NovelToon NovelToon
Adharma

Adharma

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Horror Thriller-Horror / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

Di Kota Sentral Raya, kejahatan bukan lagi bayangan yang bersembunyi—ia adalah penguasa. Polisi, aparat, hingga pemerintah berlutut pada satu orang: Wali Kota Sentral Raya, dalang di balik bisnis ilegal, korupsi, dan kekacauan yang membelenggu kota ini.

Namun, ada satu sosok yang tidak tunduk. Adharma—pria yang telah kehilangan segalanya. Orang tua, istri, dan anaknya dibantai tanpa belas kasihan oleh rezim korup demi mempertahankan kekuasaan. Dihantui rasa sakit dan dendam, ia kembali bukan sebagai korban, tetapi sebagai algojo.

Dengan dua cerulit berlumuran darah dan shotgun di punggungnya, Adharma tidak mengenal ampun. Setiap luka yang ia terima hanya membuatnya semakin kuat, mengubahnya menjadi monster yang bahkan kriminal pun takut sebut namanya.

Di balik topeng tengkorak yang menyembunyikan wajahnya, ia memiliki satu tujuan: Menumbangkan Damar Kusuma dan membakar sistem busuk yang telah merenggut segalanya darinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kehilangan Segala nya

Langit Kota Sentral Raya telah berubah gelap pekat ketika Darma mengendarai motornya menuju rumah orang tuanya. Jalanan terasa lengang, hanya sesekali diterangi oleh lampu jalan yang redup dan kendaraan yang melintas. Angin malam menerpa wajahnya, tetapi pikirannya hanya tertuju pada satu hal—keluarganya.

Ia membayangkan Dwi yang pasti sudah bermain hingga lelah, tertidur di pangkuan ibunya. Sinta mungkin sedang berbincang dengan orang tuanya, menikmati teh hangat seperti biasa. Pemandangan yang sederhana, namun begitu berarti bagi Darma.

Setelah menempuh perjalanan sekitar dua puluh menit, ia akhirnya sampai di depan rumah orang tuanya. Dari luar, lampu di ruang tamu masih menyala, tanda bahwa mereka belum tidur. Darma tersenyum kecil, merasa lega.

Namun, saat ia hendak mengetuk pintu, teriakan ketakutan tiba-tiba terdengar dari dalam rumah.

Darah Darma berdesir.

Itu suara Sinta.

Tanpa pikir panjang, ia langsung mendorong pintu dengan keras.

Darma menerjang masuk ke dalam rumah, napasnya memburu. Di dalam, pemandangan neraka menyambutnya.

Di tengah ruangan, Sinta berlutut dengan tangan terikat, wajahnya basah oleh air mata. Dwi Handayani, anak perempuannya yang masih kecil, gemetar di pelukan ibunya, matanya dipenuhi ketakutan yang tak seharusnya dirasakan oleh seorang anak.

Kedua orang tua Darma pun sama, terduduk lemah di sisi lain ruangan, tubuh mereka penuh luka lebam. Tiga pria berpakaian serba hitam berdiri mengelilingi mereka, masing-masing memegang senjata.

Darma ingin bergerak, ingin menerjang mereka—tapi laras pistol sudah diarahkan ke kepala Sinta.

“Jangan bergerak, atau kau akan menyaksikan mereka mati lebih cepat,” suara dingin salah satu pria menggema di ruangan.

Darma membeku. Seluruh tubuhnya bergetar oleh kemarahan dan ketakutan yang bercampur menjadi satu.

Sinta menatap Darma, air matanya mengalir deras. Bibirnya bergetar, mencoba mengatakan sesuatu. “Darma…” suaranya begitu lemah.

Tapi sebelum ia bisa melanjutkan, peluru pertama ditembakkan.

DOR!

Darma menyaksikan tubuh ayahnya terhuyung ke belakang, darah menyembur dari dahinya. Ia tak sempat mengeluarkan suara, hanya sebuah helaan napas terakhir sebelum tubuhnya ambruk ke lantai.

Darma merasakan jantungnya seperti berhenti berdetak.

“I-ayah…” suaranya tercekat.

Ibunya menjerit. Namun, suara jeritan itu hanya berlangsung sesaat sebelum pisau panjang menembus dadanya. Matanya membelalak, tangannya berusaha meraih sesuatu yang tak terlihat di udara, sebelum akhirnya tubuhnya terkulai, bersimbah darah.

“Sialan!!” Darma menggeram, tubuhnya gemetar penuh amarah.

Dwi menangis, wajahnya membenam di dada Sinta.

“Sabar, Pak. Masih ada dua lagi,” salah satu eksekutor terkekeh.

Darma merasakan dadanya seperti dihantam batu besar. Seluruh tubuhnya menegang saat pria bersenjata itu mengangkat pistolnya lagi—kali ini mengarah ke kepala Sinta.

Mata Sinta menatap Darma. Tidak ada lagi ketakutan di sana. Hanya kesedihan dan permintaan maaf.

“Jagalah Dwi…” bisiknya.

DOR!

Peluru menembus tengkoraknya.

Tubuh Sinta langsung lunglai ke belakang. Dwi menjerit.

“IBU!!!”

Darah mengalir deras, membasahi lantai tempat ia terduduk. Matanya masih terbuka, tapi nyawanya telah pergi.

Darma merasakan dunia runtuh di sekelilingnya. Otot-ototnya menegang, napasnya memburu. Air mata memanas di matanya, tapi kemarahan jauh lebih mendominasi.

Hanya Dwi yang tersisa.

Ia meronta di pelukan ibunya yang kini tak bernyawa. Wajahnya basah oleh air mata dan darah. “Ibu… bangun…” suaranya terdengar kecil dan putus asa.

Darma menguatkan diri. “Tolong… jangan… biarkan dia pergi… biarkan dia hidup…”

Para pembunuh itu hanya tertawa.

“Perintahnya jelas. Tak ada yang boleh tersisa.”

Pistol itu beralih ke Dwi.

“JANGAN!!!”

DOR!

Peluru menembus tubuh kecil itu.

Dwi terjatuh dari pangkuan ibunya. Tangannya yang mungil masih terangkat ke udara, seolah meminta perlindungan. Matanya kehilangan sinarnya.

Darma merasakan jiwanya hancur.

Kakinya lemas, tubuhnya jatuh berlutut. Seluruh keluarganya telah tiada.

Rumah yang selama ini penuh dengan tawa kini hanya dipenuhi dengan genangan darah dan bau mesiu.

Para pembunuh itu menatap Darma yang kini tak lagi bergerak. Salah satu dari mereka menyeringai.

“Sudah selesai. Tapi kurasa kita belum selesai dengan yang satu ini.”

Pistol itu kini diarahkan ke kepala Darma.

Gelap.

Pistol itu masih menempel di kening Darma. Jemari pembunuh itu sedikit menekan pelatuknya.

Darma tidak bergerak. Tidak ada lagi rasa takut di dalam dirinya. Jika ini adalah akhirnya, maka biarlah berakhir sekarang juga.

Namun—

Tidak ada letusan.

Sebaliknya, suara desingan ban di jalanan terdengar di luar rumah. Salah satu pria berpakaian hitam itu mendekat ke eksekutor utama dan berbisik, wajahnya tegang.

“Kita harus pergi. Sekarang.”

Eksekutor itu menatap Darma selama beberapa detik. Bibirnya melengkung ke atas, membentuk senyum merendahkan.

“Kau seharusnya ikut mati bersama mereka.”

Lalu, tanpa peringatan, mereka berlari keluar. Dalam hitungan detik, suara deru mesin mobil meraung, menghilang di kejauhan.

Darma tetap diam.

Ia tidak mengejar. Tidak berteriak. Tidak melakukan apa pun.

Hanya diam.

Seperti seseorang yang jiwanya telah menguap dari tubuhnya.

Sisa-Sisa Kehidupan yang Hilang

Rumah itu, yang sebelumnya penuh dengan suara tawa dan kehangatan, kini dipenuhi aroma mesiu, darah, dan kematian.

Darma perlahan berjalan ke tengah ruangan. Langkahnya berat, seolah ada rantai besi yang menahannya.

Matanya jatuh pada tubuh ayahnya. Pria tua itu tergeletak dengan mata terbuka, tatapannya kosong menatap langit-langit. Di dahinya, lubang peluru menganga, darah merembes di ubin rumah mereka yang dulu bersih.

Lalu ibunya. Tertelungkup dengan luka menganga di dadanya. Bibirnya sedikit terbuka, seperti ingin mengatakan sesuatu yang tak pernah sempat terucap.

Sinta... istrinya...

Darah masih menetes dari luka di kepalanya. Wajah yang selama ini selalu tersenyum padanya kini membeku dalam ketakutan terakhirnya. Rambutnya yang dulu lembut kini kusut dan basah oleh darahnya sendiri.

Tapi yang paling menghancurkan Darma adalah Dwi.

Anak kecil itu terbaring dengan mata setengah terbuka. Tangannya yang mungil terulur, seakan ingin meraih sesuatu yang tidak akan pernah datang.

Ia masih mengenakan baju tidurnya yang bergambar tokoh kartun kesayangannya. Piyama yang seharusnya bersih itu kini bernoda darah.

Darma berlutut di samping tubuh putrinya. Tangannya gemetar saat ia menyentuh pipi kecil itu—yang kini dingin seperti es.

Ia tidak bisa menangis. Matanya terasa kering.

Kenyataan belum sepenuhnya masuk ke dalam pikirannya.

Ini tidak nyata.

Pasti hanya mimpi buruk.

Ia ingin bangun.

Ia ingin mendengar suara tawa Dwi lagi.

Ia ingin mendengar Sinta memarahinya karena lupa menaruh handuk di tempatnya.

Ia ingin mencium tangan ibunya sebelum berangkat kerja.

Ia ingin melihat ayahnya duduk di kursi tua di teras rumah, membaca koran seperti biasa.

Tapi tidak ada lagi suara. Tidak ada lagi tawa. Tidak ada lagi kehidupan di dalam rumah ini.

Hanya dirinya yang tersisa.

Darma menunduk, meraih tubuh kecil Dwi, mendekapnya erat di dadanya.

Tubuh mungil itu terasa begitu ringan, begitu rapuh.

Dalam pelukannya, ia bisa mencium bau samar sampo anak-anak yang biasa dipakai Dwi—tercampur dengan bau anyir darah.

Dan saat itulah—

Tangisnya pecah.

Ia meraung.

Suara kesedihan, keputusasaan, dan kemarahan membuncah keluar dari dadanya.

Ia mengguncang tubuh Dwi dengan lembut, seakan berharap anaknya akan membuka mata dan berkata, “Ayah, aku hanya bercanda.”

Tapi Dwi tidak akan pernah membuka matanya lagi.

Tangannya terangkat ke kepala, mencengkram rambutnya sendiri, tubuhnya bergetar hebat.

Mengapa mereka?

Mengapa bukan dirinya saja?

Darma menghantam lantai dengan tinjunya. Sekali. Dua kali.

Darah mulai keluar dari buku-buku jarinya, tapi ia tidak peduli.

Ia menatap ke langit-langit dengan mata memerah, berteriak dengan suara yang merobek udara malam.

Jeritan seorang pria yang kehilangan segalanya.

Darma masih berlutut di lantai yang dingin. Tangannya gemetar saat mengusap pipi putrinya yang mulai pucat. Suara raungannya sudah mereda, berganti dengan isakan lemah yang nyaris tanpa suara.

Lalu, matanya jatuh pada sebuah kantong plastik yang tergeletak di lantai, tak jauh dari tubuh Sinta. Kantong itu robek, sebagian isinya terjatuh ke lantai.

Boneka superhero.

Sebuah boneka yang baru ia beli untuk Dwi tadi sore. Boneka itu masih dalam keadaan baru, dengan warna-warna cerah yang tampak kontras dengan genangan darah di sekitarnya.

Darma meraih boneka itu dengan tangan bergetar. Ia memeluknya erat.

Kemudian, matanya beralih ke benda lain yang terjatuh di dekat tangan Sinta—liontin perak yang baru saja ia beli untuk istrinya.

Ia mengulurkan tangan, mengambil liontin itu dengan hati-hati. Ketika ia membukanya, ada sepasang foto kecil di dalamnya—satu foto dirinya, dan satu lagi foto Sinta.

Liontin itu seharusnya menjadi hadiah kecil untuk menunjukkan betapa ia mencintai istrinya.

Dan boneka itu seharusnya membuat Dwi tersenyum bahagia saat menerimanya.

Tapi sekarang... dua hadiah itu hanya menjadi simbol kejam dari apa yang telah hilang darinya.

Darma mencengkeram liontin itu dengan erat, bahunya bergetar hebat. Ia menekan boneka itu ke dadanya, mencoba menahan kesedihan yang semakin dalam menusuk jiwanya.

Air matanya jatuh semakin deras.

Suara sirene akhirnya terdengar di kejauhan.

Lampu-lampu merah dan biru berkedip-kedip di luar jendela. Polisi datang.

Beberapa petugas masuk dengan tergesa-gesa, langsung menodongkan senjata mereka.

Tapi yang mereka temukan hanyalah seorang pria yang tersungkur di tengah genangan darah, memeluk boneka superhero dan liontin perak, tenggelam dalam kesedihan yang tak bisa diukur dengan kata-kata.

Seorang polisi perlahan mendekat, sebelum akhirnya berbicara dengan suara pelan.

“Pak… kami harus membawa mereka…”

Darma tidak menjawab. Ia bahkan tidak bergerak.

Saat petugas mulai mengevakuasi mayat keluarganya, Darma hanya duduk di sana—menyaksikan, tanpa bisa berbuat apa-apa.

Ia kehilangan segalanya.

1
NBU NOVEL
jadi baper ya wkwkwkk
Xratala
keluarga Cemara ini mah /Smirk/
NBU NOVEL: wkwkwkwk versi dark ny
NBU NOVEL: wkwkwkwk versi dark ny
total 3 replies
Xratala
waduh ngena banget /Chuckle/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!