Apa dasar dalam ikatan seperti kita?
Apa itu cinta? Keterpaksaan?
Kamu punya cinta, katakan.
Aku punya cinta, itu benar.
Nyatanya kita memang saling di rasa itu.
Tapi kebenarannya, ‘saling’ itu adalah sebuah pengorbanan besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episot 6
“Hey, Tuan Muda Manggala yang tampan kayak aktor Korea tapi dodolnya kebanyakan." Pundak Kavi ditepuk Arjuna berulang kali. "Satu taun itu panjang. Segala sesuatu bisa berubah di rentang waktu itu. Pertemuan kalian aja intens, di rumah trus di kantor juga. Lu bisa aja jatuh cinta sama dia, 'kan, Bodoh?!"
Kavi memutar bola matanya, lalu menjawab, “Gak akan!” Lalu berdiri untuk meraih botol air mineral di sebuah tempat. “Lu bisa pegang kata-kata gua.”
Arjuna menatap wajah lelaki itu, menilai sebentar, lalu terkekeh kecil. “Yakin lu?”
Setelah meneguk setengah volume air minumnya, dia menjawab, “Gua siap kehilangan leher kalo ampe gua sesat jatuh cinta sama dia.”
Arjuna berdecih sembari membuang wajah dengan senyuman skeptis.
“Ngapa lu?" Kavi meliriknya, ingin tahu makna senyuman itu.
Setelah berpikir, Jun berkata, "Oke, gua pegang kata-kata lu! Siapin aja samurai bokap, buat gorok leher lu sendiri nanti."
“Ban9ke!”
Melupakan duduk nyamannya, Arjuna berdiri.
“Mau kemana lu?” tanya Kavi. Melihat senyuman si keparat yang rada aneh, dia jadi curiga. “Jangan bilang lu--”
“Hehe! ... Do'i kan mau lu buang. Jadi gua sebagai pria miskin dengan penglihatan dan jiwa yang masih sehat, siap kapan pun nampung emas yang dibuang Kavi Manggala. Sekarang gua mau pedekate dulu.”
“WOY, BAJINGAN!”
Arjuna mencelat kabur keluar ruang.
Kavi berkacak pinggang tak habis pikir dengan cara teman sintingnya itu mengambil sikap. “Sialan itu.”
Beberapa saat kemudian ....
Pemandangan halaman belakang itu cukup mengusik, di mana memperlihatkan sesuatu yang menggelikan, Kavi menatap kesal melalui kaca di ketinggian lantai dua kamarnya dalam keadaan masih berkimono handuk.
Si keparat Arjuna tengah asyik mengobral godaan receh, bersama Puja Anugerah dan bunga-bunga yang sedang dirapikan wanita itu. Terlihat mereka sangat akrab mengobrol, bahkan sampai tertawa-tawa.
"Jun sialan!" umpat Kavi. “Si baskom juga ... murahan banget, gampang akrab sama laki-laki. Cewek gitu baek dari mananya? Mama Papa beneran uda kena gendam.”
Keras kepala menyatakan sedikit pun tak suka Puja, tapi dia juga bukan seorang g4y yang benci melihat Jun dengan wanita lain. Lalu apa yang membuatnya kesal?
Kekesalannya semakin menjadi ketika dua orang itu tak canggung bercanda seperti sudah saling mengenal bertahun-tahun.
"Cewek sakit!" sungutnya lagi. Segelas jus diteguk dengan kasar hingga meluber keluar dari mulutnya, kemudian mengusapnya dengan telapak tangan sembari terus menatap ke bawah sana.
Melihat wajah ceria Puja itu, pikirannya kembali melayang ke waktu sepuluh tahun lalu.
Waktu yang terlewat jauh dimana saat perempuan itu dengan tak tahu malu terus saja mengejar dan menyatakan cinta padanya.
Padahal wajah Puja saat itu jelek sekali. Ada tahi lalat besar di bawah mata dan giginya berpagar kawat. Jangan lupa badan gemuk seperti b4bi, juga kacamata bulat seperti mata kodok yang tak pernah absen membingkai mata, di bawah poni tebal mirip Betty La Fea. Bibirnya tak mau diam seperti beo.
Tentu saja Kavi sangat terganggu saat itu. Dia tampan dan anak orang kaya, banyak gadis mengincar bahkan hanya untuk berteman. Tapi Puja dengan sombong selalu berjalan di dekatnya seperti hewan pengerat. Lebih tepatnya terlampaui percaya diri.
Andai orang tuanya dan gadis kodok itu tak saling mengenal dekat, Kavi sudah mengeksekusinya sedari lama.
Ya, cerita remaja yang tak menyenangkan.
..........
"Kenapa kamu mau menikah sama Kavi? Bukannya ... umm, maaf ... kalian gak saling suka ya?" Arjuna tiba-tiba bertanya.
Pandangan Puja melengak untuk bertemu wajah tegas lelaki itu. “Kamu tahu itu?”
“Ah, umm ...." Arjuna ragu, sadar salah memilih tanya, tapi sudah terlanjur dan dia tetap mengaku, “Iya. Kavi cerita itu juga sama aku.”
"Kenapa kamu mau tahu?" Puja balik bertanya. Tidak beraut serius dan tangannya tetap sibuk memasukkan tanah ke dalam pot yang masih kosong.
“Umm, nggak. Cuma penasaran aja.”
“Hmm.”
“Aku tahu jelas alasan Kavi. Sebagai seorang anak, dia cuma nurut orang tuanya. Meskipun alasan Om dan Tante cukup nggak masuk akal, sih," ujar Arjuna.
Puja hanya tersenyum sekilas.
“Terus kamu sendiri?" Pertanyaan Arjuna beralih haluan pada Puja Anugerah. “Apa alesan kamu nerima pernikahan itu? Apa ...umm ... kamu masih suka Kavi kayak waktu SMA dulu, atau ...?”
“Gimana kalo alesan aku juga sama kayak Kavi?!” sergah Puja, menatap wajah Arjuna dengan mimik serius. "Kalo dia demi menuruti orang tuanya, maka aku pun demi keluargaku!"
Kening Arjuna mengernyit. "Maksud kamu? Kamu juga punya kesialan yang sama kayak Kavi? Nikah buat melunturkan nasib buruk?”
Air muka Arjuna yang serius dengan pertanyaan itu, entah kenapa Puja merasa .... “Ahahahaha!” Dia tergelak lepas, merasa lucu sekali.
Membuat Jun menjadi semakin tolol. Tawa renyah Puja seperti sihir. “Ya, Tuhan, sisakan satu yang seperti ini untukku," ratap harapnya di dalam hati, tapi seketika berubah dan meralat, “Ah, nggak. Dia aja, Tuhan. Puja aja udah! Jngan yang laen. Kavi kan gak mau dia. Hehe!”
Namun harapan hati Arjuna seketika terpatahkan ketika tawa Puja mereda dan wanita itu berkata, "Tebakan kamu yang tadi bener! Aku masih memuja Kavi sampai sekarang, seperti dulu waktu SMA, jadi aku setuju nikahin dia."
Lebur sudah tumpukan semangat dalam dadanya, Arjuna memaksakan senyum. “Ah, benarkah?”
Puja hanya membalas dengan senyuman. Dia lalu berdiri dan berjalan, sebuah kran air di satu sisi dihampirinya untuk membilas tangan yang penuh remahan tanah.
Arjuna menatapnya sebentar, lalu mengekor juga. "Tapi kamu 'kan tau kalo Kavi beda sama kamu, perasaan kalian bertolak belakang. Apa itu gak masalah buat kamu?”
"Aku tau!" tanggap cepat Puja. “Dan aku gak keberatan.”
"Kamu yakin gak akan nyesel sama keputusan itu? Umm, maksud aku ... ini kalian uda masuk pernikahan lho, bukan tunangan atau baru sekedar perjodohan aja."
“Emangnya kenapa?" tanya Puja dengan nada tanpa beban.
“Ya ... aku ... aku cuma kasian aja sama kamu,” Arjuna mengaku jujur. Pancaran matanya tulus mengasihani. “Kamu bisa dapet lebih baik dari dia. Kamu cantik, kamu--"
“Aku baek-baek aja kok!” potong Puja. “Makasih udah peduli sama aku." Dia tersenyum. “Tapi aku serius, aku baek-baek aja.”
Dari tatapan itu, Arjuna mendapati sesuatu. Sepulas keteguhan yang sepertinya tak main-main.
Tersenyum lagi, ke sekian kali. Puja benar-benar memberi kesan menarik. Jun mengangguk-anggukkan tipis kepala menandakan bahwa dia sangat terkesan. "Baiklah. Aku jadi penasaran, gimana Kavi bisa terus bertahan sama egonya melawan kamu yang sekuat ini.”
__
Masih di posisi yang sama. Lantai dua, jendela kaca kamar Kavi Manggala.
"Apa sih yang mereka obrolin sampe sesenang itu?”
Makin lama, dia makin tak tahan.
Benci bergumul dengan rasa penasaran, akhirnya dia memutuskan untuk turun menemui dua makhluk yang sedari tadi diperhatikannya di kejauhan. Membawa serta sebuah alasan yang dia susun di kepalanya secara mendadak. Langkah-langkah lebar membawanya lebih cepat dari biasa.
Sampai di tempat, langsung dia meneriaki, "Hey, Jun Keparat!”
Pecah sudah irama serius antara Arjuna dan juga Puja. Perhatian keduanya sama-sama terlempar ke perwujudan Kavi Manggala yang berdiri di batas taman.
Puja tersenyum melihat wajah itu.
“Kavi ... mau bergabung?”
“Gak!”
jadi lupakan obsesi cintamu puja..
ada jim dan jun, walaupun mereka belum teruji, jim karena kedekatan kerja.. jun terkesan memancing di air keruh..