NovelToon NovelToon
Satu Cinta, Dua Jalan

Satu Cinta, Dua Jalan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Cinta Terlarang / Cinta Paksa / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Bercocok tanam
Popularitas:714
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Ketika mobil Karan mogok di tengah jalan, pertemuannya dengan Puri menjadi awal dari kisah yang tak terduga.
Mereka berasal dari latar belakang keyakinan yang berbeda, namun benih cinta tumbuh seiring waktu. Di awal, perbedaan agama hanya dianggap warna dalam perjalanan mereka—mereka saling belajar, berbagi makna ibadah, dan menghargai kepercayaan masing-masing.
Namun, cinta tak selalu cukup. Ketika hubungan mereka semakin dalam, mereka mulai dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih rumit: restu keluarga yang tak kunjung datang, tekanan sosial, dan bayangan masa depan yang dipenuhi pertanyaan—terutama soal anak-anak dan prinsip hidup.
Di sisi lain, Yudha, sahabat lama Puri, diam-diam menyimpan perasaan. Ia adalah pelindung setia yang selalu hadir di saat Puri terpuruk, terutama saat sang ibu menentang hubungannya dengan Karan
Diam-diam, Yudha berharap bisa menjadi tempat pulang Puri.
Kini, Puri berdiri di persimpangan: antara cinta yang Karan Atau Yudha

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6

Pagi itu, matahari bersinar lembut menyusup masuk ke sela-sela jendela kamar Puri.

Ia sudah bangun sejak subuh, tubuhnya mulai terasa lebih ringan meski masih agak lemas.

Mama yang hendak pergi ke pasar sempat masuk ke kamar, menyapa lembut.

“Pur, mama ke pasar dulu ya. Jaga rumah. Kalau capek, istirahat aja, jangan maksain bersih-bersih.”

“Iya, Ma… hati-hati di jalan,” jawab Puri sambil tersenyum pelan.

Setelah mama pergi, Puri kembali ke ruang tengah dan duduk santai di sofa sambil menikmati udara pagi.

Suasana tenang, hanya suara burung dan sesekali deru motor lewat di jalan depan rumah.

Saat sedang asyik memeluk bantal kecil di sofa, tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu.

Tok… tok… tok.

Puri bangkit pelan dan membuka pintu. Sosok yang berdiri di depan membuat matanya sedikit membesar—Karan, dengan kemeja kasual dan senyum hangat, berdiri sambil membawa kantong plastik berisi dua porsi bubur ayam.

“Pagi,” ucap Karan ringan. “Aku bawain bubur. Kamu udah makan belum?”

Puri menggeleng pelan, senyumnya malu-malu. “Belum…”

“Pas banget, berarti.” Karan tersenyum, lalu masuk setelah dipersilakan.

Ia segera meletakkan bubur di meja dan mengambilkan sendok.

“Masih panas, sabar ya. Aku sengaja nyari yang deket sini biar masih anget pas sampai.”

Puri duduk dan memandangi Karan dengan campuran heran dan kagum.

“Mas… kenapa repot-repot?”

Karan menoleh sebentar, matanya tenang. “Karena kamu penting.”

Kalimat itu meluncur begitu saja, membuat dada Puri bergetar tak karuan.

Ia menunduk cepat, menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah.

Di antara aroma kaldu bubur ayam dan sinar matahari yang masuk hangat ke ruang tamu, pagi itu terasa jauh lebih hangat dari biasanya.

Baru beberapa sendok bubur masuk ke mulut Puri ketika terdengar suara motor berhenti di depan rumah.

Karan yang duduk di seberangnya melirik ke arah jendela. “Kayaknya ada tamu lagi,” ucapnya ringan.

Puri ikut menoleh, dan betapa terkejutnya ia saat pintu diketuk—dan saat dibuka,

Yudha berdiri di sana… sambil membawa kantong plastik yang tak lain juga berisi bubur ayam.

“Pagi, Pur… Aku bawain sarapan,” ucap Yudha, dengan senyum yang sedikit kaku saat matanya menangkap sosok Karan yang sudah lebih dulu duduk di ruang tamu.

Beberapa detik keheningan menggantung di udara. Puri salah tingkah.

Sementara Karan tetap tenang, menyandarkan diri santai di sandaran sofa sambil menatap Yudha dengan senyum tipis.

“Wah, kebetulan banget, Duh. Bubur ayam juga?” tanya Karan, nadanya ringan tapi dalamnya mengandung sesuatu yang tak bisa diabaikan.

Yudha berjalan masuk pelan. “Iya… aku pikir Puri belum sarapan. Ternyata… udah ada yang bawain duluan.”

Puri buru-buru berdiri, mencoba mencairkan suasana.

“Makasih ya, Yudha… Kamu juga, Mas Karan… Aku jadi punya dua bubur ayam nih.”

Yudha hanya tersenyum, tapi matanya tak lepas dari Karan.

“Kayaknya kita berdua punya perhatian yang sama,” ujar Karan pelan, tapi penuh makna.

Dan di tengah suasana pagi yang tadinya hangat, kini udara berubah sedikit lebih tegang.

Dua laki-laki, dua hati yang saling mengarah pada satu nama.

Dan mencoba mengalihkan suasana yang mulai terasa canggung.

Ia menatap Karan dan Yudha bergantian lalu bertanya dengan nada seolah santai, padahal dalam hati deg-degan.

“Mas Karan nggak kerja hari ini?” tanya Puri.

Karan menoleh, senyumnya masih tenang. “Udah izin. Aku sengaja libur hari ini… buat nemenin kamu.”

Jawaban itu sederhana, tapi dampaknya langsung terasa.

Yudha yang sejak tadi mencoba menahan diri, menoleh cepat ke arah Karan, sorot matanya tajam namun masih ditahan.

Puri beralih pada Yudha, mencoba mencairkan.

“Kamu Yud, nggak kuliah?”

Yudha tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak sehangat biasanya.

“Aku ada kelas siang, tadi sekalian mampir ke sini dulu.”

Tapi matanya masih tertuju pada Karan. Dan begitu mendengar jawaban tentang Karan yang mengosongkan hari demi Puri, ada sesuatu dalam dirinya yang tersulut.

Tanpa banyak kata, Yudha tiba-tiba bangkit dari duduknya.

“Aku ke kampus dulu, Pur,” ucapnya cepat, tanpa menatap Puri terlalu lama.

Puri berdiri setengah panik. “Yud, makasih buburnya…”

Yudha hanya mengangguk, tak banyak bicara. Tapi saat melewati Karan, ia menatap sahabatnya dalam diam.

Tatapan yang jelas berbicara: kita sedang berada di medan yang sama sekarang.

Pintu tertutup perlahan, meninggalkan keheningan di ruang tamu.

Puri menatap pintu dengan hati sedikit tak tenang, sementara Karan menghela napas pelan lalu menatapnya.

“Maaf ya… aku bikin suasananya jadi nggak enak,” kata Karan pelan.

Puri hanya menggeleng, tapi dalam hatinya… ia tahu, ini belum selesai. Justru baru saja dimulai.

Puri menggelengkan kepala pelan, menatap Karan dengan tatapan yang lembut tapi tegas.

“Aku sama Yudha… nggak ada hubungan apa-apa, Mas. Kami cuma teman.”

Karan menatap Puri sejenak, lalu mengangguk. Tak ada senyum di wajahnya, tapi ada kelegaan kecil yang sempat melintas di matanya.

Ia tak bertanya lebih jauh—tak ingin memaksakan apa pun. Ia hanya ingin tetap ada di situ… untuk Puri.

Setelah mereka selesai makan, Karan menatap Puri dengan khawatir.

“Sekarang kamu istirahat lagi, ya. Jangan terlalu lama duduk. Nanti capek.”

Puri mengangguk, dan Karan menyerahkan gelas berisi air putih bersamaan dengan obat.

“Jangan lupa minum obat juga.”

Setelah memastikan Puri kembali ke kamar dan beristirahat, Karan membawa piring-piring kotor ke dapur.

Ia mulai mencuci perlahan, lalu membereskan meja makan, merapikan gelas, bahkan menyapu sedikit area ruang tamu yang berantakan.

Saat itulah pintu depan terbuka.

“Puri… Mama pulang,” terdengar suara ceria dari arah depan.

Namun begitu melangkah masuk ke ruang tengah, mama terdiam kaget.

Matanya membulat saat melihat seorang lelaki asing sedang membersihkan lantai ruang tamu rumahnya.

Karan menoleh dan langsung tersenyum sopan.

“Selamat pagi, Bu… saya bantu beres-beres sebentar. Tadi Puri udah sarapan dan sekarang lagi istirahat.”

Mama mengerutkan kening. “Eh… Mas… Rangga, ya?”

Karan tampak bingung sejenak, lalu tertawa kecil.

“Bukan, Bu. Saya Karan.”

Mama langsung menepuk jidat, malu sendiri. “Aduh, maaf. Mama kira kamu Rangga, temennya sepupu Puri yang suka bantuin benerin genteng dulu…”

Karan ikut tertawa kecil, mencairkan suasana.

“Nggak apa-apa, Bu. Kalau disuruh benerin genteng juga boleh, kok.”

Mama ikut tertawa dan langsung merasa nyaman kembali.

Dalam hati, ia tersenyum—Puri memang sedang didekati laki-laki yang bukan cuma sopan, tapi juga ringan tangan.

Di kampus, Yudha duduk di bangku paling belakang kelas sambil menatap layar laptopnya yang kosong.

Di depannya, dosen sedang menjelaskan materi tentang sistem bahan bakar injeksi, tapi tak satu pun kata yang masuk ke kepalanya.

Pikirannya jauh. Bukan ke pelajaran, tapi ke rumah Puri.

Bayangan Karan yang duduk santai di ruang tamu Puri, menyuapi bubur, bahkan sampai membersihkan rumah—terus terputar seperti kaset rusak di benaknya.

Ia mengepalkan tangan pelan di atas meja.

“Apa aku terlalu lama nunggu?” gumamnya dalam hati.

Di sebelahnya, Rama—teman sekelasnya—menyadari perubahan sikap Yudha.

“Bro, lo kenapa sih? Dari tadi ngelamun terus. Naksir cewek ya?”

Yudha menghela napas panjang, tak langsung menjawab.

Rama mencondongkan tubuh, menatap lebih serius.

“Kamu cinta sama Puri, kan."

Yudha menoleh cepat. “Kok lo bisa tahu?”

Rama tertawa pelan. “Lo kira selama ini nggak keliatan? Lo selalu nyari tempat duduk deket dia, nganterin pulang, bahkan pernah belikan dia minuman padahal waktu itu lo sedang puasa.”

Yudha mengalihkan pandangan, menatap jendela kelas yang memperlihatkan langit biru.

“Ada cowok lain sekarang. Namanya Karan. Dia… sahabat gue sendiri.”

Rama mendadak diam. Ia tahu situasi ini rumit.

“Lo udah ngomong ke Puri?”

Yudha menggeleng. “Belum. Tapi gue nggak bisa diem aja. Gue harus bilang… secepatnya.”

Dan saat lonceng tanda istirahat berbunyi, Yudha langsung berdiri. Kali ini, langkahnya terasa lebih mantap. Hatinya masih resah, tapi tekadnya sudah bulat.

1
kalea rizuky
hamil deh
kalea rizuky
bagus awalnya tp karena MC nya berhijab tp berzina maaf Q skip karena gk bermoral kecuali dia di perkosa
kalea rizuky
tuh dnger emak nya karan g stuju ma loe
kalea rizuky
berjilbab tp berzina pur pur didikan ibumu jos
kalea rizuky
pasti ortu karan gk setuju pur. pur bodoh qm blom nikah uda ilang perawan
kalea rizuky
puri kenal karan jd murahan
kalea rizuky
harusnya di pesenin lah taksi online Yuda gk tanggung jawab bgt
kalea rizuky
masih menyimak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!