NovelToon NovelToon
Sayap-Sayap Bisu

Sayap-Sayap Bisu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Chira Amaive

Novel romantis yang bercerita tentang seorang mahasiswi bernama Fly. Suatu hari ia diminta oleh dosennya untuk membawakan beberapa lembar kertas berisi data perkuliahan. Fly membawa lembaran itu dari lantai atas. Namun, tiba-tiba angin kencang menerpa dan membuat kerudung Fly tersingkap sehingga membuatnya reflek melepaskan kertas-kertas itu untuk menghalangi angin yang mengganggu kerudungnya. Alhasil, beberapa kertas terbang dan terjatuh ke tanah.

Fly segera turun dan dengan panik mencari lembaran kertas. Tiba-tiba seorang mahasiswa yang termasuk terkenal di kampus lantaran wibawa ditambah kakaknya yang seorang artis muncul dan menyodorkan lembaran kertas pada Fly. Namanya Gentala.

Dari sanalah kisah ini bermulai.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 6

Sebuah rumah mewah berdiri tegak menyambut kedatangan Fly. Ia memasuki gerbang setelah dibukakan oleh satpam. Halamannya sangat luas dan hijau. Di beberapa bagian terdapat bunga-bunga yang seperti bunga palsu. Padahal itu bunga asli. Tentunya dengan harga yang tidak kira-kira. Fly terus berjalan dipandu oleh pak satpam rumah itu.

Pada jarak lima meter dari arah pintu masuk, terdapat sosok waniat paruh baya sedang berdiri sembari bersedekap ke arah Fly. Tanpa senyuman. Hanya wajah khasnya yang disegani para mahasiwa hingga dosen-dosen. Rambutnya yang separuh memutih melambai. Pagi yang cerah di hari libur.

“Selamat pagi, Bu Nindy,” sapa Fly, ramah.

Wanita itu memiringkan bibir dan menunjuk pintu masuk dengan dagunya kepada Fly. Fly hanya mengangguk canggung sambil mengikuti langkah tuan rumah dari arah belakang.

Beberapa menit yang lalu, sebuah pesan masuk dari bu Nindy masuk pada HP Fly. Tidak seperti biasanya. Dosen itu memulai percakapan dengan Fly. Apalagi isi pesannya tidak lengkap. Ia hanya meminta Fly untuk datang ke rumahnya segera. Wanita itu langsung mengirimkan alamat rumahnya tanpa menjawab pertanyaan Fly perihal untuk apa ia meminta Fly untuk datang ke rumah. Tanpa berlama-lama, Fly langsung mandi cepat dan bersiap-siap secepat yang ia bisa. Bahkan sampai dahinya terhantuk di dinding.

Menyebabkan dahinya keunguan. Bagaimana tidak. Ia membayangkan hal buruk terjadi jika dia sampai membuat bu Nindy menunggu terlalu lama.

Ketika hendak berjalan untuk mencari transportasi umum, ternyata ada pesan masuk dari bu Nindy yang telah memesankan kendaraan untuk Fly. Entah Fly harus senang atau segan karena hal itu. seolah bu Nindy punya indera ke enam. Kendaraan itu datang ketika Fly sampai di tepi jalan raya.

“Jambu, apel, jeruk, stroberi, atau alpukat?” tanya bu Nindy.

Mereka sedang duduk di sofa yang empuknya merasuki sanubari. Begitulah bagaimana Fly menggambarkan kenyamanan yang ia rasakan saat ini.

“Eh? Apa itu?” Fly balik bertanya dengan linglung.

“Buah. Kamu nggak tahu nama-nama buah? Baik ke TK sana!” tegas bu Nindy dengan sedikit buas.

Fly mengangguk cepat. Ia menggaruk kepala dari balik kerudungnya, “Alpukat.”

“Pakai susu putih atau coklat?”

“Coklat.”

“Pakai es?”

“Pakai.”

Fly akan me jawab secepat mungkin agar tidak kena omel lagi.

Bu Nindy menekan lonceng berwarna emas yang berada di atas meja. Dalam sekejap, seorang perempuan memakai dress biru lembut panjang dengan lengan pendek datang. Siapa dia? Begitu rapi dan cantik. Kalau tidak salah, mungkin ia sebaya Fly. Rambutnya dikuncir satu dan terlihat sangat zad an. Fly tampak bersyukur memakai kerudung. Bukan sekadar menutup aurat, tapi juga menutup rambut yang tidak seindah milik perempuan itu.

“Jus alpukat dengan susu coklat dua. Sekarang!”

Sepertinya itu pelayannya, gumam Fly dalam hati.

“Baik, Ma.” Perempuan itu menjawab.

Mama? Ternyata bukan pelayan. Tapi dari penampilannya juga memang lebih layak menjadi majikan. Fly masih berbicara pada dirinya sendiri.

Perempuan itu sudah berlalu menuju ruangan lain. setelah diperhatikan Fly, ternyata mereka memang mirip. Dapat dikatakan bahwa mungkin wajah perempuan itu adalah gambaran bu Nindy di masa mudanya.

“Fly, yang tadi adalah anak saya. Anak satu-satunya. Perempuan pula. Selalu saya jaga dan ingin lakukan yang terbaik untuk dia.” Bu Nindy bertutur.

Lontaran kata yang hanya membuat Fly mengangguk sambil menyimak sebaik mungkin. Ia tak ingin salah langkah lagi dalam menghadapi bu Nindy. Cukup tragedi hilangnya kertas itu yang menjadi sebab kemarahannya yang bergelora.

“Saya ingin kamu menjadi gurunya,” pinta bu Nindy.

“Guru, apa?” tanya Fly pelan.

“Tidak, tidak. anak saya tidak sebodoh itu. ya, karena memang dia tidak bodoh. Tidak mungkin saya membiarkan dia menjadi seseorang yang pemalas.”

Tentu saja. Dilihat dari mana pun, bu Nindy pasti orang yang sangat tegas dan disiplin. di mahasiswanya saja ketat, apalagi anak kandungnya.

Sambil mencerna kalimat yang diucapkan bu Nindy, Fly terus menunggu kalimat apa yang ingin diutarakan wanita itu. Sambil sesekali menatap kemewahan rumah itu. Semua yang berada di dalamnya tidak ada yang mirip dengan barang-barang yang dijual di toko kecil.

“Ajarkan ilmu agama kepadanya,” ucap bu Nindy dengan tatapan berbeda dari biasanya.

Raut wajah itu menampakkan aura harap yang lekat. Ia seperti menyimpan harap, sekaligus penyesalan. Walau entah penyesalan apa yang tengah direngkuhnya. Fly hanya bisa balik menatap dengan senormal mungkin. Terpantau tak berkedip. Sampai mata Fly berair. Suasana aneh yang belum bisa ditangkap Fly. Inikah ekspresi harap dari rasa cinta seorang ibu kepada anaknya?

Perempuan ber-dress biru lembut itu datang dengan sebuah nampan kecil berisi jus alpukat. Fly melirik perempuan itu. tampak pendiam dan penurut. Hanya saja tidak terukir senyum sedikitpun. Mungkin terlihat seperti bu Nindy versi lembut dan pendiam.

“Chihaya, ini Fly. Fly, ini Chihaya,” ujar bu Nindy memperkenalkan Fly dan anaknya satu sama lain.

Fly tersenyum ramah. Sambil menyodorkan telapak tangannya. Chihaya membalas jabatan tangan itu.

“Senyumnya mana, Chi?” Bu Nindy bertanya sembari menatap lekat.

Chihaya membalas senyuman Fly. Dia manis sekali.

___ ___ ___

“Terus, anak bu Nindy terlihat senang, nggak?” tanya Vio.

“Aku nggak paham juga, Vio. Dia tuh, kayak harus terlihat sempurna gitu loh. Dia kayak orang yang nggak boleh punya jalan sendiri. Karena apapun yang dikatakan mamanya harus dituruti.” Fly memperbaiki posisi bantalnya.

Malam ini hujan tidak turun. Sempat. Tapi hanya sesaat. Sekalipun awan tetap tidak memperlihatkan adanya bulan dan bintang-bintang.

“Bagus, dong. Berarti ia penurut.”

“Bukan itu masalahnya. Masalahnya, dia jadinya tertekan dan tidak bebas. Beberapa kali aku melihat wajahnya yang terpaksa ketika aku mengajarkannya materi agama.”

“Tapi ‘kan beragama itu memang dimulai dari keterpaksaan.”

“Dia juga punya batas waktu harian untuk memegang HP. Bayangin aja. Padahal, dia udah dua puluh lima tahun. Lebih tua dari kita, loh. Ternyata, kehidupan putri kerajaan seperti di film-film memang ada di kehidupan nyata. Semua serba berkecukupan. Tapi tidak dengan kebebasan melakukan apapun yang dia inginkan.”

“Itu juga bagus. Biar nggak kayak kamu yang beberapa bulan lalu aku anterin ke poli mata karena keseringan lihat layar HP sama laptop.”

“Iya, Vio, iya. Males banget cerita sama kamu. Udah, ah. Mending tidur.”

“Eh, jangan ngambek dulu, dong. Aku belum ngantuk. Nanti bosen kalau kamu tinggalin tidur gitu aja.”

“Biarin, aja. Kamu kira aku peduli?” ujar Fly sambil membelakangi Vio dan membenamkan tubuhnya pada selimut tebal.

“Aduh, beneran ngambek si pengagum rahasia Gentala.” Fly langsung membuka selimut yang membenamkan seluruh tubuhnya, lantas menatap tajam pada Vio.

Wajah kedua perempuan itu beradu. Satu dengan senyum puas, satu lagi dengan tatapan buas.

“Awas aja kalau sampai kesebar, berarti kamu tersangka utamanya,” ancam Fly.

“Iya, yang penting temenin aku ngobrol dulu, lah. Bosen banget kalau kamu tidur sekarang.”

Fly mendengus, namun sesaat terlihat senyuman bahagia. Cepat sekali suasana hatinya berubah berkat terlintas pikiran tentang Gen.

“Kamu tahu, nggak. Selain ngajar anak bu Nindy, aku ngapain juga?”

“Ngapain, tuh?”

“Bagi kelompok KKN.”

“Hah, serius? Seluruh angkatan kamu di semua jurusan?”

“Iya. Tapi syaratnya, aku nggak boleh milih teman kelompok yang satu kelas. Apalagi dengan Yui. Benar-benar larangan keras.”

Vio tersenyum miring. Ia sudah paham dengan apa yang telah dilakukan Fly. Tidak lain dan tidak bukan adalah membuat dirinya satu kelompok dengan Gen.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!