Marsha Aulia mengira, ia tidak akan pernah bertemu kembali dengan sang mantan kekasih. Namun, takdir berkata lain. Pria yang mengkhianatinya itu, justru kini menjadi atasan di tempatnya bekerja. Gadis berusia 27 tahun itu ingin kembali lari, menjauh seperti yang ia lakukan lima tahun lalu. Namun apa daya, ia terikat dengan kontrak kerja yang tak boleh di langgarnya. Apa yang harus Marsha lakukan? Berpura-pura tidak mengenal pria itu? Atau justru kembali menjalin hubungan saat pria yang telah beristri itu mengatakan jika masih sangat mencintainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Kita Harus Bicara.
Tidak ada yang berubah setelah Chef Robby mengungkapkan perasaan dan Marsha menolaknya.
Hubungan mereka tetap baik-baik saja, dan masih normal seperti biasanya. Marsha sempat memberi jarak, merasa tidak enak hati karena telah menolak sang atasan. Namun, Chef Robby tidak membiarkan itu terjadi.
Lebih baik hubungan mereka hanya sebatas berteman, daripada berubah menjadi asing dan berjarak.
Dan beberapa hari pun telah berlalu. Marsha menjalani harinya seperti di awal kedatangannya kembali ke Jakarta. Tidak ada Rafael yang mengganggu hidupnya, Aldo mengatakan jika pria itu sedang berada di Bali untuk mengurus kerja sama dengan klien dari Australia. Dan Marsha tidak perduli dengan hal itu.
Ia justru berharap, pria itu tidak akan datang lagi di kehidupannya.
“Sha.” Chef Vina datang mendekati Marsha yang baru selesai berganti pakaian di ruang khusus Staff dapur.
Waktu menunjukkan pukul empat sore. Itu artinya, jam kerja Marsha telah berakhir dan di gantikan oleh Chef Robby.
“Ya, Vin.” Jawab Marsha ramah. Ia menyimpan Chef jaket dan sepatu ke dalam loker—lemari penyimpanan sementara.
“Aku penasaran dengan sesuatu.” Chef Vina duduk tak jauh dari tempat Marsha. Di dalam ruangan itu, hanya ada mereka berdua.
Dahi Marsha berkerut halus. Ia kemudian mengunci pintu lokernya. Kemudian duduk di samping Chef Vina.
“Penasaran tentang apa, Vin?” Tanyanya kemudian.
“Aku dengar, Chef Robby sedang patah hati karena baru di tolak sama gadis yang dia sukai. Kira-kira kamu tahu tidak siapa gadis itu? Atau, benar tidak, berita yang aku dengar?” Chef Vina menatap Marsha penuh harap.
Saat bekerja tadi, tanpa sengaja ia mendengar obrolan di dapur kotor, jika Chef Robby sedang patah hati. Chef Vina mengira itu hanya sebuah gurauan. Namun, setelah berpapasan dengan pria yang ia sukai itu, dan melihat wajah tampannya yang murung, Chef Vina yakin berita itu benar adanya.
“Aku tidak tahu, Vin.” Dusta Marsha. Gadis itu menggigit bibir bagian bawah. Justru ia sangat tahu tentang cerita Chef Robby. Namun, Marsha tidak mau menyakiti hati Vina, jika gadis itu dirinya lah gadis yang di sukai oleh pria dewasa itu.
“Yah sayang sekali. Padahal, aku ingin tahu, gadis bodoh mana yang menolak pria matang seperti Chef Robby. Jika itu aku, maka tanpa berpikir dua kali akan langsung menerimanya.” Ucap Chef Vina dengan menggebu.
“Ah, andai Chef Robby menyatakan cinta padaku.” Gumam Chef Vina kemudian.
Marsha hanya diam. Ia memang gadis bodoh. Menolak Chef Robby hanya karena trauma sakit hati di masalalu.
“Menurutmu, apa aku punya kesempatan untuk mendekati Chef Robby?” Tanya Chef Vina kemudian. Gadis itu sudah menyukai Chef Robby saat pertama kali melihat pria itu dua tahun lalu. Namun ia tidak pernah punya kesempatan untuk mendekat. Apalagi, tahun lalu Chef Robby di pindah tugaskan ke cabang Bali.
“Kenapa tidak, Vin?” Marsha menyunggingkan sudut bibirnya. Ia yakin, Chef Vina gadis yang tepat untuk Chef Robby.
“Tetapi, dia masih dalam masa patah hati ‘kan?”
“Pelan-pelan saja, Vin. Aku yakin, jika sudah takdir, pasti akan ada jalannya.” Imbuh Marsha.
\~\~\~
Marsha memutuskan untuk mampir membeli beberapa camilan di mini market yang ada di lantai bawah gedung apartemen.
Besok adalah jadwal gadis itu untuk libur. Ia ingin menghabiskan hari di dalam kamar. Maka, sepulang dari tempat kerja Marsha pun membeli beberapa perbekalan.
“Eh.”
Gadis itu tersentak. Saat ia keluar dari dalam mini market, seseorang menarik tangannya. Hampir saja ia melempar barang bawaannya.
Pria berjaket kulit hitam, dengan topi melindungi kepala dan masker yang menutupi wajahnya. Namun begitu, Marsha seperti mengenali perawakan pria itu.
“El.” Ucap gadis itu, saat mereka telah berada di dalam lift.
Pria itu pun melepas topi dan maskernya.
“Ternyata kamu mengenaliku, Cha.” Ucap Rafael yang kemudian mencebikan bibirnya.
Marsha memalingkan wajahnya. Tak menanggapi ucapan dari mantan kekasihnya itu.
Pintu lift kemudian terbuka di dalam penthouse milik Rafael.
“Masuk, Cha. Kita harus bicara.” Ucap Rafael ketika melihat Marsha terdiam di depan pintu lift yang telah tertutup kembali.
Marsha menghela nafas pelan. Ia kemudian menurut. Mungkin memang ini lah saatnya mereka berbicara. Mengakhiri semua hal yang belum usai diantara mereka.
Setelah hari ini, Marsha ingin hidupnya tenang tanpa bayang-bayang masalalu.
“Duduklah.” Rafael menuntun Marsha untuk duduk di atas sofa. Ia kemudian pergi ke dapur untuk mengambil dua botol jus jeruk kesukaan gadis itu.
Meski ia tidak tinggal di penthouse ini, namun Rafael tetap mengisi lemari pendinginnya dengan beberapa minuman dan makanan instant. Karena, ada kalanya ia ingin menyendiri dan mampir sebentar ke apartemen mewah itu.
“Kamu membeli sesuatu?” Tanya Rafael sembari meletakan minuman dingin itu di atas meja, tepat di depan Marsha. Pria itu melirik kantong belanja di samping Marsha.
“Apa yang ingin kamu katakan, El?” Marsha tidak menjawab pertanyaan Rafael. Gadis itu justru berbalik melempar tanya.
Rafael berdecak. Ia kemudian melepas jas kulit yang di gunakan dan hanya menyisakan kaos berwarna putih dan celana bahan hitam untuk membalut tubuh kekarnya.
“Rupanya kamu tidak ingin berbasa-basi, Cha.” Ucap pria itu.
Ia kemudian membuka botol minuman miliknya. “Minumlah dulu, Cha.”
“Aku belum haus.” Jawab Marsha dengan cepat.
“Aku tidak menambahkan apapun pada minumanmu.”
“Jika tidak ada yang ingin kamu katakan, sebaiknya aku pergi.” Marsha bersiap untuk bangkit.
“Bisa?” Tanya Rafael.
“Jangan lupa jika aku membawa kartu akses mu.”
Rafael tersenyum senang. “Kamu masih menyimpannya? Apa kamu ingin kembali lagi kesini?”
“Rafael Haditama. Tolong berhenti menganggu hidupku.” Kesabaran Marsha telah habis. Ia pun benar-benar bangkit, dan ingin pergi dari tempat itu.
“Cha. Tunggu.” Rafael menahan lengan gadis itu.
Ingin sekali Rafael memeluk tubuh Marsha. Menumpahkan segala kerinduan yang selama ini ia pendam sendirian. Namun, ia berusaha sekuat tenaga menahan dirinya. Tidak ingin Marsha semakin membencinya.
“Kita bicara. Aku janji. Kali ini serius. Aku akan menceritakan semuanya yang terjadi lima tahun lalu.”
Marsha pun mundur kemudian kembali duduk pada tempatnya. Ia menatap ke arah Rafael. Pria itu juga sedang menatapnya.
“Maafkan aku, Cha.”