Bayu. Seorang mahasiswa berusia 20 tahun yang berkuliah di Universitas ternama yang ada di Indonesia meninggal setelah kejatuhan pohon besar yang tersambar petir saat dia pulang dari kerja paruh waktunya.
Dia kira dirinya sudah benar-benar mati. namun alangkah terkejutnya dirinya saat menyadari jika dia belum mati dan kembali terlahir di tubuh seorang bocah berusia 10 tahun yang namanya sama dengan dirinya yaitu Bayu. parahnya lagi dia terlempar sangat jauh di tahun 198. Anehnya Dia memiliki ingatannya di kehidupan sebelumnya di tahun 2025. berdasarkan ingatan Itu Bayu mulai menjalani kehidupan barunya dengan penuh semangat. jika di kehidupan sebelumnya dirinya sangat kesulitan mencari uang di kehidupan ini dia bersumpah akan berusaha menjadi orang kaya dan berdiri di puncak.
Hanya dengan menjadi kaya baru bisa berkecukupan!
Hanya dengan menjadi kaya batu bisa membeli apapun yang diinginkan!
Hanya dengan menjadi kaya aku bisa membahagiakan orang-orang yang aku sayangi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jin kazama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21. Tiba Di Kota Surabaya.
Bab 21. Tiba Di Kota Surabaya.
Waktu terus berjalan, detik demi detik terus terlewati. Saat ini, seorang bocah berusia 13 tahun duduk termenung di pojokan dekat jendela memikirkan masa depan dari esok yang entah seperti apa.
Bocah itu tidak lain adalah Bayu. Meskipun jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, akan tetapi anak itu sama sekali tidak bisa tidur. Sementara orang-orang di sekitarnya sudah tidur pulas, bahkan beberapa ada yang mendengkur.
Namun apa pun itu, dia sama sekali tidak menyesali perbuatannya. Dia merasa apa yang dia lakukan itu sudah benar. Dan lagipula, ini juga demi kakak tercintanya, Intan.
Dan yang terpenting, ini bukan hanya keinginan dirinya, akan tetapi juga keinginan Bayu asli, sang pemilik tubuh sebelumnya.
Bagaimana Bayu bisa berasumsi demikian? Itu karena ingatan pemilik sebelumnya, pemilik tubuh asli ini, sangat menyayangi kakaknya dan tidak ingin kakaknya terluka sedikit pun.
Dan kini, setelah Bayu asli meninggal dan digantikan dengan Bayu dari masa depan, dia berjanji akan menjaga dan melindungi keluarga barunya itu sebaik-baiknya.
Dan langkah yang ia ambil ini adalah langkah dalam rangka melindungi keluarganya.
Kereta terus melaju, hingga akhirnya pagi pun menjelang dan akhirnya kereta itu benar-benar berhenti Kota Surabaya. Atau lebih tepatnya di Stasiun Pasar Turi.
Begitu Bayu turun dari kereta api, dirinya langsung disambut oleh keramaian di sekitar stasiun Pasar Turi.
Meskipun masih pagi, namun suasananya sudah sangat ramai, penuh dengan hiruk pikuk dan kehidupan jalanan, bau khas rel kereta api bercampur dengan aroma gorengan panas dan kopi hitam dari warung di kiri stasiun menguar di udara, menemani suasana pagi yang penuh dengan rutinitas.
Di pinggiran trotoar, beberapa pedagang asongan tampak berseru menawarkan dagangannya, seperti rokok ketengan, permen, kacang rebus, hingga minuman kecil yang disusun dalam wadah kardus bekas.
Anak-anak kecil yang usianya sepantaran dengan bayu memakai tas plastik yang menggantung di leher mereka menyodorkan beberapa koran bekas berharap akan diberi upah dengan beberapa uang receh. Tidak jauh dari sana terdengar nyanyian-nyanyian subang dari pengaman jalanan.
Mereka sangat percaya diri dengan suaranya yang serak,
Menggenjreng gitar kecil dengan senar yang tinggal tiga helai, menyanyikan lagu Rhoma Irama yang mereka pelajari dari radio yang sering mereka dengar.
Ada juga yang memegang ecek-ecek. Itu adalah batang kayu tipis, sepanjang 25 cm, kemudian diberi empat paku dan dipasangi dengan kempyeng.
Kempyeng sendiri adalah tutup botol sprite dipasang di paku yang kemudian dikumpulkan sekitar lima sampai tujuh buah yang disusun tiga sampai empat baris, yang kemudian digepengkan dan tengahnya diberi lubang.
Apabila itu dipukul, maka akan mengeluarkan suara nyaring berbunyi "Ecek- ecek."
Sementara itu di tempat lain di sudut dekat tiang lampu sekelompok tukang ojek duduk bersandar di atas motornya mengenakan jaket lusuh, dan menghisap sebatang rokok dengan begitu nikmat, sambil menunggu calon penumpang begitu pintu kereta mulai terbuka.
Namun Di balik keramaian itu ada juga sekelompok orang yang bersantai-santai di dekat warung. Saat melihat itu bayi tersenyum kecil dengan cepat ia menyimpulkan jika itu adalah preman-preman kecil yang pada tahun 1980an seperti ini memang sering meminta uang pada anak-anak yang mengamen, mengemis, atau beberapa pedagang asongan dengan dalih meminta uang keamanan.
Wajah mereka terlihat galak dan garang bahkan sebagian ada yang bertato.
Menyaksikan itu semua, Bayu hanya terkekeh.
Pokoknya suasana pagi itu sangat hidup, dipenuhi dengan hiruk pukuk dan keramaian.
Tujuan Bayu saat ini adalah mencari Bank terdekat untuk menyimpan semua uangnya dan hanya menyisakan sekitar Rp20.000-30.000 saja. Membawa uang dalam jumlah besar pada tahun 1980-an bukanlah pilihan yang bijak.
Apalagi uangnya sebesar 1 juta rupiah.
Jika ini tahun 1980-an, dan bicara tentang kota Surabaya, maka bank yang paling aman adalah Bank Mandiri yang berlokasi di Jalan Dupak No. 1.
Jarak tempuhnya, jika berjalan dari stasiun Pasar Turi, juga tidak terlalu jauh, hanya sekitar 650 meter. Dengan berjalan kaki sekitar 7 hingga 10 menit, juga sudah sampai.
Ingatan Bayu di kehidupan sebelumnya sangat membantu kehidupannya di tahun ini. Tidak sia-sia ia banyak membaca buku dan punya hobi berpetualang ke berbagai tempat.
10 menit kemudian, akhirnya ia sampai di sebuah bangunan megah dengan tulisan Bank Mandiri yang dicetak dengan tebal, besar dan jelas.
Setelah menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan, Bayu pun mulai melangkah masuk menuju gedung tersebut. Begitu masuk ke dalam, aroma khas ruangan ber-AC dan perabot kayu mengisi inderanya.
Seorang pria dewasa dengan tubuh kekar dan berotot, sedikit mengerutkan kening, saat melihat jika ada seorang anak berusia sekitar 13 tahun yang berjalan sendirian menuju ke bang. Ia mengerutkan kening dengan sedikit keheranan yang melintas di matanya.
Melihat petugas itu, Bayu dengan sopan langsung menyapa.
"Assalamualaikum, selamat pagi pak. Saya mau membuka rekening."
Mendengar itu, petugas keamanan itu sedikit ragu-ragu sebelum akhirnya menjawab.
"Waalaikumsalam. Sendirian, Dek?"
"Hehehe, iya Pak. Orang tua saya sedang pergi ke luar negeri. Tadi, mereka pergi dengan mobil dan saya diturunkan di dekat bank ini. Saya dikasih uang saku untuk biaya hidup selama mereka pergi. Karena uangnya banyak, saya disuruh simpan di bank saja. Ini ada surat keterangan dari orang tua saya. Kalau Bapak mungkin ingin melihatnya.
Kemudian, Bayu mengeluarkan surat kecil yang ia siapkan di dalam satunya. Itu adalah surat palsu yang ia tulis sendiri. Inilah kelebihannya memiliki ingatan dari masa depan. Segala hal bisa ia lakukan dengan mudah di tahun 1980-an ini.
Setelah membaca sekilas, petugas keamanan itu mengangguk-angguk dengan ekspresi takjub di wajahnya.
"Wah! Anak orang kaya ternyata..." gumamnya. Lalu ia mengarahkan Bayu ke bagian customer service.
Setelah diantarkan ke customer service, di meja pelayanan ada seorang wanita paruh baya yang menyambutnya dengan ramah.
"Silahkan duduk, Dek. Mau buka rekening, ya? Namanya siapa?"
"Nama saya Bayu, Bu. Saya mau buka rekening tabungan biasa. Tapi kalau bisa, yang bisa saya ambil suatu waktu lewat buku tabungan. Bagaimana? Apakah itu bisa?"
"Bisa, sayang. Berapa jumlah setoran awalnya?" tanya wanita paruh baya itu dengan ramah, seolah Bayu yang ada di depannya adalah anaknya sendiri.
Bayu menunduk sebentar, mengambil uang dari tas lempangnya, kemudian mengeluarkan satu bendel uang tunai. Suara gesekan kertas langsung menarik perhatian orang-orang yang ada di sekitarnya, bahkan wanita. Paruh baya itu matanya terbelalak lebar tak percaya dengan apa yang ia lihat.
Setelah menghitung semua uang itu, suara wanita paruh baya itu bergetar.
"S-Satu juta rupiah."
Iya, Bu. Tapi... Yang ingin saya simpan sekitar Rp. 970.000 saja. Sisanya yang Rp. 30.000 mau saya simpan buat jajan dan keperluan sehari-hari. Seketika suasana meja pelayanan itu berubah, seorang supervisor mendekat tersenyum ramah dan duduk membantu proses pendaftaran.
Buku tabungan bayu diproses dengan cepat, ia bahkan ditawari produk deposito atau tabungan berjangka oleh petugas bank. Tapi Bayu yang berusia 13 tahun, yang sangat cerdas, menolaknya dengan halus, yang menjawab dengan sopan.
"Saya hanya butuh uang yang bisa ditarik sewaktu-waktu, Bu. Orang tua saya yang ada di luar negeri, pulangnya masih lama."
Mendengar itu, tugas Bank tidak kecewa sedikitpun. Dia hanya mengangguk, tanda memaklumi.
Kini, Bayu keluar dari Bank dengan ketenangan pikiran. Saat ini, di dalam dompetnya ada sekitar 3 lembar uang seribuan.
Langkahnya kembali menyusuri trotoar kota Surabaya yang ramai. Kini, dengan membawa sedikit uang, ia merasa jauh lebih aman. Dan kehidupan barunya di kota Surabaya pun dimulai.