sejak kecil, Sinta adalah sosok yang sangat alim, menjunjung tinggi akidah Islam, dan memegang teguh keyakinannya. Dunia yang ia pahami—dunia yang damai dan dipenuhi janji surgawi—hancur berkeping-keping pada satu sore kelam.
​Orang tua mereka, Adam dan Lela, tewas dalam sebuah insiden yang dicap sebagai bom bunuh diri. Latar belakang kejadian ini sangat kelam: pelaku bom tersebut mengakhiri hidupnya dan Adam/Lela, sambil meneriakkan kalimat sakral "Allahu Akbar".
​Trauma ganda ini—kehilangan orang tua dan kontaminasi kalimat suci dengan tindakan keji—membuat keyakinan Sinta runtuh total. Ia mempertanyakan segala yang pernah ia yakini.
​Saat ini, Sinta bekerja sebagai Suster Panti Jompo, berhadapan dengan kematian secara rutin, tetapi tanpa sedikit pun rasa takut pada alam baka. Alim, di sisi lain, kini menjadi Penggali Kubur, dikelilingi oleh kuburan, tetapi tetap teguh memegang sisa-sisa keyakinannya yang diw

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kehendak Allah dan Kebenaran yang Menghancurkan

​🌅 Kebangkitan yang Mengerikan

​Sinta terbangun. Bukan oleh cahaya lembut matahari pagi, melainkan oleh rasa dingin yang intens dan kaku di sekujur tubuh.

​Ia mencoba bergerak, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya terasa terikat dan berat. Ia masih di dalam liang lahat, di samping Pak Slamet.

​Ada yang aneh. Rasa kain yang membungkusnya terasa asing. Ia meraba-raba di kegelapan.

​Anehnya, Sinta berpakaian jadi pocong, dibungkus. Kain kafan yang membalut tubuhnya kaku dan dingin, menyekat setiap gerakannya.

​Sontak Sinta kaget dan panik. Ia mulai meronta, suara napasnya tersengal-sengal di dalam pipa paralon.

​“Alim! Alim! Buka! Aku sudah bangun!” Sinta berteriak, suaranya teredam, penuh ketakutan yang sesungguhnya.

​Ia merangkak sedikit, memaksakan diri melihat ke samping. Matanya, yang sudah terbiasa dengan kegelapan, menangkap detail di sebelah kirinya: Pak Slamet.

​Saat Sinta menoleh ke arah Pak Slamet, ada ular hitam besar masuk ke mulutnya.

​Ular itu bukan cacing, melainkan ular hitam pekat yang besar dan nyata, merayap masuk ke tenggorokan jenazah Slamet.

​💀 Slamet Hidup Kembali

​Sekejap kemudian, hal yang paling tidak mungkin terjadi.

​Sontak Pak Slamet jadi hidup kembali, namun dia cuma duduk dengan masih jadi pocong.

​Slamet duduk tegak, masih terbungkus kain kafan yang basah, matanya terbuka lebar—mata yang kosong dan penuh kengerian. Dia tampak seperti manusia yang baru saja tersentak dari tidur yang mengerikan.

​Sinta terpaku. Semua logika, semua sains, semua sinismenya, hancur dalam hitungan detik.

​Slamet, sang atheis yang menantang, kini adalah bukti hidup-mati dari kebenaran yang ia sangkal. Slamet mencoba bersuara, meminta tolong, tetapi dia tidak bisa ngomong. Pita suaranya seolah terpotong. Ia hanya bisa mengeluarkan suara parau, berulang-ulang: "Haa! Haa!"

​⚡ Suara Gemuruh dari Langit

​Ketakutan Sinta mencapai puncaknya. Ia meronta, mencoba melepaskan diri dari balutan kain kafan yang kini terasa seperti jebakan neraka.

​Tiba-tiba, dari atas, dari lapisan tanah yang menutupinya, terdengar tanah gemuruh, suara besar yang menakutkan. Suara itu bukan petir biasa, melainkan suara yang sangat besar seperti suara petir yang merobek langit dan bumi, memenuhi liang lahat yang sempit itu.

​Suara itu adalah otoritas mutlak yang tak terbantahkan. Suara yang memanggil dengan bahasa kuno yang menggetarkan jiwa.

​"Man Rabbuka!"

​Siapakah Tuhanmu!

​Sinta menutup telinga, air mata dan keringat bercampur di wajahnya. Ia melihat Slamet. Slamet duduk kaku, bergetar ketakutan, wajahnya memohon.

​Slamet ingin menjawab, ingin memohon ampun, tetapi pita suaranya hanya bisa mengeluarkan suara "Haa! Haa!" yang menyedihkan.

​🔨 Palu Godam dan Darah yang Hancur

​Karena Slamet tidak bisa menjawab, hukuman yang dijanjikan dalam doktrin agama yang Sinta anggap "dongeng" datang dengan dahsyat.

​Tiba-tiba, kegelapan di atas liang lahat tertutup oleh bayangan.

​Godam bergerigi besar dan tajam menghantam kepala Pak Slamet!

​Suara retakan tulang yang memekakkan telinga memenuhi ruang sempit itu. Darah muncrat ke segala arah, membasahi kain kafan Sinta dan dinding tanah.

​Kepala Slamet hancur seketika. Otak dan tulang terburai, menyisakan pemandangan yang paling menjijikkan dan brutal yang pernah dilihat Sinta, bahkan lebih parah dari kengerian di Nini.

​Sinta yang melihatnya panik dan takut luar biasa. Ia adalah saksi hidup dari siksa yang paling ia sangkal.

​Namun, siksaan belum selesai. Dalam sekejap, di hadapan Sinta, kepala Slamet kembali seperti semula lagi. Utuh, siap menerima siksaan berikutnya.

​Slamet masih hidup, wajahnya yang baru pulih kembali berteriak tanpa suara.

​Suara gemuruh itu kembali.

​"Man Rabbuka!"

​Slamet tidak bisa menjawab. Dia tidak bisa menjawab!

​Godam kedua, lebih keras dari yang pertama, menghantam. Kepala Slamet hancur lagi. Lalu kembali.

​Suara gemuruh.

​"Man Rabbuka!"

​Godam ketiga. Kepala hancur lagi. Darah dan daging memercik, lalu kembali ke wujud semula.

​Slamet, sang atheis, harus melalui siksaan yang tak berkesudahan, di hadapan Sinta, sang saksi yang sinis.

​Sinta tidak lagi memikirkan cacing, sains, atau logika. Ia hanya memikirkan satu hal: ia telah salah.

​Ia telah menantang Tuhan, dan kini ia dikurung di sisi mayat hidup yang sedang disiksa, dibungkus kain kafan yang terasa seperti kulitnya sendiri. Keyakinannya telah runtuh total. Ia tidak hanya takut mati, ia kini takut pada kebenaran yang menantinya setelah kematian.

​Sinta berteriak histeris di dalam balutan kain kafannya, teriakannya teredam dan sia-sia, menjadi bagian dari teror sunyi di liang lahat Pak Slamet.yang Tak Berujung

​🌑 Teror yang Membisu

​Sinta, terperangkap dan terbungkus kain kafan di sebelah mayat hidup yang disiksa, hanya bisa menyaksikan kebenaran yang paling mengerikan. Semua keyakinan ilmiahnya runtuh. Di tengah kegelapan total dan bau amis darah yang menyengat, suara gemuruh yang memanggil Man Rabbuka! terus menggelegar.

​Slamet, dengan kepala yang baru pulih, kembali tidak bisa menjawab. Mulutnya hanya menghasilkan suara "Haa! Haa!" yang memilukan.

​Hukuman ketiga dari godam sudah selesai. Kini, alat siksaan berikutnya muncul.

​Pak Slamet dipukul kembali dengan sebuah batu sangat besar!

​Kali ini, bukan godam bergerigi, melainkan sebongkah batu hitam pekat yang sangat besar—entah datang dari mana—melayang dari atas dan menghantam Slamet dengan kekuatan yang melampaui batas fisik.

​Kepala itu hancur seketika.

​Sinta berteriak ketakutan, suaranya teredam oleh kain kafan dan tanah di atasnya. Ia tidak lagi peduli pada risiko kehabisan udara. Kengerian yang ia lihat jauh lebih mematikan daripada mati lemas.

​Darahnya muncrat, hancur, dan numbuh kembali.

​Sesaat setelah hantaman mematikan itu, darah dan sisa-sisa otak Slamet kembali menyatu. Kepala Slamet pulih sempurna, matanya yang kosong menatap Sinta dengan ketakutan yang mendalam, seolah memohon bantuan.

​⛓️ Gergaji dan Belitan

​Namun, keadilan spiritual yang kejam itu belum puas.

​Tiba-tiba, di atas liang lahat, muncul bayangan dari dua Tangan Raksasa yang hitam dan kasar, tangan yang tidak memiliki bentuk manusia biasa. Tangan-tangan itu turun, membawa alat siksaan baru.

​Dari tangan raksasa itu, dia menyiksa kembali dengan sebuah gergaji sangat besar.

​Gergaji itu, yang panjangnya melampaui lebar liang lahat, mulai bekerja. Dua tangan raksasa itu memegang tubuh Slamet.

​Dua tangan raksasa itu memotong tubuh Pak Slamet.

​Mereka memotong Slamet dari pinggang. Suara gergaji yang menggerus daging dan tulang Slamet terdengar jelas dan menakutkan di ruang sempit itu. Tubuh Slamet terbelah dua.

​Sinta sangat takut. Ia mencoba menutup mata, tetapi penglihatannya seolah dipaksa untuk menyaksikan setiap detail yang menjijikkan. Ia menyentuh darah Slamet yang membasahi kain kafannya. Ini bukan mimpi. Ini adalah realitas yang ia sangkal.

​Setelah terpotong, tubuh Slamet kembali menyambung dalam sekejap mata, siap untuk siksaan berikutnya.

​Dan tangan itu juga melintirkan badan Pak Slamet.

​Dua tangan raksasa itu mencengkeram Slamet dari atas dan bawah, lalu memelintir tubuhnya seperti memeras kain basah. Tulang-tulang Slamet remuk dan patah dengan suara yang memilukan, tubuhnya menjadi bentuk yang tidak wajar, lalu kembali pulih—proses penyiksaan yang dijamin takkan berakhir.

​😭 Air Mata dan Penebusan

​Sinta sangat takut. Dia nangis-nangis.

​Air mata Sinta mengalir deras di wajahnya, membasahi kain kafan yang melilitnya. Air mata itu bukan lagi air mata dendam atau sinisme. Itu adalah air mata keimanan yang lahir dari trauma. Ia menyadari betapa kecil dan tidak berdayanya ia di hadapan kekuatan alam ghaib.

​Siksa kubur itu nyata. Semua ancaman agama yang ia anggap taktik kontrol ternyata adalah kebenaran universal yang tak terhindarkan.

​Sinta tidak hanya menyaksikan siksaan Slamet, ia menyaksikan kematian logikanya sendiri. Ia dikurung dalam kebenaran yang kejam.

​"Ya Tuhan," bisik Sinta di dalam kain kafannya, suaranya tercekat dan penuh ketakutan yang tulus. Kata-kata itu, yang telah lama ia tolak, kini keluar secara otomatis.

​Kini, Sinta mengerti mengapa orang-orang beriman begitu takut dan mengapa orang-orang seperti yang menyiksanya di Nini menggunakan agama sebagai senjata. Mereka tidak takut pada polisi, mereka tidak takut pada hukum manusia, mereka hanya takut pada hukuman abadi ini.

​Slamet adalah bukti. Bukti bahwa keyakinan agama bukanlah mainan.

​Sinta berbaring tak berdaya, terperangkap di sisi korban dan pelaku, menyaksikan pembalasan ilahi yang brutal, menanti fajar yang mungkin tidak akan pernah tiba untuknya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!