21++
sebagian cerita ada adegan panasnya ya.
harap bijak dalam membaca.
bocil skip aja. jangan maksa 😂😂
caera Anaya. rumah tangganya yang berakhir dengan perceraian karna penghiatan suami dan sahabatnya.
rasa sakit yang membuat hatinya membatu akan rasa cinta. tetapi ia bertemu dengan seorang lelaki dan selalu masuk dalam kehidupannya. membuat ia berfikir untuk memanfaatkan lelaki itu untuk membalas sakit hati pada mantan suaminya.
akankah caera dapat membalas sakit hatinya?
yuk ikuti karya pertama ku ya 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bennuarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 18
caera agak sedikit lega karena Arya sudah tak sesering kemarin berada di ruang perawatan Gino. pagi-pagi sekali Arya sudah pergi pulang ke rumah, dan selanjutnya pergi ke kantor. hanya malam hari Arya datang lagi.
Dinda juga sudah datang bersama anak-anak dan Alfian menjenguk Gino. dengan heboh anak-anak Dinda berceloteh bersama Gino.
sebenarnya Gino sudah sembuh. hanya menunggu keputusan dokter saja besok pagi. caera selalu berada bersama Gino. hanya ketika caera pulang untuk memasak mereka berpisah.
caera berjanji dalam hatinya tak akan pergi meninggalkan Gino lagi karena keegoisan diri.
sudah mengganti mobil Dinda dengan mobilnya. mengatakan terus terang tentang kecelakaan itu yang membuat mobil Dinda rusak, walaupun sekarang sudah kembali membaik.
dengan terkejut Dinda menarik lengan caera menjauh dari anak-anak, ibu, dan Alfian.
bicara berbisik-bisik takut mereka mendengar.
"kamu kenapa tidak bilang kalau kecelakaan Ra?"
Dinda melebarkan matanya kesal pada caera.
"aku tidak mau membuat kalian panik Din. ini cuma kamu yang aku beri tahu"
balas caera berbisik juga.
"gila kamu ya. gimana kalau terjadi apa-apa kemarin itu. huh"
Dinda memukul pelan lengan caera.
"karena tidak ada apa-apa makanya aku tidak beri tahu lah"
"isshh.. kamu ini"
dengan gemas Dinda mencubit lengan caera.
"aduh.. sakit tahu"
caera mengaduh dan mengusap-usap lengannya bekas cubitan Dinda.
Dinda memang sahabat terbaik. selalu ada di saat caera membutuhkan tempat berkeluh kesah. di saat dia tidak bisa mengadu pada ibunya, Dinda lah orang yang selalu memberi dukungan padanya.
caera senang karena Alfian suami Dinda juga tidak begitu mempermasalahkan kedekatan mereka. Alfian memang orang yang periang dan tidak pernah menuntut banyak pada istrinya.
"terus, bagaimana dengan Arya?"
tanya Dinda antusias.
"apanya?"
caera pura-pura tidak mengerti maksud Dinda.
"iisshh kamu ini. ya Arya.. gimana? kamu mau maafin dia Ra?"
caera memutar bola matanya malas. bagaimana dia bisa memaafkan lelaki brengsek itu.
"menurut kamu, aku maafkan apa tidak?"
caera balik bertanya.
"loh, kok malah tanya aku sih? ya kamu dong. aku mana bisa kasih kamu jawaban itu"
Dinda makin berbisik dengan penekanan.
"kalau kamu di posisi ku, kamu maafkan tidak?"
caera bertanya lagi.
"hmmm.. kalau aku di posisi mu, pasti sudah aku tendang dia. aku silet- silet wajahnya. apalagi Vivi, aku terjang dia ke laut" Dinda bicara berapi-api.
sampai Alfian dan Rani ibunya caera menatap mereka bersamaan. dinda tersenyum canggung pada Rani karena terlihat begitu bersemangat membakar caera.
"haha kamu semangat sekali Din"
caera malah tertawa dengan tingkah Dinda.
"kamu kenapa tenang banget sih? malah aku yang terbakar"
dinda merasa heran melihat sikap caera yang terlihat lebih santai sekarang.
caera menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. matanya menatap Gino yang masih dengan semangat bercerita pada anak-anak Dinda.
"aku hanya memikirkan Gino Din. kalau aku berpisah, pastilah Gino sangat terpukul. tapi aku juga tidak bisa memaafkan Arya"
raut duka tergambar jelas di wajah caera. dia hanya menyembunyikan luka itu. tidak mau orang-orang yang menyayanginya merasa sedih.
"aku mengerti perasaan kamu Ra. aku harap kamu bisa kuat menghadapi ini"
dinda memberi semangat. menggenggam tangan caera hangat.
"kemarin aku bertemu Vivi"
caera menoleh ke arah Dinda. memandangnya ingin tahu.
"dia menghindari aku. ingin rasanya aku mencakar wajahnya itu. tidak ku sangka dia sepicik itu Ra"
ujar Dinda memperaktekkan tangannya mencakar dengan geram.
"seperti kucing saja kamu Din"
caera tersenyum melihat wajah geram Dinda. berbicara sambil menyipitkan mata penuh geram dan kebencian.
"iya, kucing ganas yang akan mencakar wajah menipu itu"
mencakar-cakar udara dengan ganasnya.
caera tertawa kecil. sungguh dia juga ingin melakukan itu. tetapi sungguh sayang tangannya akan menjadi kotor jika melakukan itu pada Vivi.
menjelang sore Dinda berpamitan pulang. dengan enggan Gino dan anak-anak dinda berpisah dan masih saling membuat janji.
****
angin malam berdesir halus. mempermainkan rambut caera. bintang berkelip di atas langit gelap. caera duduk di bangku taman rumah sakit.
caera merasa bosan hanya berada di kamar perawatan Gino selama beberapa hari ini. ingin keluar sekedar mencari angin. ia menunggu sampai Gino bisa tertidur. meminta ibu yang menjaga Gino sebentar.
Arya belum datang. atau mungkin tidak akan datang. entahlah, caera tidak peduli. jika Arya datang sekalipun, toh mereka tidak saling berbicara. hanya ketika terdesak saja baru caera becara pada Arya.
keadaan taman tidak terlalu sepi. masih ada beberapa orang yang juga menikmati malam di area rumah sakit. karena memang sudah waktunya pasien untuk beristirahat. hanya beberapa suster dan pegawai rumah sakit yang terlihat mondar-mandir.
caera tidak mau ibunya menunggu terlalu lama di kamar Gino. sebentar lagi pasti ayahnya datang menjemput ibu.
caera beranjak dari taman. melangkah pelan masuk ke dalam rumah sakit. menyusuri koridor yang tidak terlalu ramai.
di depan ada beberapa orang yang berjalan ke arahnya. ada beberapa dokter dan juga dua orang berjas lengkap tampak berbincang sambil berjalan.
caera menegang. ia mengenal dua orang itu. si robot kaku dan si pria Sok tahu.
astaga?!!
kenapa sih selalu bertemu dengan dua pria ini? apa tuhan mengirim mereka berdua untuk memata-matai caera? tapi untuk apa? mengapa selalu bertemu tanpa sengaja.
caera makin memelankan langkahnya. ingin berbalik, tapi si pria robot itu telah melihat padanya. ingin terus saja, sungguh caera tidak ingin berpapasan dengan mereka berdua.
mata Jacko semakin tajam menatapnya. caera begidik ngeri melihat tatapan Jacko yang seperti mengulitinya saja. mereka makin mendekat dan para dokter masih saja berbincang dengan Deva.
caera menahan napas berdoa semoga saja Deva tidak menyadari, caera ada beberapa meter saja di depannya.
merapatkan tubuhnya ke dinding agar memberi jalan pada mereka. sepertinya Deva tidak menyadari caera ada di dekat mereka. karena masih sibuk berbicara dengan salah seorang dokter.
Jacko berjalan tepat di sampingnya. melirik dengan tajam ke arahnya. caera juga menahan napas menatap mata Jacko. berdoa semoga ini cepat berlalu.
hhhaahhh.....
menghempaskan napas lega ketika mereka telah melewatinya. menatap punggung-punggung itu menjauh.
deva tiba-tiba tertegun seakan baru menyadari baru melewatkan sesuatu yang pernah ia lihat sebelumnya. menggerakkan tangannya menghentikan dokter berbicara. dia menghentikan langkahnya tiba-tiba. semua orang berhenti, termasuk Jacko.
menoleh ke belakang ingin memastikan apa yang telah ia lewatkan.
menatap punggung seorang wanita yang melangkah terburu-buru ingin segera menjauh.
"hey tunggu!"
panggilnya. suara bariton itu menggema di sepanjang lorong rumah sakit menghentikan langkah caera.
caera yang sudah bernapas lega, kini malah menegang dan diam berdiri tegak membatu mendengar suara tegas di belakangnya.
entah kenapa jantungnya berdegup keras. ia ingin menghindari pertemuan ini.
"ada apa tuan Dev? ada yang mengganggu anda?"
seorang dokter tepat di sebelah Deva bertanya. tidak mengerti mengapa Deva menghentikan orang yang telah mereka lewati.
Zaki, kepala rumah sakit yang Deva tunjuk untuk mengurus rumah sakit yang ayahnya dirikan beberapa tahun yang lalu.
Deva tidak menjawab. ia malah tersenyum memandang punggung yang masih tegak membelakangi mereka.
Deva melangkah menuju caera. beberapa dokter masih diam menunggu di tempatnya. hanya Jacko dan Zaki yang menyusul Deva menuju pada caera.
seletah berada di belakang caera, Deva menepuk pundak caera yang kaku itu.
caera menoleh pelan-pelan setelah merasa pundaknya di tepuk dua kali.
sudah seperti melihat hantu di rumah sakit yang horor saja. begitu menatap Deva di depannya, caera membulatkan matanya sempurna. melihat sosok tubuh tinggi tegap berdiri di depannya.
"hai.. kita bertemu lagi"
Deva menyapa dengan senyum menawan sambil mengulurkan tangannya ke arah caera.
"eh... kenapa bisa bertemu di sini?" caera bicara seperti orang linglung.
"karena kita bertemu" jawab Deva sekenanya.
"hey tuan, sepertinya anda mengikuti saya ya?"
caera menuduh sembarangan.
Deva menarik tangannya lagi karena caera tak menyambut hangat pertemuan itu.
mendengar perkataan caera, Jacko dan Zaki yang mengikuti Deva tadi menghentikan langkahnya. menatap tidak percaya, caera bisa mengatakan itu pada Deva.
mengikutinya??
Jacko menaikkan alisnya menatap caera tak menyangka wanita itu tidak menggubris uluran tangan Deva. baru kali ini Deva mendapat sambutan dingin dari seorang wanita.
tapi Jacko tahu, Deva pasti membiarkan masalah itu dan tidak menghiraukannya. tampak jelas rasa ketertarikan Deva pada caera.
"nona, jangan sembarangan bicara"
ujar Jacko dingin.
caera menatap Jacko dengan berani. walaupun hatinya merasa di pelintir karena rasa takut.
"lalu, kenapa selalu bertemu begini? seperti di sengaja"
suara caera bergetar halus. pastilah mereka dapat merasakan itu. caera takut pada Jacko.
aaaaaa... apasih si robot ini? kenapa begitu mengerikan menatap ku.
masih menatap Jacko dengan setengah keberanian yang di dominasi rasa takut yang kental.
"Jack, pergilah dulu. nanti aku menyusul" ujar Deva tanpa menoleh pada jack. Deva masih mempertontonkan senyum hangat pada caera. tidak menghiraukan sikap dingin caera.
Jacko dan Zaki, saling pandang. mereka tidak berani membatah Deva lagi. mereka pergi meninggalkan mereka berdua.
sebelum menghilang di tikungan koridor rumah sakit, Jacko menoleh menatap caera. dan membuat gerakan dengan dua jarinya menunjuk matanya, lalu dua jari itu menunjuk ke arah mata caera juga. memberi isyarat kalau dia tetap mengawasi caera.
caera bergidik ngeri. pria robot itu mengisyaratkan pertempuran menurutnya.
"jangan hiarukan. Jacko memang begitu"
Deva berkata pada caera seolah tahu apa yang Jacko lakukan tanpa melihatnya.
oohh.. punya nama juga si robot itu. Jacko
caera semakin pusing saja menghadapi kedua pria ini. sama-sama aneh menurutnya.
"kenapa kamu masih di sini? aku rasa kita tidak ada urusan bukan?" caera memberanikan diri bertanya.
"masih"
Deva menatap lekat mata caera. yang di tatap makin blingsatan. Deva merasa senang dengan kegugupan caera.
iiissshhh orang ini kenapa sih? menatap ku seakan senang sekali melihat aku membeku begini.
sungguh caera tidak mengerti mengapa selalu bertemu dengan Deva tanpa sengaja. dan Deva malah menikmati pertemuan ini.
"kau masih punya utang pada ku nona"
haaa.. utang?
"utang apa? aku tidak pernah meminjam uang mu tuan. kenapa aku berutang?" mengernyitkan kening merasa tidak pernah berutang apapun pada Deva.
"handuk kecil ku sudah bersih?"
Deva ingin tertawa terbahak. dia sangat senang membuat caera seperti ketakutan begitu.
astaga! handuk? orang seperti dia malah memusingkan handuk?
"oh handuk"
bergumam dan terlihat linglung. caera sungguh ingin menginjak kaki Deva.
"ya, kau berutang itu pada ku"
santai Deva menjawab.
"baiklah. aku akan membelikan handuk yang baru untuk mu" caera ingin cepat-cepat menyudahi ini.
"aku menunggu itu. nona..."
Deva sengaja menggantung bicaranya. ingin caera menyebutkan namanya.
"caera"
hah.. kena kau.
"nona caera. aku menantikan itu" senyum lebar menghiasi wajah tampan Deva. ia mendapatkan nama caera, yang bisa dengan mudah ia dapatkan tanpa bertanya pada sang pemilik. tapi dia ingin mulut caera sendiri yang mengatakannya.
beberapa suster melewati mereka dan mengangguk sopan pada Deva. tapi Deva tidak begitu memperhatikannya. hanya sibuk memandang pada caera yang merasa sangat tidak nyaman.
"baiklah. kalau begitu, permisi"
caera menyudahinya saja. pusing menghadapi orang asing ini.
"tunggu"
Deva menahan tangan caera.
eh.. apa-apaan sih?? apa lagi ini?
caera menatap tangan kekar Deva yang ada di pergelangan tangannya. dan menatap wajah Deva lagi dengan tatapan tidak mengerti.
"bagaimana kau mengembalikan handuk ku nona caera? tidak dengan melemparnya ke sembarang tempat bukan?"
aaaaa... aku ingin menggigit mu tahu
"eh.. alamat. beri aku alamat mu tuan"
uuhh.. bodoh.. bodoh..
sungguh caera merutuki dirinya sendiri. ia mendatangi pancingan Deva. tidak hanya di pancing, tapi juga sudah menggelepar di jala yang lebar. membuatnya sulit untuk keluar lagi.
Deva menyodorkan ponsel pada caera. caera menatap ponsel dan Deva bergantian. kenapa ponsel? aku minta alamat tuan!
"simpan saja nomor ponsel mu. aku akan menghubungi mu nanti"
ah.. aku terjebak
dengan berat hati caera mengetik nomor ponselnya di ponsel Deva. dan menyerahkan ponsel Deva dengan jengkel.
senyum Deva mengembang. sungguh hiburan baru baginya, membuat caera gugup itu sungguh menyenangkan. melihat wajah lucu itu kebingungan.
caera meninggalkan Deva yang masih menatapnya berlalu. sebelum masuk ke kamar perawatan Gino, caera menoleh ke arah Deva lagi. senyum itu masih bertengger mempesona di wajahnya. dan kini Deva melambaikan tangan padanya.
hhiiihhh...
caera bergidik ngeri melihat itu. cepat-cepat dia masuk ke kamar perawatan Gino. menutup pintu terburu-buru dan bersandar di balik pintu memegangi dadanya. menetralisir degup jantungnya yang tak beraturan.
aneh sekali pria itu. orang yang terlihat kaya masih sibuk meminta handuk yang sekecil saputangan untuk di kembalikan.
Daan sayang bngt aku ga punya Deva hhhh