Bagaimana jika wanita yang kau nikahi... ternyata bukan manusia?
Arsyan Jalendra, pemuda miskin berusia 25 tahun, tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Wulan Sari—wanita cantik misterius yang menolongnya saat nyaris tenggelam di sungai—adalah awal dari takdir yang akan mengubah dua alam.
Wulan sempurna di mata Arsyan: cantik, lembut, berbakti. Tapi ada yang aneh:
Tubuhnya dingin seperti es bahkan di siang terik
Tidak punya bayangan saat terkena matahari
Matanya berubah jadi keemasan setiap malam
Aroma kenanga selalu mengikutinya
Saat Arsyan melamar dan menikahi Wulan, ia tidak tahu bahwa Wulan adalah putri dari Kerajaan Cahaya Rembulan—seorang jin putih yang turun ke dunia manusia karena jatuh cinta pada Arsyan yang pernah menyelamatkan seekor ular putih (wujud asli Wulan) bertahun lalu.
Cinta mereka indah... hingga rahasia terbongkar.
Ratu Kirana, ibunda Wulan, murka besar dan menurunkan "Kutukan 1000 Hari"—setiap hari Arsyan bersama Wulan, nyawanya terkuras hingga mati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20: Kutukan 1000 Hari Dimulai
Arsyan terbangun dengan sakit kepala luar biasa.
Kepalanya berdenyut keras—kayak ada yang palu di dalam tengkoraknya—matanya susah dibuka—tubuhnya lemas total.
"Mas... Mas bangun..."
Suara Wulan—suara yang penuh kepanikan—bikin Arsyan paksain buka mata.
Yang pertama dia liat adalah wajah Wulan—pucat banget, mata merah sembab, pipi basah air mata.
"Wulan..." suaranya serak—tenggorokan kering.
"Mas... syukurlah... syukurlah Mas bangun..." Wulan langsung peluk Arsyan—peluk erat—tubuhnya gemetar.
Arsyan bingung—ingatannya masih kabur. "Aku... kenapa? Kok aku di kasur?"
"Mas... Mas pingsan. Tadi malam... Ibunda datang... dia... dia..."
Lalu semua ingatannya balik.
Ratu Kirana. Cahaya emas. Rasa sakit di dada. Darah.
Kutukan.
Arsyan langsung duduk cepat—terlalu cepat—kepalanya langsung pusing berputar, dia nyaris jatuh lagi kalau Wulan nggak nahan.
"Mas, pelan-pelan—"
"Kutukan... dia... dia mengutukku kan?"
Wulan diam—bibir gemetar—lalu mengangguk pelan.
"Seribu hari..." bisik Arsyan—suaranya kosong. "Dalam seribu hari... aku akan mati."
"Jangan bilang begitu—" Wulan nangis lagi. "Aku... aku akan cari cara. Aku akan—"
"Wulan." Arsyan pegang tangan istrinya—dingin, gemetar. "Cerita semuanya. Aku mau tau... kutukan ini... gimana cara kerjanya."
Wulan napas berat—ngusap air mata kasar—lalu mulai jelasin.
"Kutukan Seribu Hari... itu kutukan yang... yang akan menyedot nyawa seseorang secara perlahan. Setiap hari... energi hidup Mas akan terkuras sedikit demi sedikit. Awalnya... Mas akan sering sakit. Lemah. Pucat. Lalu... lalu makin lama makin parah. Sampai hari ke seribu... Mas akan... akan..."
Wulan nggak bisa ngelanjutin—nangis pecah.
Arsyan diam lama—mencerna semua ini. Dadanya sesak. Napasnya berat.
Seribu hari. Itu... sekitar dua tahun lebih.
"Terus... ada cara ngilanginnya nggak?"
Wulan menggeleng lemah. "Cuma... cuma Ibunda yang bisa cabut kutukan ini. Atau... atau aku pulang ke kerajaan. Kalau aku pulang... kutukan akan hilang. Mas akan... akan selamat."
Hening.
Hening yang panjang, menyakitkan.
Arsyan menatap Wulan—menatap mata yang penuh air mata—menatap wajah yang hancur.
Lalu dia bilang pelan—tegas—meskipun suaranya gemetar.
"Aku nggak akan biar kamu pulang."
Wulan mata membelalak. "Tapi Mas—"
"Wulan, dengerin aku." Arsyan pegang wajah Wulan dengan dua tangan—menatap matanya dalam. "Kalau kamu pulang... aku akan hidup. Tapi hidup tanpa kamu... itu bukan hidup. Itu... itu neraka. Mendingan aku mati dalam seribu hari tapi bahagia sama kamu... daripada hidup lama tapi sendirian."
"Jangan bilang begitu—" Wulan nangis makin keras. "Mas bisa mati, Mas! Mati! Aku... aku nggak bisa kehilangan Mas!"
"Dan aku nggak bisa kehilangan kamu!" Arsyan ikutan nangis—air matanya jatuh. "Wulan... kumohon... jangan pulang. Tetep di sini. Sama aku. Kita... kita akan cari cara. Pasti ada cara."
"Nggak ada cara, Mas... satu-satunya cara cuma—"
"PASTI ADA!" Arsyan berteriak—suaranya pecah. "Kita belum nyoba semuanya! Kita belum tanya Kyai Hasan, kita belum ke dukun, kita belum—"
"Aku udah tau, Mas!" Wulan balas teriak—suaranya putus asa. "Aku udah tau nggak ada cara lain! Kutukan Ibunda... itu kutukan tertinggi! Nggak ada yang bisa ngelawan kecuali Ibunda sendiri!"
Hening lagi.
Cuma suara isak tangis mereka berdua yang terdengar.
Arsyan memeluk Wulan—peluk erat—nangis di bahu istrinya.
"Wulan... aku cinta kamu... aku sangat cinta kamu... kumohon... jangan tinggalin aku..."
"Aku juga cinta Mas... tapi... tapi aku nggak mau Mas mati gara-gara aku..."
"Aku nggak peduli—"
"AKU PEDULI!" Wulan mendorong Arsyan sedikit—menatapnya dengan mata merah, basah, penuh keputusasaan. "Aku peduli sama nyawa Mas! Aku peduli sama masa depan Mas! Aku nggak mau... nggak mau jadi pembunuh suami sendiri..."
Arsyan terdiam—menatap Wulan yang hancur di depannya.
Dan untuk pertama kalinya—dia ngerasa... nggak ada jalan keluar.
Pagi itu, Arsyan berusaha bangkit dari kasur—tapi badannya lemas banget. Dia nyaris jatuh—untung Wulan nahan.
"Mas, istirahat dulu—"
"Nggak. Aku... aku harus buka warung. Aku nggak bisa—"
"Warung bisa ditutup sehari! Kesehatan Mas lebih penting!"
Tapi Arsyan keras kepala. Dia paksain jalan—meskipun setiap langkah terasa berat—kayak ada beban puluhan kilo di pundak.
Di dapur, dia nyoba bikin teh—tapi tangannya gemetar. Gelas nyaris jatuh.
Wulan langsung ambil alih. "Mas, duduk. Biar aku yang bikinin."
Arsyan duduk lemas di kursi—kepala ditahan dua tangan. Napasnya berat.
Baru sehari... kok aku udah selemes ini?
Wulan nyodorin teh hangat—tapi pas Arsyan mau minum—dia batuk.
Batuk keras—tubuhnya melengkung—tangan nutup mulut—
—dan pas dia buka tangan—ada darah.
Darah segar di telapak tangannya.
Wulan langsung pucat—gelas yang dia pegang jatuh, pecah di lantai.
"Mas—darah—Mas batuk darah—"
Arsyan menatap darah di tangannya—jantung berdebar keras.
Baru sehari... aku udah batuk darah...
Dia ngelap darah itu pake serbet—nyoba tenang meskipun tangannya gemetar.
"Nggak apa-apa. Cuma... cuma dikit."
"NGGAK APA-APA?!" Wulan nangis lagi. "Mas batuk darah, Mas! Ini... ini kutukannya udah mulai kerja! Mas harus—"
"Aku nggak mau denger soal 'kamu harus pulang', Wulan." Arsyan menatap istrinya tegas—meskipun matanya juga basah. "Aku udah bilang. Aku nggak akan biar kamu pulang. Titik."
"Tapi Mas—"
"Nggak ada tapi-tapian. Kita akan hadapi ini bareng. Oke?"
Wulan menatap Arsyan lama—menatap suami yang keras kepala, yang lebih memilih mati daripada hidup tanpa dia.
Lalu dia mengangguk pelan—meskipun air matanya masih jatuh.
"Oke, Mas. Bareng."
Mereka berpelukan lama—di dapur kecil yang lantainya penuh pecahan gelas dan tetesan teh—berpelukan kayak itu pelukan terakhir mereka.
Padahal... masih ada seribu hari lagi.
Tapi entah kenapa—rasanya waktu itu... terlalu cepat.
Terlalu singkat.
Dan mereka belum siap... untuk kehilangan satu sama lain.
Sore itu, Arsyan tetep nekat buka warung—meskipun Wulan nggak setuju.
Tapi pas dia mulai jualan—dia ngerasain perbedaannya.
Badannya cepet capek. Ngaduk kuah aja terasa berat. Napasnya pendek-pendek. Keringatnya dingin.
Dan yang paling menakutkan—penglihatannya kadang kabur.
Baru sehari... kok aku udah separah ini?
Bhaskara datang sore itu—mukanya ceria kayak biasa—tapi pas liat Arsyan, ekspresinya langsung berubah.
"Gas—lo kenapa? Muka lo pucat banget."
"Nggak... cuma kurang tidur."
"Bohong. Lo keliatan sakit. Lo demam?" Bhaskara nyentuh dahi Arsyan—dan kaget. "Dingin banget! Gas, lo harus ke dokter—"
"Nggak usah, Bhas. Aku... aku baik-baik aja."
"Baik apanya?! Lo keliatan kayak orang sekarat—"
"BHAS, CUKUP!" Arsyan bentak—terlalu keras—bikin Bhaskara terdiam.
Hening sebentar.
Lalu Arsyan menghela napas panjang. "Maaf... maaf aku bentak. Aku cuma... aku lagi nggak enak badan. Tapi aku janji... aku baik-baik aja."
Bhaskara menatap Arsyan lama—lalu dia mengangguk pelan. "Oke. Tapi Gas... kalau lo butuh bantuan... bilang. Jangan ngotot sendirian."
"Iya. Makasih, Bhas."
Bhaskara pergi—tapi sebelum bener-bener hilang, dia noleh sekilas—menatap Arsyan dengan tatapan khawatir.
Ada yang nggak beres sama lo, Gas. Dan gue bakal cari tau.
Malam itu, Arsyan pulang dengan kondisi lebih parah.
Dia nyaris jatuh dari motor—untung Wulan pegang erat dari belakang.
"Mas, pelan-pelan—"
"Aku... aku nggak apa-apa..."
Tapi begitu sampai rumah—Arsyan langsung ambruk.
Jatuh ke lantai—napas terengah-engah—keringat dingin membasahi seluruh tubuh.
"MAS!" Wulan langsung turun, bantuin Arsyan berdiri—tapi Arsyan terlalu berat, mereka berdua nyaris jatuh.
Akhirnya dengan susah payah—Wulan bantuin Arsyan masuk rumah, tidurkan dia di kasur.
Arsyan berbaring lemas—napas berat—mata setengah merem.
Wulan duduk di samping—pegang tangan Arsyan—nangis diam-diam.
"Maafin aku, Mas... maafin aku..." bisiknya berulang-ulang.
Arsyan buka mata sedikit—senyum lemah.
"Nggak... nggak ada yang perlu dimaafin..."
"Ada, Mas. Semua ini gara-gara aku. Kalau aku nggak turun ke dunia manusia... kalau aku nggak nikah sama Mas... Mas nggak akan kayak gini..."
"Wulan..." Arsyan angkat tangannya—meskipun berat—nyentuh pipi Wulan. "Kalau kamu nggak turun... aku nggak akan pernah tau... rasanya dicintai sesungguhnya. Kalau kamu nggak nikah sama aku... aku akan kesepian selamanya. Jadi... jangan menyesal. Oke?"
Wulan nangis makin keras—pegang tangan Arsyan erat.
"Aku cinta Mas... sangat cinta..."
"Aku juga... cinta kamu..."
Lalu Arsyan ketiduran—capek setelah hari yang berat.
Dan Wulan duduk di sampingnya sepanjang malam—menatap wajah suami yang makin pucat—sambil berdoa dalam hati.
Tolong... tolong selamatkan dia. Aku rela berkorban apapun... asal dia selamat.
Tapi doa itu... sepertinya nggak akan terkabul.
Karena kutukan sudah dimulai.
Dan waktu... terus berjalan.
Menghitung mundur.
Menuju hari ke seribu.
Hari dimana... Arsyan akan mati.