"Aku ingin menikah denganmu, Naura."
"Gus bercanda?"
***
"Maafin kakak, Naura. Aku mencintai Mas Atheef. Aku sayang sama kamu meskipun kamu adik tiriku. Tapi aku gak bisa kalau aku harus melihat kalian menikah."
***
Ameera menjebak, Naura agar ia tampak buruk di mata Atheef. Rencananya berhasil, dan Atheef menikahi Ameera meskipun Ameera tau bahwa Atheef tidak bisa melupakan Naura.
Ameera terus dilanda perasaan bersalah hingga akhirnya ia kecelakaan dan meminta Atheef untuk menikahi Naura.
Naura terpaksa menerima karna bayi yang baru saja dilahirkan Ameera tidak ingin lepas dari Naura. Bagaimana jadinya kisah mereka? Naura terpaksa menerima karena begitu banyak tekanan dan juga ia menyayangi keponakannya meskipun itu dari kakak tirinya yang pernah menjebaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fega Meilyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masa Lalu Laras
Semakin hari, hubungan Rania dan Laras kian dekat. Laras menyayangi Rania layaknya adik kandungnya sendiri—begitu pula sebaliknya. Ameera pun tumbuh sangat dekat dengan Rania. Mereka kerap bepergian bersama, tertawa bersama, seolah telah lama menjadi satu keluarga.
Namun tidak demikian dengan Bani.
Sikap Bani yang dingin dan penuh batas membuat Laras selalu menjaga jarak. Ia sungkan, berhati-hati dalam bersikap. Padahal, Laras tahu—dan Rania pun sering mengatakannya—Bani sebenarnya pribadi yang hangat. Hanya saja, kehangatan itu hanya ia tunjukkan pada orang-orang yang benar-benar ia anggap keluarga dan ia sayangi.
Karena kedekatannya dengan Rania, Laras akhirnya membuka lembaran hidupnya yang selama ini tersimpan rapat. Tentang masa lalu. Tentang pernikahan yang kandas.
Awalnya Rania tidak ingin tahu. Ia merasa itu bukan ranahnya. Namun Laras sendiri yang meyakinkan bahwa ia telah berdamai dengan masa lalunya—dengan luka dan rasa sakit yang pernah ia lalui.
“Mbak yakin mau cerita?” tanya Rania hati-hati.
“Yakin, Ran,” jawab Laras lembut. “Kamu sudah terlalu baik sama aku. Aku percaya sama kamu. Aku tahu, kamu pasti bertanya-tanya dalam hati, tapi kamu cukup dewasa untuk tidak menanyakannya secara langsung. Buat aku, itu lebih dari cukup.”
Rania tersenyum kecil. “Ketara banget ya, Mbak?”
Laras terkekeh pelan. “Enggak, kok. Tapi aku paham… karena aku menempatkan diriku seandainya aku ada di posisimu.”
Akhirnya, Laras pun mulai bercerita.
***
Tujuh tahun lalu…
Saat itu Laras bekerja di sebuah perusahaan kecil di daerah Jawa sebagai staf administrasi. Hidupnya berjalan monoton—berangkat kerja pagi, pulang sore, lalu mengulang rutinitas yang sama keesokan harinya.
Hingga suatu hari, ia dipercaya menjadi sekretaris pendiri perusahaan tersebut. Meski tergolong perusahaan kecil, ternyata itu hanyalah cabang dari perusahaan besar yang berpusat di Jakarta.
Laras menerima amanah itu dengan sungguh-sungguh. Dalam benaknya, ia membayangkan bosnya adalah pria paruh baya—hampir kepala lima—seperti kebanyakan pimpinan perusahaan.
Namun dugaan itu salah. Bos lama pensiun, dan posisinya digantikan oleh orang baru.
Laras penasaran. Siapa sebenarnya pimpinan baru mereka? Ia hanya berharap satu hal: semoga kinerjanya diterima dengan baik dan ia bisa bekerja dengan nyaman.
Hari itu, kabar kedatangan bos baru membuat kantor sedikit gaduh. Menurut desas-desus, bos baru mereka masih muda dan belum memiliki pasangan. Para karyawan berbaris menyambut kedatangannya. Laras berdiri di depan, memegang buket bunga—simbolis penyambutan yang menjadi tugasnya.
Mobil hitam berhenti tepat di depan kantor.
Seorang pria turun dari dalamnya. Mengenakan jas hitam rapi dengan kemeja putih di dalam. Posturnya tegap, wajahnya tegas—dan tak bisa dimungkiri—tampan.
Dialah bos baru mereka.
“Selamat datang, Pak,” ucap para karyawan serempak.
Laras maju selangkah, menyerahkan bunga yang ia pegang. “Selamat datang, Pak. Semoga Bapak cocok dengan ruangannya.”
“Terima kasih atas sambutannya,” jawab pria itu tenang. “Saya Rendra. Mulai hari ini, saya menggantikan Pak Budi untuk memimpin perusahaan ini. Silakan kembali bekerja.”
Tanpa basa-basi, Rendra langsung masuk ke ruangannya.
Tak lama kemudian, Laras dipanggil masuk.
“Ada apa ya, Pak?” tanyanya sopan.
“Kamu sekretaris di sini?”
“Iya, Pak.”
“Baik. Kerjakan tugasmu dengan baik. Saya tidak ingin ada keterlambatan, dan saya tidak mentolerir kesalahan.”
“Baik, Pak.”
Laras keluar dari ruangan dengan hembusan napas lega. Bos barunya jauh dari kata ramah—tegas, dingin, dan sangat profesional.
***
Hari demi hari berlalu. Laras dan Rendra sering bertemu klien, turun ke lapangan, dan mengurus berbagai proyek bersama. Rendra menilai Laras sebagai sekretaris yang cekatan dan sigap.
Suatu hari, mereka terlalu fokus bekerja hingga lupa waktu. Jam makan siang terlewati tanpa disadari. Laras, yang memiliki riwayat maag, mulai merasa mual dan lemas.
Rendra menyadari perubahan itu.
“Kamu kenapa?” tanyanya.
“Gapap Pak,” jawab Laras menahan.
“Kamu sakit? Wajah kamu pucat.”
“Maaf, Pak… sepertinya maag saya kambuh.”
Rendra melirik jam di pergelangan tangannya. Ia terkejut.
“Ya ampun, sudah lewat jam makan siang. Maaf, saya terlalu banyak memberi kamu pekerjaan.” Ia berdiri. “Biar saya pesan makan dulu.”
“Jangan, Pak,” Laras buru-buru menolak. “Saya nggak mau merepotkan.”
“Tidak apa-apa,” jawab Rendra singkat. “Saya juga belum makan.”
Dan dari momen kecil itulah, tanpa mereka sadari, batas profesional itu perlahan mulai retak.
Saat makanan sampai, mereka berdua berada dalam ruangan yang sama, makan bersama dan masih mengerjakan beberapa proyek yang harus diselesaikan sesegera mungkin, karena proyek tersebut dapat menguntungkan perusahaan cabang mereka.
"Terimakasih Pak atas makanannya, maaf saya merepotkan."
"Memang..." Jawabnya dingin tapi itu hanya sebuah candaan bagi Rendra.
"Lain kali, saya janji tidak akan seperti ini lagi, Pak."
"Tapi saya tidak suka seperti itu."
Laras mengerutkan dahinya. "Maksudnya, Pak?"
Rendra bersandar pada kursi kerjanya. "Saya senang jika ada karyawan yang sungguh giat bekerja dan cepat menyelesaikan pekerjaan mereka dengan baik. Tapi saya tidak ingin, karena alasan pekerjaan mereka sampai melupakan kesehatan mereka sendiri. Saya memang bos disini, tapi saya tidak sejahat itu membiarkan karyawan-karyawan saya sampai sakit. Karena kalau sudah sakit, pasti semua pekerjaan akan banyak yang tertunda."
"Saya pikir bapak-"
"Apa? Pasti kalian berpikir bahwa saya adalah bos yang suka menekan para karyawan?"
Laras mengangguk ragu. "Pikiran kamu yang salah berati."
"Sudah lebih baik kita lanjut bekerja, kamu masih mual tidak?"
"Gak Pak, saya sudah lebih baik."
"Bagus."
Mereka pun kembali fokus.
***
Sejak hari itu, Rendra mulai lebih memperhatikan Laras.
Bukan perhatian yang mencolok, bukan pula yang melewati batas. Hanya hal-hal kecil—namun cukup membuat Laras menyadarinya.
Jika pekerjaan menumpuk hingga larut, Rendra akan memastikan Laras sudah makan. Jika jadwal padat ke luar kota, Rendra tak lupa menanyakan kondisi kesehatannya.
Jika Laras terlihat lelah, Rendra akan berkata singkat, “Istirahat lima menit.”
Awalnya Laras menganggap semua itu murni profesional. Ia tetap menjaga jarak, menjaga sikap, dan mengingatkan dirinya bahwa Rendra adalah atasannya.
Namun perasaan tak selalu bisa diatur dengan logika.
Suatu sore, hujan turun deras saat mereka baru saja selesai bertemu klien. Mobil terjebak macet. Suasana di dalam mobil sunyi, hanya suara hujan yang memukul kaca.
“Kamu dari mana asalnya?” tanya Rendra tiba-tiba, memecah keheningan.
“Dari Jawa Timur, Pak.”
“Orang tua masih lengkap?”
Laras mengangguk. “Masih, Pak. Mereka tinggal di desa.”
Rendra mengangguk pelan. “Kamu anak yang bertanggung jawab.”
Kalimat itu sederhana. Namun entah mengapa, dada Laras terasa hangat. Sejak saat itu, percakapan mereka tak lagi sebatas laporan kerja. Mereka mulai saling mengenal—pelan, hati-hati.
Rendra tahu Laras menyukai teh hangat ketimbang kopi.
Laras tahu Rendra tak suka makanan terlalu pedas.
Rendra tahu Laras mudah lelah jika telat makan.
Laras tahu Rendra sering bekerja terlalu keras hingga lupa dirinya sendiri.
Suatu malam, mereka kembali lembur. Lampu kantor sudah banyak yang mati. Laras menutup map terakhir, lalu menoleh.
“Pak… kantor sudah sepi.”
Rendra menatap jam. “Iya. Pulang saja. Besok kita lanjut.”
Saat berjalan keluar, Laras tiba-tiba berhenti. Kepalanya terasa ringan.
“Kamu kenapa?” Rendra sigap menopangnya.
“Sedikit pusing, Pak.”
Rendra menghela napas pelan. “Lain kali bilang. Jangan dipaksakan.”
Nada suaranya tegas, namun penuh perhatian.
Saat itu, Laras menyadari satu hal: ia tidak lagi merasa aman hanya karena Rendra adalah atasannya—melainkan karena kehadirannya.
Dan perasaan itu membuatnya takut.
Ia mulai menjaga jarak. Lebih pendiam. Lebih berhati-hati.
Rendra menyadarinya.
“Kamu menghindar?” tanyanya suatu pagi.
Laras terdiam sejenak. “Saya hanya ingin profesional, Pak.”
Rendra menatapnya lama. Tidak marah. Tidak tersinggung.
“Saya mengerti,” katanya pelan. “saya juga.”
Namun sejak hari itu, justru jarak itu membuat keduanya semakin menyadari, ada sesuatu yang tak lagi bisa mereka sebut sekadar hubungan kerja.
Benih itu tumbuh diam-diam. Tanpa janji. Tanpa pengakuan.
Hanya rasa yang semakin sulit diabaikan.
***
Rendra baru menyadari kekagumannya pada Laras bukan saat mereka berbincang lama, bukan pula ketika Laras tersenyum. Justru di momen-momen sunyi, saat Laras mengira tak ada yang memperhatikan.
Pagi itu, rapat berlangsung cukup tegang. Beberapa klien tampak keberatan dengan skema kerja sama yang diajukan. Laras duduk di sisi Rendra, mencatat dengan rapi, sesekali menyodorkan data yang dibutuhkan.
“Data kontrak tahun lalu,” bisik Laras pelan.
Rendra menerimanya tanpa menoleh, namun sudut matanya menangkap ketenangan di wajah Laras. Tak ada gugup, tak ada panik. Hanya fokus.
Ketika salah satu klien mulai meninggikan suara, Laras tetap tenang. Tangannya bergerak cepat, menyiapkan dokumen, lalu berbisik lagi.
“Pak, pasal ini bisa jadi solusi.”
Rendra membaca cepat, lalu mengangguk. "Baik,” ucapnya mantap pada klien. “Kita pakai opsi ini.”
Rapat berakhir dengan hasil baik.
Saat klien keluar, Rendra masih duduk diam. Ia menatap meja rapat, seolah mencerna sesuatu yang bukan tentang bisnis.
“Kamu menangani situasi tadi dengan sangat baik,” katanya akhirnya.
Laras terkejut. “Terima kasih, Pak. Itu memang tugas saya.”
Rendra menggeleng pelan. “Bukan hanya tugas. Kamu berpikir cepat, tetap tenang, dan tidak ikut terbawa emosi. Tidak semua orang bisa seperti itu.”
Laras tersenyum tipis. “Saya hanya tidak ingin membuat Bapak kerepotan.”
Kalimat itu membuat Rendra terdiam.
Bukan karena kalimatnya istimewa, tapi karena ketulusan di baliknya.
Sore itu, hujan turun deras. Banyak karyawan sudah pulang. Laras masih di mejanya, merapikan berkas.
“Kamu belum pulang?” tanya Rendra yang keluar dari ruangannya.
“Sebentar lagi, Pak. Ini tinggal sedikit.”
Rendra berdiri beberapa langkah dari meja Laras. Ia memperhatikan caranya bekerja—rapi, tenang, tidak terburu-buru. Ada keteguhan yang sulit dijelaskan.
“Laras,” panggilnya tiba-tiba.
“Iya, Pak?”
“Kamu tahu kenapa aku memilih kamu jadi sekretarisku?”
Laras menggeleng.
“Bukan karena kamu paling rapi atau paling patuh,” lanjut Rendra. “Tapi karena kamu punya integritas. Kamu tidak banyak bicara, tapi selalu bisa diandalkan.”
Laras menunduk. Dadanya terasa hangat. “Terima kasih, Pak.”
Rendra hampir mengatakan sesuatu yang lain. Hampir.
Namun ia menahannya.
Karena saat itu, ia sadar—kekaguman ini bukan lagi sekadar penilaian profesional. Dan untuk pertama kalinya, Rendra takut pada perasaannya sendiri.