Cerita ini berlatar 10 tahun setelah kejadian di Desa Soca (Diharapkan untuk membaca season sebelumnya agar lebih paham atas apa yang sedang terjadi. Tetapi jika ingin membaca versi ini terlebih dahulu dipersilahkan dan temukan sendiri seluruh kejanggalan yang ada disetiap cerita).
Sebuah kereta malam mengalami kerusakan hingga membuatnya harus terhenti di tengah hutan pada dini hari. Pemberangkatan pun menjadi sedikit tertunda dan membuat seluruh penumpang kesal dan menyalahkan sang masinis karena tidak mengecek seluruh mesin kereta terlebih dahulu. Hanya itu? Tidak. Sayangnya, mereka berhenti di sebuah hutan yang masih satu daerah dengan Desa Soca yang membuat seluruh "Cahaya Mata" lebih banyak tersedia hingga membuat seluruh zombie menjadi lebih brutal dari sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Foerza17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengubur sang Masinis
Pria tua itu mengeluarkan 2 buah cangkul yang ujungnya ia bungkus dengan karung beras berwarna putih. Aku tertegun melihatnya. Seharusnya pihak KAI tidak memperbolehkan sebuah benda tajam dibawa ke dalam kereta.
"Hehehe pasti kau terkejut melihat barang bawaanku ya?" ucap Pria itu sembari terkekeh.
"Benar sekali. Seharusnya benda seperti itu tidak diperbolehkan untuk dibawa masuk kan?" jawabku dengan alis yang terangkat sebelah.
"Cih petugas-petugas bodoh itu tidak seharusnya melarangku membawanya. Karena pekerjaanku nanti memang sangat berhubungan dan membutuhkan kedua benda ini," ucap Pria itu dengan suara serak namun dengan tatapan sinis.
"Jangan percaya kepadanya. Kejadian yang sebenarnya adalah dia sempat mengancam wanita itu dengan menodongkan cangkul itu kepadanya," ucap Pria disampingnya dengan sinis.
"Kalau aku tidak melakukannya, kita pasti harus membeli cangkul lagi saat kita sampai di tujuan!" ancam Pria Tua dengan kemeja batik keemasan itu. Pria Tua dengan kemeja merah hanya menghela napas berat.
"Baiklah kita akhiri seluruh perdebatan ini. Untuk sekarang, saya memang membutuhkan bantuan kalian berdua untuk membantu menyelesaikan masalahku. Sebaiknya kita bergegas sekarang," ucapku lirih agar penumpang lain tidak menaruh curiga kepada kami.
"Memangnya kau mau mengubur siapa?" tanya Pria Tua dengan kemeja kuning yang seketika membuat beberapa penumpang terbangun dan terkejut atas ucapannya. Pria Tua dengan kemeja merah langsung menepuk bahunya dengan keras.
"Hei hei! Apa yang terjadi disini? Kenapa ribut sekali?" tanya seorang pria dengan tubuh berotot yang duduk di ujung gerbong. Aku pun segera mencari alasan logis untuk mengelabuinya.
"Maafkan aku, Pak. Tapi untuk barang bawaan kedua bapak ini sudah menyalahi aturan. Aku memutuskan untuk menyitanya sebentar dan mengembalikannya saat sudah sampai ditujuan mereka nanti," Jawabku tenang walau jantungku berdegup tak karuan. Pria kekar itu hanya menatapku tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Dia kemudian kembali membaringkan tubuhnya dengan kasar dn melanjutkan tidurnya. Aku pun kembali menghela napas lega.
"Sebaiknya kau menjaga ucapanmu, Orang Tua!" ancam pria berkemeja merah kepada temannya yang memang asal ceplos itu. Tetapi pria dengan kemeja kuning hanya menatap sinis ulah temannya.
Kami pun segera bergegas pergi dari sini dan memilih untuk berjalan dari luar gerbong agar tidak menimbulkan kecurigaan penumpang di gerbong yang lain.
Angin malam kembali menyentuh dingin kulitku. Suara kerikil berderak sebab gesekan dengan cangkul yang diseret. Kami berjalan disisi kereta dengan beriringan. Sesekali suara burung malam bersiul diantara pepohonan.
Suasana diluar cukup hening. Sorot lampu ponsel dari setiap penumpang yang sudah sepenuhnya padam semakin menambah keheningan malam. Aku pun segera mempercepat langkahku karena aku mulai merasa gelisah jika terus-terusan berada diluar. Aku merasa khawatir jika makhluk yang tidak aku inginkan tiba-tiba datang bertamu.
Saat berada di gerbong ketiga, aku kembali memandangi bekas goresan yang terukir di badan kereta. Aku masih belum bisa mengetahui sebab apakah goresan besar ini. Aku memandangnya sekilas dan tidak terlalu memperdulikannya juga. Tiba-tiba pria tua yang berpakaian kemeja kuning itu berseru,
"Astaga? Makhluk apa yang mampu membuat cakaran hingga sebesar itu?" ucapnya memandangi goresan itu dengan tercengang.
"Makanya kau harus menjaga bicaramu agar dia tidak datang kembali," sahut pria berkemeja merah. Aku tertawa kecil mendengar percakapan mereka yang seperti anak kecil.
Beberapa langkah kemudian, kami pun sampai pada gerbong pertama. Kami bertiga pun memasuki dan berjalan menyusuri lorong. Tatapan sinis dari para konglomerat langsung terlihat mengintimidasi kedua pria tua di belakangku. Aku merasa tak enak kepada mereka berdua. Aku pun kembali mempercepat langkahku untuk segera menjauh dari para konglomerat yang masih memandangi kami bertiga.
Pintu kabin masinis masih tertutup. Aku mengetuk pelan untuk memanggil insinyur yang sebelumnya ada di dalam. Tak berselang lama, dia pun keluar.
"Ayo kita segera bereskan masalah ini," aku mengajak kedua pria itu untuk masuk ke dalam kabin masinis.
Pria tua dengan kemeja kuning kembali melakukan aksi konyolnya. Dia terlihat mengejek para konglomerat itu dan berseru,
"Hei, Orang-orang Rapi! Apakah kalian pernah memasuki tempat masinis sebelumnya? Ohh aku rasa belum. Dan aku minta maaf, aku akan segera masuk ke dalamnya,"ucapnya sembari berjalan mundur untuk memasuki kabin masinis.
"Kau pikir kau siapa, Orang Tua? Aku bahkan mampu untuk membeli sebuah kereta api!" seru seorang eksekutif muda dengan setelan jas rapi. Sepertinya dia tersulut emosi sebab provokasinya. Pria tua dengan kemeja kuning kembali terkekeh seperti merasa berpuas diri atas ucapannya. Aku kembali menghela napas berat akan tingkahnya.
Sesampainya kami di dalam, aku kemudian menyuruh sang insinyur untuk membantuku mengangkat kedua mayat masinis itu. Tiba-tiba pria berkemeja kuning kembali berseru.
"Ohh sial. Aku pikir kau membawaku kesini untuk membantumu mengemudikan kereta ini? Ternyata hanya untuk mengubur seseorang lagi. Cih!" sungutnya sembari meludah ke lantai lokomotif.
"Sudah kubilang untuk menjaga ucapanmu, Amin! Kau pikir kita siapa? Secara terhormat diundang masuk ke kabin masinis yang bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan kita yang hanya seorang petani dan tukang gali kubur?" gertak pria tua dengan kemeja merah.
"Hei jangan remenkan aku. Aku seorang sopir traktor kau tau? Mengendalikan sebuah kereta bukanlah masalah besar untukku, Darto!" sahut pria itu yang ternyata bernama Amin.
"Kita sudahi perdebatan ini! Cepat segera bantu aku untuk mengangkat mereka berdua!" gertakku kearah mereka berdua. Mereka pun bergegas membantuku.
Kami berempat menggotong mayat kedua masinis menyusuri gerbong. Seketika tatapan jijik sembari menutup hidung dengan tangan langsung tercipta diantara para konglomerat itu. Gigi Amin bergemeretak melihat tingkah mereka yang seakan-akan ingin segera mengumpat kearah mereka semua.
"Kalian orang-orang kaya tidak pernah melihat pemandangan seperti ini ya?" ucap Amin sinis.
"Memang. Dan pekerjaan itu pantas dilakukan oleh kalian orang-orang miskin," ketus seorang eksekutif muda. Amin hanya menatapnya tajam.
"Kalau begitu, kau urus saja dirimu sendiri nanti di pemakaman!" ledek Amin. Wajah eksekutif muda itu pun memerah dengan tangan mengepal. Untungnya ia langsung memalingkan mukanya dan tidak melanjutkan tindakannya. Aku merasa sangat jengkel dengan tingkah berani Amin. Tapi mau bagaimana lagi? Aku masih membutuhkan mereka berdua.
Kami segera mencari posisi yang bagus untuk menguburkan kedua mayat ini sembari menunggu insinyur mengambil cangkul yang tertinggal di lokomotif. Setelah beberapa saat mencari, kami pun menemukan area yang cocok untuk menguburkan mereka. Dengan medan yang cukup luas, bersih dari ilalang yang menjulang, dan tanah yang tidak terlalu keras. Aku langsung merebahkan tubuh sang masinis.
Insinyur Hadi sudah kembali, kami segera menggali tanah dengan kedalaman yang cukup untuk menguburkan mereka sekaligus. Selagi Amin dan Darto menyelesaikan pekerjaan mereka, mataku masih terus mengawasi kondisi sekitar. Hatiku masih merasa gelisah sebab rasa traumatisku 10 tahun yang lalu. Aku benar-benar tidak ingin jika harus berjumpa oleh para zombie itu. Mungkin tidak semuanya. Aku juga berharap dia masih hidup walaupun kurasa sangat mustahil.
Setelah beberapa menit kami menggali, lubang galian sudah tercipta cukup dalam. Kami pun segera memasukkan kedua mayat itu dan segera memendamnya dengan tanah. Tetapi sebelum kami selesai menutupnya, tiba-tiba lampu kereta menyala kembali. Aku langsung terkejut dan keringat dingin langsung membasahi pelipisku.