seorang kapten polisi yang memberantas kejahatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aldi malin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ojek online tertamgkap
Lampu senyap. Derap kaki menyelinap pelan di sela-sela kegelapan. Reno dan dua anggota tim bayangannya merayap mendekati pintu belakang gudang di pinggiran Jakarta Timur.
“Target di dalam. Bergerak atas aba-aba saya,” bisik Reno di radio kecil.
DUAAR!
Pintu digedor keras.
“JANGAN BERGERAK! KAMI DARI KEPOLISIAN!”
Tiga pria di dalam terkejut. Salah satunya adalah Frenki, anak buah Chen yang kejam, dan satu pria lain. Mereka langsung kabur lewat sisi kanan gudang yang sudah mereka siapkan sebagai jalur lari.
Reno menerobos masuk bersama timnya. Di dalam ruangan gelap dan bau oli, hanya satu orang yang tersisa—Leo. Ia tergeletak di lantai dengan luka memar dan wajah pucat, seperti habis dihajar.
Reno memeriksa setiap sudut. “Merlin mana?”
Anggotanya menggeleng. “Negatif. Nggak ada siapa-siapa selain dia.”
“Cek semua ruangan. Termasuk bawah dan atap,” perintah Reno.
Setelah beberapa menit pencarian intens, hasilnya nihil.
Kapten Merlin tidak ditemukan.
Sementara itu, Leo dibawa keluar dalam keadaan setengah sadar. Di mobil, ia bergumam lemah: “Dia... dia diselamatkan seseorang... pakai helm hitam... aku nggak tahu siapa…”
Cahaya mentari samar menembus celah-celah jendela. Suara ayam berkokok jauh di kejauhan.
Merlin terbangun perlahan. Tubuhnya terasa berat dan nyeri. Ia menoleh ke sekitar, mendapati dirinya sedang berbaring di sebuah kasur tipis, dalam ruangan kecil bercat biru kusam.
Yang membuatnya lebih bingung—ia mengenakan pakaian laki-laki. Celana training dan kaos lusuh, lengkap dengan jaket hoodie yang kebesaran.
Belum sempat ia bangkit, seorang pria masuk membawa semangkuk bubur hangat. Ia mengenakan jaket ojek online dengan helm masih tergantung di tangan.
“Pagi, Bu... eh, Mbak... Saya buatkan bubur. Coba makan sedikit dulu.”
Merlin terbelalak. “Siapa kau? Di mana aku?” suaranya serak, gugup.
Pria itu tersenyum. “Tenang, Mbak. Nama saya Dika. Kamu sekarang di rumah kontrakan saya. Untung aja Bu Bidan di sebelah belum tidur tadi malam. Dia yang sembuhkan luka Mbak.”
Tepat saat itu, seorang perempuan paruh baya berselendang batik masuk ke kamar.
“Pagi, Neng. Saya yang bantu rawat semalam. Luka dalamnya nggak parah, cuma lebam dan syok berat. Tapi kamu kuat ya, semalaman kamu ngigau terus...” katanya lembut, memeriksa perban di lengan Merlin.
Dika berdiri di sudut ruangan, matanya tampak lelah.
“Dika belum tidur semalaman,” ujar Bu Bidan sambil tersenyum pada Merlin. “Dia khawatir. Dari cara dia gendong kamu semalam, saya kira kalian ini saudara dekat.”
Merlin memandangi Dika. Dalam hatinya, timbul rasa haru dan syukur.
Pria ini yang menyelamatkanku...
Bu Bidan merapikan tasnya. “Besok luka kamu sudah kering. Saya ke puskesmas dulu, ya.”
“Terima kasih, Bu...,” bisik Merlin, menatap wanita itu dengan penuh penghargaan.
“Jaga dia baik-baik, Dik. Saya titip ya.”
“Siap, Bu.”
Bu Bidan pun pamit dan meninggalkan keduanya di ruang sepi itu.
Merlin menatap bubur di hadapannya, lalu tatapannya bergeser ke Dika.
“Kenapa kau lakukan ini? Menyelamatkanku?”
Merlin menatap Dika dengan tatapan penuh tanya, lalu menurunkan sendok bubur yang sejak tadi belum sempat disentuh.
“Berarti… kamu telah melihat seluruh tubuhku?” katanya datar, tapi tajam. “Kamu pantas aku tilang.”
Dika langsung panik. Ia duduk tegak, wajahnya memerah. “Maaf, Mbak! Sumpah saya nggak ada maksud aneh-aneh! Saya cuma... waktu itu... baju Mbak basah dan berlumuran bensin. Saya pikir itu bahaya, bisa meledak!”
Ia mengangkat tangan seperti menyerah. “Saya cuma ikhlas nolongin polisi seperti Mbak. Lagi pula, Mbak itu yang order ojol malam itu. Mbak sendiri yang kirim chat ke saya—‘Tolong saya, saya Kapten Merlin’—lewat chat .”
Merlin membelalakkan mata. Ia baru ingat—di tengah kepanikan, saat kakinya terikat dan tangan hampir bebas, ia sempat menjangkau ponsel yang tersembunyi di dalam jaketnya dan memesan di aplikasi ojol penumpang.
“Ternyata... kamu driver yang aku panggil malam itu?” gumamnya.
Dika mengangguk cepat. “Saya langsung ngebut ke lokasi yang Mbak kirim. Untung saya nekat masuk gudang dan... ya, sisanya seperti yang Mbak tahu.”
Merlin menghela napas panjang, campuran rasa malu, kagum, dan syukur.
“Baiklah,” katanya akhirnya, memandang Dika dengan mata tajam tapi tak lagi dingin. “Untuk sekarang, kamu bebas dari tilang. Tapi jangan harap dapat diskon kalau aku melakukan tilang cinta.”
Dika tertawa kecil, lega. “Siap, Komandan!”
Merlin duduk tegak di atas kasur usang namun bersih, masih mengenakan pakaian longgar laki-laki yang dipinjamkan oleh Dika. Ia menatap Dika sejenak.
“Bolehkah aku meminjam HP-mu sebentar?”
Dika langsung mengangguk dan menyerahkan ponselnya. “Tentu, Mbak. Silakan.”
Merlin dengan cepat menekan nomor yang sudah dihapalnya di luar kepala. Suaranya terdengar tajam dan tegas.
“Reno. Aku di sini. Kirim tim ke lokasi ini sekarang juga.”
---
Kurang dari tiga puluh menit kemudian, suara kendaraan berhenti di luar rumah kontrakan sederhana itu. Reno muncul bersama dua anggota tim bayangan. Ia tampak lelah tapi lega saat melihat Merlin selamat.
“Kapten!” serunya sambil menghampiri. “Maaf. Aku gagal menyelamatkanmu tadi malam...”
Merlin hanya mengangguk singkat. “Bukan kau yang gagal. Mereka sudah merencanakannya dengan rapi. Tapi aku hidup... berkat dia.”
Ia menoleh ke arah Dika yang berdiri canggung di dekat pintu dapur.
“Namanya Dika. Seorang ojek online. Dia menyelamatkanku dari gudang itu. Dia bahkan membawa ke bidan malam-malam untuk mengobati lukaku.”
Reno menatap Dika dengan rasa hormat yang tulus dan menjulurkan tangan. “Terima kasih, Bro. Tanpa kau, kami mungkin tak akan sempat.”
Dika menyambut uluran tangan itu dengan malu-malu. “Saya cuma melakukan apa yang bisa saya lakukan... Lagipula, saya terima orderan, Mas.”
---
Beberapa saat kemudian, Reno membuka tas kecil hitam dari salah satu anggota.
“Aku juga bawa ini,” katanya, menyerahkan sebuah file lusuh dan ponsel yang tampak rusak sebagian. “Ini HP-mu. Kami menemukannya di lantai gudang... dan file ini, entah bagaimana, terjatuh di celana si Frenki saat dia kabur.”
Merlin menatap benda-benda itu dengan intens.
“File itu... bisa jadi kunci untuk membuka semua yang mereka sembunyikan.”
Reno mengangguk. “Sudah kuperiksa sekilas. Ada log transaksi dan satu nama baru yang muncul. Tapi belum lengkap. Kita butuh waktu.”
Merlin menarik napas panjang. “Kalau begitu, kita tak boleh berhenti. Semuanya baru dimulai.”
Reno duduk di sisi meja kontrakan, membuka laptop kecilnya sambil menatap Merlin yang tengah memeriksa file yang baru dikembalikan.
“Saya sudah laporkan kasus ini ke Interpol pusat,” ucap Reno tenang. “Mereka sudah memegang data awalnya… tapi mereka ingin kita teruskan penyelidikan ini sampai ke akar. Mereka curiga, mungkin saja Komandan terlibat jauh lebih dalam dari yang kita kira.”
Merlin menatapnya tajam. “Komandan? Kau yakin?”
Reno mengangguk pelan. “Data awal memperlihatkan beberapa transaksi mencurigakan—dari rekening yang dilacak ke seseorang berinisial R.S.. Dan yang punya akses penuh ke sistem penyimpanan data digital hanya Komandan.”
Merlin mengepalkan tangannya. Ada rasa sakit dan marah yang tertahan.
Namun, sebelum suasana makin berat, Reno tersenyum kecil dan menambahkan, “Dan kabar baiknya... surat keputusan pengaktifanmu sudah turun. Mulai besok, Buk Merlin resmi kembali aktif di kantor.”
Dika yang berdiri tak jauh dari mereka langsung berseru, “Wah, selamat ya, Mbak... eh... Buk Kapten!”
Merlin mengangkat alis sambil menahan tawa. “Jangan panggil aku Buk. Aku belum setua itu.”
Semua tertawa sejenak, mencairkan suasana.
Hari mulai sore. Langit Jakarta berubah jingga, menyelimuti kota dengan kelelahan yang senyap.
“Aku lebih baik istirahat di rumah saja,” ucap Merlin pelan, tubuhnya masih terasa berat.
Reno mengangguk. Ia pun menawarkan untuk mengantar Merlin kembali ke kosannya. Dika berdiri di depan pintu kontrakan, masih dengan jaket ojolnya yang lusuh tapi penuh makna.
“Terima kasih... sungguh,” kata Merlin sambil menatap Dika penuh ketulusan. “Kalau malam itu kamu nggak datang... mungkin aku sudah—”
“Jangan dibayangin, Mbak. Saya cuma ngelakuin apa yang harus saya lakuin,” potong Dika canggung, tersenyum kikuk sambil menatap lantai.
Reno pun menepuk bahu Dika, “Terima kasih, Bro. Kau bukan orang biasa.”
---
Sesampainya di tempat kos Merlin, dua polisi bayangan sudah berjaga di depan gerbang. Reno memanggil salah satu dari mereka dan berbisik singkat.
“Mereka akan berjaga di sini,” jelas Reno pada Merlin. “Setidaknya sampai kamu benar-benar pulih.”
Merlin hanya mengangguk pelan. Dadanya hangat, bukan hanya karena luka yang mulai sembuh, tapi karena ada orang-orang yang masih percaya padanya.
Ia memandang ke luar jendela kamar kos. Lampu-lampu mulai menyala di kejauhan. Jakarta tetap ramai, tetap gelap… tapi kini, ia tak lagi sendiri menghadapi semuanya.
Dan malam itu… ia tertidur, bukan dalam ketakutan—melainkan dengan satu tekad baru yang membara.
Pagi itu, Dika berdiri di depan jemuran kontrakannya. Matanya menyipit menatap satu set pakaian wanita yang belum juga kering sepenuhnya.
“Waduh, bajunya si Mbak Merlin masih di sini. Lupa ngembaliin... Agak galak sih, tapi... seksi juga,” gumamnya sambil nyengir kecil. Bayangan malam itu kembali terlintas di benaknya—saat ia mengganti pakaian Merlin yang basah kuyup terkena bensin. Saat itu, ia tak punya pilihan lain demi menyelamatkan nyawanya.
Ia mengangkat HP-nya, ragu. “Apa aku telpon aja ya? Bilangin soal bajunya…”
Namun sebelum ia sempat menekan tombol, DUKK DUKKK DUKKK!!
Suara ketukan keras menggelegar di pintu kontrakan. Dika terkejut, hampir menjatuhkan ponselnya. Ia melangkah cepat dan membuka pintu.
Dua pria berbadan kekar, mengenakan jaket polos dan celana gelap, berdiri tegak di hadapannya. Salah satunya mengeluarkan tanda pengenal. “Kami dari kepolisian. Anda Dika, pengemudi ojek online?”
“Eh… iya, Pak. Mau jemput bajunya Mbak Merlin ya?” Dika tersenyum canggung dan menyingkir dari pintu. “Silakan masuk aja—”
TREKK!
Tanpa aba-aba, tangan Dika diborgol cepat. Ia terkesiap.
“Anda kami tangkap atas dugaan keterlibatan dalam promosi dan distribusi aplikasi judi online,” kata salah satu petugas dengan dingin.
“A-apa?! Saya nggak tahu apa-apa! Saya cuma—saya cuma ojek online!”
“Bukti sudah cukup. Jangan banyak berdalih.”
Petugas lain merampas HP-nya dan memasukkannya ke kantong bukti.
Wajah Dika memucat. Ia dibawa keluar rumah kontrakan tanpa sempat mengganti jaketnya. Beberapa tetangga menatap dari balik jendela. Dunia terasa runtuh dalam sekejap.
Dalam hatinya, Dika hanya bisa bergumam: “Mbak Merlin… tolong saya…”
Pagi itu, Kapten Merlin melangkah masuk ke kantor polisi dengan seragam lengkap. Wajahnya tenang tapi sorot matanya tajam. Ia baru saja kembali dari masa skorsing, dan langkah pertamanya adalah menuntaskan apa yang belum selesai.
Namun belum sempat ia duduk, seorang reno menghampiri tergesa gesa.
“Kapten! Barusan ada penangkapan. Nama tersangkanya… Dika.”
Langkah Merlin terhenti. “Apa?” Suaranya langsung naik satu oktaf.
Ia bergegas ke ruang penahanan sementara, tapi Dika sudah dibawa ke ruang pemeriksaan. Tak buang waktu, Merlin langsung menuju lantai dua, mengetuk pintu ruangan Komandan Zen.
“Masuk.”
Pintu terbuka. Komandan Zen duduk di belakang mejanya, tangan bertaut. Di hadapannya, sebuah laptop terbuka.
“Kapten Merlin,” katanya dingin. “Silakan duduk.”
“Apa maksud semua ini? Dika—pengemudi ojek online yang menyelamatkan saya—kenapa dia ditangkap?”
Komandan Zen menoleh pada layar laptop, lalu memutar monitor agar menghadap ke Merlin.
“Ini hasil digital forensik dari server judi online milik Chen. Salah satu akun promotor berstatus aktif, memuat nama lengkap: Dika Prasetya. Lengkap dengan foto KTP dan email-nya.”
Merlin terdiam. Di layar, memang terlihat jelas sebuah formulir digital pendaftaran promotor. Foto Dika terpampang di sudut kiri atas. Nama dan identitasnya tercantum rapi.
“Tapi… ini tidak mungkin…” bisik Merlin. “Saya tahu orang ini. Dia tidak ada kaitan dengan dunia itu.”
“Bukti digital tidak berbohong, Kapten. Kecuali…” Komandan Zen menyipitkan mata. “Anda ingin membela seseorang yang sebenarnya terlibat?”
Wajah Merlin memerah menahan emosi. Ia berdiri.
“Maaf, saya tidak menerima begitu saja. Saya ingin menganalisis sendiri data ini. Dan saya ingin berbicara langsung dengan Dika.”
Komandan Zen mengangkat bahu santai. “Silakan. Tapi ingat, Kapten. Jangan sampai integritas Anda ikut tercoreng karena membela orang yang salah.”
Merlin mengepalkan tangan. Ia tahu Dika tidak bersalah. Tapi jika data ini benar, maka ada satu kemungkinan yang lebih berbahaya:
Di ruang tahanan sementara, Dika duduk di balik jeruji, mengenakan kaos lusuh dan celana yang sudah kusut. Wajahnya pucat, penuh kebingungan. Merlin memasuki ruangan, menatapnya tajam, namun di balik tatapan itu ada sesuatu yang lebih dalam—keraguan dan kekhawatiran.
“Dika,” ucap Merlin pelan.
Dika menoleh. Begitu melihat Merlin, matanya langsung berkaca-kaca. “Mbak... saya nggak ngerti. Saya bener-bener nggak tahu kenapa saya dituduh kayak gini.”
Merlin duduk di kursi interogasi, memandangi Dika dengan serius. “Kamu terdaftar sebagai promotor di server judi online yang kami sita. Nama, KTP, email kamu ada di sana.”
“Promotor?” Dika menggeleng keras. “Nggak mungkin. Saya nggak pernah daftar jadi promotor apa-apa. Saya dulu pernah main... iya, saya pernah install aplikasinya. Buat iseng—game slot begitu. Tapi udah lama banget. Waktu itu juga langsung saya hapus dan blokir.”
Merlin mencondongkan tubuh. “Kapan terakhir kamu buka aplikasi itu?”
Dika mengerutkan kening, mencoba mengingat. “Mungkin... enam bulan lalu? Atau lebih. Saya iseng doang, Mbak. Cuma buka-buka. Tapi waktu itu saya daftar pakai data asli... saya nggak tahu kalau data saya bisa dipakai buat begini.”
Merlin menghela napas berat. “Jadi kamu pakai data pribadi untuk akun judi itu?”
“Iya... saya bodoh, saya tahu. Tapi saya nggak pernah ikut promosiin, apalagi nyebarin aplikasi ke orang.”
Merlin menatapnya dalam. Ia bisa melihat ketulusan Dika, tapi sebagai penyidik ia juga tahu: perasaan tidak cukup. Ia butuh bukti.
“Tenang, Dika. Aku percaya kamu. Tapi untuk membuktikan semua ini, kita butuh bantuannya Reno.”
Dika menggenggam jeruji. “Tolong, Mbak... saya nggak sanggup masuk penjara. Saya cuma ojek online.”
Merlin berdiri, sorot matanya kembali tajam. “Kalau kamu jujur, aku pastikan kamu akan bebas. Aku janji.”
Ia berbalik keluar dari ruang tahanan, langsung menghubungi Reno.
“Reno. Kita harus lacak asal-usul akun itu. Kalau benar data Dika disalahgunakan... berarti ini bukan jebakan biasa. Ini operasi yang rapi. Dan seseorang di dalam sistem membocorkan atau memanipulasi datanya.”
Reno di ujung telepon menjawab cepat, “Aku di depan server backup lama. Sepertinya aku menemukan sesuatu.”