"Dia bukan adik kandungmu, Raja. Bukan... hiks... hiks..."
17 tahun lamanya, Raja menyayangi dan menjaga Rani melebihi dirinya. Namun ternyata, gadis yang sangat dia cintai itu bukan adik kandungnya.
Namun, ketika Rani pergi Raja bahkan merasa separuh hidupnya juga pergi. Raja pikir, dia telah jatuh cinta pada Rani. Bukan sebagai seorang kakak..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon noerazzura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6. Kebencian yang Kian Bertambah
Malam harinya, Rani sedang mengerjakan tugas di bantu oleh kakaknya. Teman-temannya memberitahu PR yang di berikan oleh guru tadi siang.
Rani rasa besok dia sudah bisa berjalan dan demamnya juga sudah hilang. Dia ingin sekali masuk sekolah. Meski sebenarnya ibunya sangat berat untuk mengijinkan.
"Kamu kenapa tidak dengarkan ibu?" tanya Raja.
"Aku sudah sembuh kak, aku tidak mau ketinggalan pelajaran" jawab Rani.
Raja menatap adiknya itu dengan penuh kasih sayang.
"Kalau aku yang melarang mu, apa kamu akan dengarkan aku?" tanya Raja.
Rani melirik ke arah Raja. Tangannya masih memegang pensil dan buku tulis yang dia letakkan di atas bantal di pangkuannya.
"Kamu mau dengarkan aku kan? jangan sekolah dulu, satu hari lagi sampai lebam di kakimu benar-benar hilang. Bagaimana?" tanya Raja.
Rani pada akhirnya mengangguk perlahan.
"Baiklah" jawabnya membaut Raja tersenyum senang.
Raja mendekati Rani, mengusap lembut kepala adiknya itu perlahan.
"Adikku yang pintar dan penurut. Aku sangat menyayangimu" kata Raja.
Rani tersenyum.
"Aku juga sayang kakak" sahutnya cepat.
Dari celah pintu yang sedikit terbuka. Retno tersenyum lega.
"Lihat itu! kalau aku yang minta dia untuk tidak masuk sekolah, dia tidak mau dengar. Begitu Raja yang minta, dia menurut sekali. Apa dia lebih sayang pada Raja daripada padaku?" tanya Retno.
Pertanyaan itu adalah bentuk protesnya di depan suaminya. Akan tetapi, itu bukan benar-benar sebuah keluhan atau protes. Dia tahu, Rani juga sayang padanya. Sama seperti pada Raja dan ayahnya.
Jacky terkekeh pelan.
"Bagus juga kalau begitu kan? Rani akan mendengar apapun kata Raja, dan Raja selalu mendengar apapun katamu! itu sudah adil kan, Retno?" tanya Jacky.
Retno hanya tersenyum. Dia senang sekali, kedua anaknya saling akur, saling sayang menyayangi. Apalagi yang menjadi kebahagiaan seorang ibu, kebahagiaan orang tua selain melihat anak-anaknya tumbuh dengan sehat, akut dan saling mendukung.
**
Keesokan paginya, Rani mengantarkan Raja sampai di mobil.
"Jangan terlalu lama di luar, sekarang sudah masuk musim hujan. Dingin Rani!" kata Raja.
"Iya kakak, aku akan masuk setelah ini"
Raja membelai lembut kepala Rani.
"Jangan banyak berjalan, istirahat saja di kamar. Pulang nanti aku akan belikan gulali bentuk ayam yang bisa di tiup" kata Raja pada adiknya, karena Rani memang suka gulali bentuk ayam yang bisa di tiup.
Rani mengangguk senang. Dan melambaikan tangannya ke arah Raja.
Setelah mobil yang di kemudikan pak Amir melewati gerbang rumah, bibi Tari langsung menghampiri Rani dan mengajak Rani untuk masuk ke dalam rumah.
"Non, ayo masuk" ajak bibi Tari yang di angguki cepat oleh Rani.
Di jalan, tak jauh dari perkebunan. Raja melihat Hani yang sedang berjalan menuju ke sekolahnya.
"Pak Amir, tolong berhenti!" kata Raja.
"Oh, mau ajak Hani bareng ya tuan muda?" tanya pak Amir sambil menepikan mobil sedan itu.
"Tidak! hanya mau menegurnya!" kata Raja yang segera turun dari dalam mobil.
"Selamat pagi kak Raja"
Hani tersenyum sambil menghampiri Raja. Dia memang suka pada Raja, suka saja. Tidak ada alasan khusus, mungkin karena memang dia adik kandung Raja. Rasa suka itu datang begitu saja.
"Selamat pagi Hani. Kenapa saat teman-temanmu menjenguk Rani kemarin, kamu tidak ikut? bukannya kamu berhutang maaf pada Rani?" tanya Raja.
Meski tatapannya dingin, dia masih berusaha bicara dengan nada yang baik.
Hani mendengus kesal.
'Rani lagi! Rani lagi!' gerutunya dalam hati.
"Aku harus ke perkebunan, aku harus bantu ibu kak" jawab Hani.
"Memangnya apa salah Rani? sampai kamu mendorongnya ke parit?" tanya Raja.
Lagi-lagi Hani menggerutu kesal dalam hatinya.
'Huh! Dasar tukang ngadu! menyebalkan sekali. Aku benar-benar sangat kesal dengan si Rani itu. Dia pasti bilang macam-macam, mengadu yang tidak benar. Sampai kak Raja marah begini!'
"Aku peringatkan kamu ya Hani. Ini untuk terakhir kalinya. Jangan berbuat jahat pada Rani. Dia kemarin sudah bilang pada ayah dan ibu untuk membelikan mu sepatu dan pakaian baru. Dia itu baik padamu!"
'Huhh, apanya yang baik? dia itu cari muka!' batin Hani makin kesal.
"Besok, Rani sudah masuk sekolah. Minta maaflah padanya. Dia punya hati yang luas untuk memaafkan mu!" kata Raja yang berbalik dan hendak masuk kembali ke dalam mobil.
"Rani tidak ada, aku duduk di belakang ya?" hanya Hani yang sudah bersiap membuka pintu mobil di sisi seberang Raja membuka pintu.
"Rani tidak sekolah, kita tidak searah!" kata Raja dingin dan langsung masuk mobil.
Setelah itu Raja bahkan minta pak Amir untuk segera pergi.
Hani menghentakkan kakinya kesal.
"Huh, ini gara-gara Rani!" gerutunya lagi.
Di saat mobil itu mulai menjauh, Raja bisa melihat Rani menginjak-injak tanah kesal.
"Tuan muda, kalau ada non Rani, pasti dia..."
"Rani itu terlalu baik pak Amir!" sela Raja, "padahal sudah jelas, Hani selalu membuat masalah untuknya!" geram Raja melirik kesal ke arah spion mobil yang masih memperlihatkan Hani yang terlihat kesal karena terlihat berjalan dengan menghentakkan kakinya ke tanah.
Sampai di sekolah, Hani masuk kelasnya seperti biasanya. Dengan raut wajah mendung.
"Hani, sudah kerjakan PR?" tanya Sari.
Hani melirik Sari dengan kesal. Dia bukan orang yang mudah menghilangkan dendam dari dalam hatinya. Dia masih mengingat bagaimana Sari tidak meminjamkan pensil untuknya. Padahal dia sudah mencuri dan membuang kotak pensil itu hingga membuat Sari menangis. Tapi dia masih tampak memusuhi Sari.
"Sudah atau belum, apa urusanmu?" tanya Hani yang berlalu begitu saja dari depan Sari.
"Aku hanya bertanya, ada apa denganmu?" tanya Sari.
"Cih, orang pelit kayak kamu gak usah tanya-tanya sama aku!" ujar Hani semakin membuat Tari kesal.
"Siapa yang pelit?" tanya Sari.
"Pelit, pelit! Sari pelit! Sari memang pelit!" Hani malah menyanyikannya.
Sari terlihat sudah mau menangis. Sampai Pertiwi dan yang lain datang.
"Hani, kamu kenapa sih jahat sekali. Sari menangis itu!" kata Pertiwi.
"Apa perduliku!" kata Hani acuh.
"Kamu itu memang jahat Hani. Tidak seperti Rani...."
Brakk
Hani menggebrak meja. Dia tampak membelalakkan matanya semakin lebar.
"Rani lagi! Rani lagi! kalian itu sama menyebalkannya dengan si munafik itu" pekik Hani.
"Anak-anak, ada apa ini?" Bu guru Melati yang mendengar keributan segera masuk ke kelas dan melerainya.
Sari menjelaskan, dan Hani diam saja.
"Ya ampun, kalian ini teman. Jangan saling bertengkar seperti itu. Belajarlah dari Rani, dia tidak pernah bertengkar..."
Hani makin kesal, dia mengepalkan tangannya dengan sangat kuat.
'Rani lagi! Rani lagi! dia saja terus yang kalian banggakan. Menyebalkan!' gerutunya dalam hati.
***
Bersambung...