Aidol atau idol. Adalah istilah yang lumrah di zaman ini karena kehadirannya yang telah masif.
Chandra Kirana adalah salah satunya. Ia yang mulai dari nol, tak pernah berpikir untuk menjadi seorang idol.
Namun, ia "terperosok" ke dalam dunia itu. Dunia yang tak pernah ia tahu sebelumnya.
Mulai saat itu, dunianya pun berubah.
(Update setiap hari selasa, kamis, Sabtu dan minggu.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baginda Bram, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Suara ruangan seketika hening. Sejurus kemudian suara speaker menggema membelah kesunyian. Orang-orang pun berbondong merapikan barisan.
Keringat dingin mengucur berangsur. Kugenggam erat tangan tas seakan mau lepas. Pandanganku tertuju ke arah sumber suara. Seorang pria paruh baya bertopi hitam. Seluruh perhatian teralih ke arah pintu yang terbuka. Beberapa orang masuk berurutan.
Seorang pria bertubuh kekar dan tiga orang wanita. Pandanganku fokus pada sosok yang paling mencolok di antara mereka.
Wanita fashionable dengan gaya elegan. Rambutnya berwarna pirang kecokelatan mengkilap. Lengkap dengan kacamata gelap yang bertengger menutupi jarak pandangnya.
Mereka melaju dari samping barisan. Duduk di kursi satu per satu. Wanita pirang yang kupandangi duduk di kursi paling tengah.
Sekilas saja, aku sudah yakin kalau dia orang terpenting di sini. Ia menyentuh pengeras suara dengan jari lentiknya. yakin menyala, ia melepas kacamata. Wajah tirus dengan tatapan tegas terpancar kian nyata tapi tak meredupkan kesan mempesona.
Aku yakin ia bukan orang biasa.
"Selamat datang bagi para peserta audisi. Sebelum kita mulai, mari kita dengar sambutan dari Myeong Sook Hyun, direktur dari agensi Bongori entertainment. Beri tepuk tangan yang meriah!" MC Sedikit menekan kalimat akhirnya.
Wanita di tengah mendekatkan bibir tipisnya ke pengeras suara. "Selamat pagi semua," sapanya.
Nada lembut yang meluncur berbanding terbalik dengan tatapannya yang tegas. Membuat kami semua terperangah. Terlebih, kalimat bahasa Indonesia yang ia lontarkan sangat fasih.
Padahal jelas sekali. Dari namanya saja bukan nama yang umum digunakan bagi penduduk negara ini. Sudah seperti warga negara asing yang tinggal di Indonesia dalam kurun waktu yang lama.
"Saya pribadi, berterima kasih atas antusiasme dari kalian semua. Dalam audisi generasi ketiga ini, kami benar-benar mencari anggota yang berkeinginan kuat, bukan berdasarkan bakat atau pun keahlian semata. Kami ingin berkolaborasi untuk mewujudkan mimpi bersama kalian. Kami berkomitmen dengan berusaha semaksimal mungkin. Memang girl group kami di sini belum cukup besar. Tapi, dengan pengalaman staf di dunia idol ini, aku yakin kami bisa untuk menembus pasar tidak hanya nasional, tapi juga pasar internasional. Karena itu, sekali lagi, terima kasih atas partisipasinya dan good luck buat kalian!"
Kami bertepuk tangan kembali. Kali ini giliran pria kekar yang macho bersuara dengan suara yang dalam.
"Baik, untuk mempersingkat waktu, dalam audisi kali ini, kalian akan maju satu persatu untuk menampilkan apa yang kalian bisa. Boleh menari, menyanyi dan yang lainnya. Tapi diutamakan menari dan menyanyi. Silakan menunggu di luar, kalian akan kami panggil satu persatu sesuai nomor urut kalian masing-masing."
Seketika barisan mengusut. Orang-orang segera berhamburan keluar ruangan. Termasuk aku yang terbawa arus manusia. Sebagian orang menepi di pinggiran lorong, duduk menunggu di sana agar tak jauh berjalan.
Keinginanku sama. Menghemat tenaga agar bisa tampil semaksimal mungkin. Tapi, dalam sekejap, dari ujung ke ujung, lorong menjadi sesak. Bahkan udara pun serasa menipis.
Daripada aku bersikeras lalu membuang tenaga untuk berdesakan di sini, lebih baik aku mengungsi dari lorong ini menuju lift.
Mungkin kebetulan, Viola terlihat menyusul di belakang. Lift turun ke lantai 4. Seperti sudah janjian, kami keluar hampir bersamaan.
Ruangan yang minim cahaya. Sangat luas, namun hanya ada beberapa lampu yang menyala. Di sekeliling ruangan yang tertutupi oleh tirai yang membentang dari ujung ke ujung.
Di dekat tempat keluar kami, terdapat banyak sekali kursi. Tersusun rapi seakan akan telah di adakan suatu acara di sini. Tempat yang sempurna untuk menunggu giliran.
Nampaknya Viola pun sependapat. "Duduk di sini aja yuk!" Ajakku.
Ia mengangguk cepat. Beberapa orang pun mengikuti jejak kami. Bagai tuan tanah, aku memilih duduk agak ke dalam. Tepat di bawah siraman cahaya lampu.
Viola duduk di sampingku persis. Kuubah posisi tas ke depan agar aku bisa meluruskan punggung sekaligus mengambil minuman yang ada di dalamnya.
Tanganku merogoh tas, terkejut dengan berbagai bawaan yang seharusnya tidak berada di sana.
Aku menemukan handuk kecil, sapu tangan, baju ganti, payung lipat, makanan ringan, sebotol air dan sebuah kotak bekal. Yang aku masukkan hanya botol air minum dan baju ganti, selebihnya pasti ulah mama. Aku keheranan. Lagi-lagi mama melakukan hal yang berlebihan.
Kuambil botol, segera kuiisi tenggorokan yang sudah mengering ini. Menawarkan juga ke Viola. "Aku bawa juga kok." Tolaknya ramah.
Kuambil makanan ringan, Kurobek ujungnya. Kuambil segenggam. Kembali kutawarkan pada Viola. Tanpa ragu, ia menyambut pemberianku. Bagaikan sudah berteman lama. Kami menikmati rasa dan suasana hening bersama.
"Eh kamu mau menampilkan apa?" tanya Viola memecah keheningan.
"Aku mau menari."
"Menari doang?"
"Iya, habisnya gimana? Aku ketinggalan info. Aku enggak punya waktu banyak buat latihan. Jadi kupilih lagu yang temponya lambat dan dance-nya yang enggak terlalu susah."
"Oh gitu."
"Kalo kamu apa?" Tanyaku balik.
"Aku mau menampilkan lagu girl group Korea."
"Pake bahasa Korea?"
"Iya dong, kan aku sudah belajar aksennya dari youtube. Sudah kuhafal juga liriknya."
"Wow, berapa lama belajarnya?"
"Sejak dua bulan yang lalu."
"Dua bulan!? Niat banget kamu."
"Begitulah. Bagaimana pun aku mesti lolos audisi ini." Ucapnya tanpa jeda dan mata yang berapi-api.
Aku merasa baru menemukan seorang teman seperjuangan. Entah mengapa, terasa dari tatapannya barusan kalau ia tidak akan memaafkan dirinya kalau gagal lolos.
...----------------...
Waktu berlalu tak terasa. Tiba saatnya aku untuk tampil. Nomor urut yang menggema, menyadarkan lamunan serta memancing rasa gugupku untuk unjuk gigi.
Langkahku memburu, merengsek ke antrean yang berada tepat di depan pintu.
Aku mulai memutar lagu dan mensimulasikan gerakannya dalam kepala. Terasa sebentar, nomor urutku sudah dipanggil. Pintu yang terdorong dari dalam terbuka. Muncul orang yang telah menyelesaikan gilirannya. Itu berarti tibalah giliranku.
Belum hilang gugup, peluh dingin pun ikut bercucuran. Aku belum pernah tampil di depan orang. Jujur, aku belum pernah meminta pendapat apapun soal penampilanku kepada orang lain. Jadi, aku tidak tahu akan jadi seperti apa. Satu hal yang pasti, aku sudah berusaha semaksimal mungkin.
Sejak mendapat pemberitahuan lulus dari seleksi pertama, aku tidak pernah berhenti untuk menari. Tidak barang sehari pun. Aku terus mengunci diri di kamar sepulang sekolah. Berlatih sampai lelah sepanjang sisa hari.
Aku masuk ke dalam. Hanya satu orang yang tersenyum ramah, sisanya tak berekspresi sama sekali.
Ketika dipersilakan, barulah gerakan pertamaku dimulai.
Tubuhku yang baru hafal gerakan, serasa masih kaku. Jujur aku kesulitan menyelaraskan gerakan dengan irama.
Sebenarnya aku juga ingin menyanyi. Aku tidak minder dengan suara yang terasah di kamar mandi ini. Yang aku khawatirkan, jika suaraku false, justru akan merusak penampilanku.
Gerakan demi gerakan berlalu, nafasku sudah hampir putus. Beruntungnya, aku bisa menyelesaikan gerakan terakhir tanpa tumbang. Mungkin saja karena aku anak ekskul voli, jadi tubuhku sedikit kuat.
Coba kalau tidak terbiasa berolahraga, bisa-bisa nafasku sudah habis sebelum berakhir. Dadaku berdegup kencang, bulir keringat berjatuhan. Tubuhku telah berhenti bergerak. Namun, sensasi aneh terus menjalar ke seluruh tubuh.
Seharusnya menari bukanlah hal yang berat, tapi ketika dilakukan di tengah tekanan, entah mengapa, tubuhku serasa menjadi lebih berat. Seakan beban di tubuhku meningkat.
Setelah menunduk sebentar, MC mempersilakan untuk keluar. Aku langsung melesat cepat keluar ruangan.
Rasanya ingin teriak dua kali. Yang pertama, karena ketidak puasan dengan penampilanku, yang kedua karena keberhasilan menyelesaikan sampai akhir gerakan meski nafasku hampir habis.
Sekeluarnya dari pintu rasanya bagai muncul ke permukaan setelah tenggelam dalam lautan. Oksigen yang dinikmati paru-paruku serasa lebih segar.
Tubuhku serasa seringan kapas. Namun hanya berlaku sesaat. Sejurus kemudian, seluruh sendiku merengut. Memaksaku untuk tak banyak bergerak.
Aku meringis. Kubawa tubuhku menepi, bersandar pada dinding kosong di antara dua orang. Mau tidak mau, aku harus di sini untuk sementara waktu.
Tempat yang mulai sepi memberiku sedikit ruang. Nampaknya, orang-orang yang telah tampil kebanyakan langsung pulang. Aku pun berencana begitu. Oleh karena pengumuman hasil audisi tidak dilakukan hari ini, namun minggu depan.
Sudah tidak ada alasan lagi untukku berada di sini. Setelah tenagaku sedikit memulih, aku akan pulang.