NovelToon NovelToon
Tarian-tarian Wanita

Tarian-tarian Wanita

Status: tamat
Genre:Tamat / Mengubah Takdir / Fantasi Wanita / Slice of Life
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Made Budiarsa

Pada akhirnya dia terlihat menari dalam hidup ini. dia juga seperti kupu-kupu yang terbang mengepakkan sayapnya yang indah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Made Budiarsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2.1

Sementara aku mulai tinggal di rumah nenek selama tiga tahun. Aku juga masih belajar menari. Ini adalah hidupku, aku tidak akan melepaskannya. Selama itu, berbagai peristiwa terjadi.

Ibu beberapa kali mencoba mengajakku pulang, aku tidak menggubrisnya. Aku pikir Ibu menyerah tapi ternyata tidak.

Suatu ketika, Mbok Ayu mengajakku untuk menari di salah satu desa. Aku gembira dan menerimanya. Tapi ini bukan pengalaman yang baik; ketika aku mulai menari, semua orang seperti biasa memandangku. Aku adalah pusat perhatian mereka dan mereka adalah para tuan yang harus aku layani. Dengan Kamen yang indah berwarna merah muda, make up tipis dan rambut panjang, aku mulai menari, menggerakkan tangan dan melangkah dengan gesit di panggung. Tidak ada pengalaman terbaik ketika melakukan sesuatu yang disukai.

Sementara gambelan mulai bersuara merdu, meski hanya memakai sepiker.

Pada saat itulah, sosok wanita paru baya datang. Kehadirannya membuat semua orang bertanya-tanya apa yang di lakukannya. Pada waktu itu belum saatnya Seseorang boleh ngibing sehingga itu adalah tindakan yang tidak sopan.

Aku berhenti dan menatapnya.

Ibu menarik tanganku dan membawaku pergi. Semua orang memandang kami, termasuk mbok Ayu, mereka bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.

Ibu memegang erat tanganku, hingga beberapa jauh dari pusat keramaian.

Aku melepaskannya. “ibu, aku tidak ingin pulang.”

“Sari, ayo pulang.”

“Aku tidak mau.”

Ibu memandangku, penuh dendam.

“Aku harus menari.”

“Jangan menari seperti itu.”

“Memangnya kenapa? Ini adalah tradisi kita, mengapa kita tidak boleh melakukannya?”

“karena...”

“Aku tahu itu, tapi hanya orang-orang yang memiliki pemikiran seperti itu yang akan melakukannya. Mereka orang-orang yang mengacaukan keindahan seni tari ini. Ibu tidak boleh berpikiran sama seperti mereka. Tenang saja, aku akan baik-baik saja.”

“Ibu tidak suka.”

Ibu memegang tanganku, sangat erat lalu membawaku pergi. Aku menghempaskannya. “Ibu, aku ingin melanjutkan tarianku.”

“Tarian seperti itu tidak cocok denganmu. Iluh bisa mencari tarian lainnya.”

“Iluh tidak menyukainya. Iluh ingin menari tarian ini.”

“Sari, jangan keras kepala.”

“Sari tidak keras kepala, ibu yang memaksaku.”

Ibu terdiam dan ingin membawaku pergi.

Aku menghempaskannya, lalu berbalik pergi. Ibu ingin mengejarku, tapi berhenti lalu batuk-batuk dan suaranya sangat memilukan. Ibu tidak berusaha mengejarku dan pergi dari sana.

Satu hal yang tidak aku sadari waktu itu, ibu sakit dan sakitnya mulai menghancurkan tubuhnya secara perlahan-lahan. Aku ingin berdamai dengannya, tapi rasa keengganan tumbuh besar di dalam diriku.

Satu tahun setelah kepergianku, ibu masih ingin mengadakan kontak denganku, aku tidak memedulikannya. Ibu masih menginginkanku untuk kembali. Tapi jika aku kembali aku tidak akan bisa belajar menari lagi. Oleh karena itu aku tidak kembali.

Dua tahun kemudian, ibu sakit parah dan aku masih menginjak kelas tiga SMP. Ketika itu, aku bersiap-siap pergi ke sekolah. Paman datang mengunjungiku dan mengatakan kabar buruk. Ibu sakit dan di bawa ke rumah sakit. Katanya sakit ibu parah dan harus di jenguk. Paman juga mengatakan untuk melihatnya walaupun enggan. Dia mengatakan tidak akan tahu kapan saat-saat terakhir bertemu dengannya.

Aku mengikutinya dan pergi ke rumah sakit.

Ketika aku melihat wajah ibu, wajahnya pucat, rambutnya berantakan. Bibirnya kering. Beberapa alat medis terpasang di tubuhnya.

Ayah tidak mengatakan apa-apa dan terus terdiam. Sanak saudara dan teman ibu berdiri di sisi ibu. Mereka memandangnya dengan ekspresi rumit. Mereka mungkin bertanya dari mana aku dan mengapa aku tidak mengunjungi ibu yang sakit.

Mengabaikannya, aku berjalan mendekati ibu. Bibir ibu terbuka dan mengangkat tangannya. Dia sangat lemah sehingga aku membantunya. Memegang tanganku ibu terbata-bata memanggilku. Aku tidak tahu perjuangan seperti apa yang di alaminya untuk memanggilku.

Aku hanya terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa kemudian ibu melepaskan tangannya, memandang langit-langit lalu menghela nafas. Ibu memejamkan matanya. Aku pikir ibu hanya sedang tertidur, tapi ternyata itu adalah awal dari tidur panjangnya.

Beberapa hari selanjutnya, ibu di katakan koma. Kami sekeluarga sangat khawatir dengan kondisi ibu. Semua orang menunggu kabar gembira, tapi ibu benar-benar sakit parah dan sulit di obati. Dia semakin kurus dan wajahnya semakin pucat. Ibu tidak mau makan, kami berusaha membujuknya, tapi sia-sia. Ibu tidak akan makan. Tapi jika ibu tidak makan maka kondisi tubuhnya akan semakin lemah.

Suatu ketika aku sendiri di ruangan, ibu memejamkan matanya. Aku mengamati sekitarnya. Ada beberapa ranjang di sisi-sisi ruangan itu, dan hanya bisa di pisahkan dengan korden. Beberapa di antara pasien terlihat sehat, tapi sebagian terlihat menyedihkan.

Di sudut sana, seorang wanita paru baya tidur, tiba-tiba dia membuka matanya dan terbangun. Lalu mengisyaratkan sesuatu kepada seseorang yang menjaganya. Orang itu langsung membuka kantong plastik. Wanita itu membuka mulutnya dan mengeluarkan banyak darah.

Aku merasakan perasaan aneh ketika menatapnya. Aku memalingkan wajah menatap ibu. Ibu masih tertidur. Aku memeriksa denyut nadinya dan masih berdetak. Ibu masih hidup.

“Kapan aku akan mati?” tiba-tiba dia bertanya. Suaranya lemah dan tidak bertenaga.

Aku sedikit terkejut mendengarnya. “ibu tidak akan mati.”

Ibu tidak berkata lagi dan hanya terdengar suara nafasnya dan alat-alat medis.

Beberapa hari selanjutnya aku pulang dan di gantikan ayah. Aku harus sekolah, sudah beberapa hari aku tidak sekolah.

Ketika tiba di gerbang sekolah, Paman berlari dan berkata, “ibu... ibumu...”

Aku merasakan perasaan buruk terjadi ketika itu

*******

Waktu itu kami sekeluarga diam di ruangan tunggu. Kami semua menunggu dan di penuhi ekspresi rumit. Menunggu beberapa jam, akhirnya suster datang dan mengatakan, ibu sekarang lebih baik. Kami sekeluarga menghela nafas panjang. Pikiran-pikiran buruk kami terhapuskan. Ketika kami mengunjungi ibu, ibu sedang tidur dan suster mengatakan tidak boleh mengganggunya. Kami keluar. Paman membeli beberapa makanan, sementara aku pergi ke taman.

Di sana ada pohon besar, dan di bawahnya ada kursi kayu panjang. Aku duduk sembari melihat langit biru. Ini adalah titik yang baik untuk mendapatkan keindahan. Mengeluarkan kipas menari, aku mengamatinya beberapa saat lalu memasukinya kembali.

Tiba-tiba ada notifikasi dari mbok Ayu. Katanya ada upacara agama, dan mereka membutuhkan seorang penari. Lalu menambahkan jika kejadian dulu tidak boleh terjadi lagi. Aku merasa malu membacanya, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku menjawab tidak bisa mengikutinya.

Mbok ayu bertanya mengapa, aku mengatakan sibuk beberapa hari ke depan dan tidak bisa menghadirinya. Mbok ayu mengerti dan mengatakan menjaga kesehatan lalu menutup percakapan.

Beberapa hari selanjutnya kondisi ibu membaik dan wajahnya kembali segar walaupun dia sangat lemah.

Beberapa hari itu begitu menegangkan. Ibu bertanya kepadaku, “Kapan sari akan pulang?”

“Tidak tahu.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!