NovelToon NovelToon
Tumbal Rahim Ibu

Tumbal Rahim Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Lari Saat Hamil / Kumpulan Cerita Horror / Rumahhantu / Matabatin / Iblis
Popularitas:549
Nilai: 5
Nama Author: Mrs. Fmz

​"Ibu bilang, anak adalah permata. Tapi di rumah ini, anak adalah mata uang."
​Kirana mengira pulang ke rumah Ibu adalah jalan keluar dari kebangkrutan suaminya. Ia membayangkan persalinan tenang di desa yang asri, dibantu oleh ibunya sendiri yang seorang bidan terpandang. Namun, kedamaian itu hanyalah topeng.
​Di balik senyum Ibu yang tak pernah menua, tersembunyi perjanjian gelap yang menuntut bayaran mahal. Setiap malam Jumat Kliwon, Kirana dipaksa meminum jamu berbau anyir. Perutnya kian membesar, namun bukan hanya bayi yang tumbuh di sana, melainkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lapar.
​Ketika suami Kirana mendadak pergi tanpa kabar dan pintu-pintu rumah mulai terkunci dari luar, Kirana sadar. Ia tidak dipanggil pulang untuk diselamatkan. Ia dipanggil pulang untuk dikorbankan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2: Gapura Desa yang Tak Menyambut

Kirana mencengkeram kunci emas dan foto janinnya. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena beban kehamilan yang kini mulai terasa di perutnya, melainkan karena kebenaran pahit yang menusuk dingin seperti es yang mencair di dada. Ia menahan napas, menyembunyikan tangannya di balik tas jinjing kulit yang dulu diberikan Dimas sebagai hadiah ulang tahun sekarang terlihat seperti rantai yang mengikatnya. Di luar mobil, suara Dimas membanting bagasi terdengar keras di tengah keheningan hutan, menandakan ban telah selesai diganti. Terlalu cepat dan terlalu mudah, pikir Kirana sambil menatap bayangan pepohonan yang bergoyang di luar jendela. Seolah olah kerusakan itu sengaja ditempatkan untuk menghentikan mereka di tempat yang tepat.

Dimas masuk ke mobil tanpa mengucapkan sepatah kata pun, mengabaikan Kirana sepenuhnya seolah ia tidak ada di sana. Ia menyalakan mesin; suara mesin yang berdecak terdengar kasar di dalam kabin yang sempit. Cahaya senter ponsel Kirana yang ia gunakan untuk melihat foto tadi tiba tiba mati, meninggalkan mereka dalam kegelapan total hanya diterangi oleh lampu utama mobil yang kuning kusam, memproyeksikan bayangan panjang yang seperti tangan menjulur di jalan tanah berlubang.

"Sudah beres," kata Dimas dengan nada datar, tidak menoleh ke arah Kirana, tidak menanyakan kabar kondisinya atau meminta maaf karena meninggalkannya sendirian di dalam mobil saat mengganti ban. Matanya terpaku pada jalan yang tak terlihat jelas di depan.

Kirana menelan ludah dengan susah payah, kini melihat sosok lelaki di sebelahnya bukan sebagai suami yang pernah mencintainya, melainkan sebagai pengkhianat yang telah merencanakan segalanya dari awal, kaki tangan yang taat pada sesuatu yang lebih mengerikan. Ia menarik napas perlahan, menanggapi dengan nada yang penuh subteks. "Cepat sekali, Mas. Tidak ada masalah lain kan? Padahal jalanan di sini sudah sangat rusak, banyak batu besar dan lubang dalam. Biasa saja ban bisa pecah begitu saja?"

Dimas tidak langsung menjawab. Ia mengerem mobil sebentar saat melewati tikungan tajam, rahangnya mengeras hingga tulang rahangnya terlihat jelas di bawah kulitnya. "Tidak ada. Cuma paku kecil yang menancap di ban belakang." Kata katanya terdengar seperti dipotong dengan pisau benar benar bohong, dan Kirana tahu itu. Saat ban diganti, ia melihat jelas bahwa lubang di ban bukan dari paku, melainkan dari sobekan yang rapi seperti dibuat dengan alat tajam.

Mobil bergerak maju lagi, perlahan lahan meninggalkan area hutan yang lembap dan penuh dengan bau dedaunan membusuk. Dalam hitungan menit, jalan mulai melurus dan mereka melihat struktur batu bata tua yang membelah jalan Gapura Desa yang sudah tak terawat, dengan tulisan besar di atasnya yang sebagian sudah pudar: Desa Wening Asri. Gapura itu tampak seperti mulut raksasa yang siap menelan mereka seluruhnya, batu bata di sisinya penuh dengan lumut hijau dan bekas goresan yang tak jelas asalnya.

Kirana menahan napas saat mobil melaju melewati gapura itu. Udara di luar seharusnya terasa lebih bebas setelah keluar dari hutan lebat, tetapi yang ia rasakan justru sebaliknya. Sebuah lapisan dingin tak kasatmata seolah menutupi seluruh tubuhnya, menekan dada hingga sulit bernapas. Udara di desa itu memang jauh lebih berat daripada kabut tebal yang menyelimuti hutan tadi bau tanah basah, jerami kering, dan sesuatu yang lain yang tidak bisa ia definisikan: seperti bau dupa tua yang terlalu banyak dibakar.

Mereka mulai melewati pemukiman yang tersebar di sepanjang jalan. Di kota tempat mereka tinggal bersama, Kirana akan melihat lampu lampu yang menyala di teras rumah rumah, anak anak yang masih bermain dengan sepeda atau bola, atau setidaknya suara televisi yang terdengar dari dalam rumah. Di sini, yang ada hanya kesunyian yang menusuk telinga. Rumah rumah kayu dan bambu yang tertutup rapat, sebagian dengan atap genteng yang retak, hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang redup dan beberapa lampu minyak yang menggigil di depan pintu rumah. Tidak ada suara anak anak bermain, tidak ada suara percakapan tetangga hanya suara mesin mobil yang berdecak dan langkah kaki seekor ayam yang tiba tiba melintas di jalan.

"Ini sepi sekali, Mas. Tidak ada warga sama sekali yang keluar di luar?" tanya Kirana dengan suara yang berusaha terdengar santai, padahal hatinya sudah mulai berdebar lebih cepat lagi. Ia sedang memverifikasi rasa takut yang menggelegak di dalam dirinya apakah kesunyian ini memang biasa, atau ada sesuatu yang salah dengan desa ini.

Dimas mengangkat bahu dengan cuek. "Sudah malam, Ran. Jam sembilan lebih kan? Mereka semua beristirahat sejak jam delapan. Desa tua memang seperti ini tidak seperti kota yang selalu ramai." Namun Kirana melihat matanya melirik ke belakang sebentar, seolah olah khawatir ada yang mengikuti mereka.

Saat mobil melaju lebih perlahan karena jalan yang semakin tidak rata, Kirana melihat satu dua pasang mata yang mengintip dari balik tirai tipis jendela rumah rumah. Wajah wajah yang terlihat di balik kain tirai itu kebanyakan wajah tua kulit keriput seperti kulit kayu tua, bibir menutup rapat, dan mata mereka memandang mobil dengan tatapan yang menusuk. Bukan rasa ingin tahu khas tetangga yang melihat kedatangan orang baru, melainkan ada kegetiran yang jelas di dalam mata mereka, rasa takut yang membuat pundak mereka menyusut, dan yang paling mengganggu Kirana: tatapan kasihan yang seolah mereka tahu apa yang akan terjadi padanya.

"Mereka kenapa melihat kita seperti itu?" Kirana berbisik, suara tubuhnya sedikit menggigil. Ia meraih tali tas jinjingnya lebih erat, menyadari bahwa kunci emas di dalam tasnya terlihat semakin berat.

"Mereka menghormati Ibuku," potong Dimas dengan cepat, nadanya menjadi tajam dan tegas. Ia menekan pedal gas sedikit lebih dalam, seolah ingin segera melewati pemukiman itu. "Ibuku adalah orang yang paling dihormati di desa ini. Semua orang menghormati dan juga menghargainya. Jangan terlalu banyak bertanya, Ran." Kata katanya terdengar seperti peringatan, dan Kirana tahu bahwa percakapan tentang warga desa sudah tidak akan bisa dilanjutkan lagi.

Mobil berbelok di tikungan besar yang dilengkapi dengan patung naga kayu yang sudah retak di beberapa bagian. Di depan mereka, tampaklah rumah joglo kuno milik Ibunda Dimas Rumah Wulandari. Rumah itu berdiri gagah di tengah lahan luas, dengan ukiran kayu tua yang megah di tiang dan pintu masuknya, motif bunga dan burung yang masih terlihat jelas meskipun sudah berusia puluhan tahun. Kondisi rumah yang terawat dengan baik kontras mencolok dengan mobil butut yang mereka kendarai, yang bahkan harus berhenti sebentar di depan gerbang karena pintu pagar kayu besar harus dibuka secara manual. Halaman rumah terang benderang oleh puluhan lampu pijar yang digantung di tiang tiang kayu dan pepohonan, cahaya kuningnya menyebar ke segala arah seolah menyambut mereka dengan kemewahan palsu seolah tidak ada yang salah dengan kedatangan mereka di tengah malam yang sunyi.

Kirana merasakan dingin yang semakin menusuk hingga ke tulang tulangnya, ia meremas kunci emas di saku bagian dalam tasnya hingga ujungnya menusuk kulit tangannya. Tatapan kasihan dari warga desa, keheningan yang mematikan yang hanya terputus oleh nyanyian kadal di semak semak, dan penemuan foto janin lain yang ia temukan di dalam dasbor mobil tadi semua potongan puzzle yang sebelumnya terlihat acak acakan kini telah menyatu menjadi satu kesimpulan mengerikan yang membuatnya merasa ingin muntah.

Ia tidak lagi memiliki suami. Pria yang sekarang mengemudi di sebelahnya bukan lagi Dimas yang pernah mencintainya, bukan lagi orang yang bersumpah akan melindunginya dan anak mereka. Ia juga tidak pulang ke rumah seperti yang dijanjikan Dimas. Yang ada hanyalah kenyataan pahit bahwa ia telah tiba di tujuan pengiriman yang sudah direncanakan jauh jauh hari.

Meskipun rumah joglo yang megah sudah jelas terlihat di depan mata, dengan pintu utama yang terbuka lebar seolah menyambut kedatangannya, Kirana merasakan kengerian yang dalam merambat dari ujung kaki hingga kepalanya. Ia semakin dekat dengan Ibunda Dimas yang belum pernah ia temui sebelumnya, tetapi dengan setiap langkah mobil yang semakin mendekat ke rumah itu, ia merasa semakin jauh dari keselamatan dan semakin dekat dengan bahaya yang tidak bisa ia bayangkan sebelumnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!