NovelToon NovelToon
ALTAIR: The Guardian Eagles

ALTAIR: The Guardian Eagles

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Fantasi Timur
Popularitas:16.6k
Nilai: 5
Nama Author: Altairael

[MOHON DUKUNGAN UNTUK CERITA INI. NGGAK BAKAL NYESEL SIH NGIKUTIN PERJALANAN ARKA DAN DIYAN ✌️👍]

Karena keserakahan sang pemilik, cahaya mulia itu pun terbagi menjadi dua. Seharusnya cahaya tersebut kelak akan menjadi inti dari kemuliaan diri si empunya, tetapi yang terjadi justru sebaliknya---menjadi titik balik kejatuhannya.

Kemuliaan cahaya itu pun ternoda dan untuk memurnikannya kembali, cahaya yang telah menjadi bayi harus tinggal di bumi seperti makhluk buangan untuk menggenapi takdir.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Altairael, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ALTERNATIF

Kedua altair utusan itu segera berlutut dan menunduk dalam-dalam. "Sugeng Rawuh, Altair Agung Cariyasukma." Suara mereka bergetar dan parau ketika mengucap salam bersamaan.

Mereka telah bertindak tidak terpuji---membuat banyak orang terlibat dalam kesulitan untuk seru-seruan. Walaupun tidak ada yang celaka tetap saja perbuatan itu tidak bisa dibenarkan.

Menciptakan makhluk-makhluk raksasa mengerikan dengan mainan yang diambil dari kotak mainan seorang anak, memberi kehidupan dan menyuruh mereka menyerang membabi-buta orang-orang yang ada di sekitar Arka dan Diyan.

Sangat keterlaluan, membuat seorang pria paruh baya panik, khawatir setengah mati terhadap keselamatan putranya. Sampai-sampai, tidak peduli berapa kali pun kendaraan yang ditumpanginya bermasalah, tetap nekad pergi menyusul. Namun, akhirnya pria itu menyerah pada rasa lelah, lantas tertidur di bawah pohon pinggir jalan saat sedang menunggu sopir mengganti ban mobil yang tiba-tiba kempes.

Cariyasukma sendirilah yang mengantar pria itu pulang. Membaringkannya di tempat tidur serta menghapus ingatan tentang peristiwa yang dialaminya pagi ini. Begitu juga ingatan sopir yang mengantarnya.

"Salam sejahtera untuk kalian." Sembari berucap, tatapan altair agung itu tertuju pada Laras yang wajahnya kian merah padam.

Bahkan dada dan bahunya naik-turun kasar, napas tidak beraturan karena menahan amarah. Matanya pun memerah, menatap tajam tanpa berkedip pada Arka dan Diyan yang masih saling menatap canggung.

Cariyasukma memerintahkan, "Tidurkan dan baringkan mereka semua di ruang tengah. Arka dan Diyan aku yang urus. Putrinya Suro Geni pisahkan dari yang lain."

Tawang yang merasa diri sangat kecil di hadapan sang altair agung, berucap penuh penyesalan tanpa berani mengangkat wajah, "Yang Agung Cariyasukma kami sungguh mohon ampun---"

"Hukuman bagi kalian masih bisa menunggu, tapi kedua putra Gaganantara hanya punya sedikit waktu. Cepatlah!" Setelah memberi perintah, altair agung itu segera melangkah menghampiri Arka dan Diyan. Dia meniup wajah keduanya dan seketika itu juga tubuh mereka terkulai, tetapi tidak sampai luruh ke tanah karena altair agung membuat tubuh keduanya melayang.

Kedua altair utusan pun segera bangkit, lalu melakukan hal yang sama pada yang lain. Mereka membawa tubuh orang-orang itu ke ruang tengah lalu membaringkannya di atas karpet, khusus untuk Laras, dibaringkan di dalam salah satu kamar lalu dikunci atas instruksi Cariyasukma. Sementara itu, Arka dan Diyan di baringkan di atas satu tempat tidur dalam kamar utama yang paling luas.

"Cahaya di dahi mereka bakal kembali normal dengan sendirinya, tapi entah kapan. Kita nggak bisa hanya diam menunggu." Sambil berbicara, altair agung membuat tangan Arka dan Diyan bertaut, lalu mengikatnya dengan benang cahaya yang sangat terang. "Ini adalah cara alternatif. Lebih lama dan mungkin sedikit merepotkan, kalian dilarang lengah. Kalau sampai tautan tangan mereka lepas, semua usaha akan sia-sia."

"Kami mengerti. Kami berjanji kali ini akan lebih berhati-hati." Sembari berbicara, Tawang melirik ke arah Suli.

Hatinya masih geram sekaligus menyesal---geram karena altair perempuan yang menjadi partnernya itu sangat keras kepala juga seenaknya sendiri---menyesal karena tidak bisa menolak ataupun bersikap tegas padanya.

"Suli mohon ampun, Cariyasukma Yang Agung." Suli menunduk dalam-dalam.

"Aku kecewa pada kalian. Tapi, harus diakui ide menciptakan ketegangan yang langsung bisa membuat mereka saling mengingat sangatlah brilian. Bahkan Arka tanpa sadar mampu mengeluarkan pedangnya. Mudah-mudahan itu bisa dijadikan pertimbangan untuk meringankan hukuman."

"Kami berjanji akan melaksanakan tugas dengan baik dan ...." Tawang tertegun, tampaknya ragu melanjutkan.

"Bicaralah. Setiap detik sangat berharga, Altair Tawang."

"Kenapa gadis itu harus dipisahkan dari yang lain? Maaf sudah lancang bertanya." Tawang terlihat gugup saat beradu pandang dengan altair agung.

"Dia bukan prioritas kalian." Altair agung menatap keduanya bergantian. "Jadi, abaikan saja."

"Sekali lagi saya mohon maaf," ujar Tawang kikuk karena merasa tidak enak hati.

"Aku serahkan semua yang di sini pada kalian. Cara ini akan membawa mereka mengalami kembali apa yang terjadi di masa satu tahun lalu dari awal hingga usai. Kalian punya waktu sampai tengah malam. Manfaatkan dengan baik. Jika gagal, hukuman kalian akan dilipatgandakan."

Kedua altair utusan menelan paksa ludah yang serasa padat menyakiti tenggorokan. Berurusan dengan kedua putra Gaganantara jika gagal konsekuensinya sangat fatal. Mereka sudah tahu itu dan sebenarnya tidak ada niat meremehkan, tetapi hanya ingin sedikit bermain-main dan tidak pernah menyangka kejadiannya akan seperti ini.

"Kami mengerti, Altair Agung Cariyasukma." Hanya itu yang mampu mereka katakan sambil menunduk dalam dan ketika mengangkat wajah, sosok altair agung sudah menghilang.

Kali ini, mereka tidak akan berani bermain-main lagi. Altair Suli segera duduk bersila di dekat kaki Diyan, sedangkan Altair Tawang di dekat kaki Arka. Keduanya berkonsentrasi penuh pada proses pemulihan ingatan, bahkan secara langsung turut menyaksikan apa yang dialami oleh kedua putra Gaganantara di alam bawah sadar mereka.

Adegan pertama yang menyambut mereka adalah awal kisah perjalanan Keluarga Gaganantara ke Desa Pandan yang terletak di lereng Gunung Pandan.

Dering alarm memecah hening pagi yang masih bernuansa kelabu. Tangan dari balik selimut meraba-raba gusar, begitu menemukan benda sumber berisik yang bertengger di atas nakas langsung melemparnya.

"Uuugggrrrhh!" Diyan menggerutu sembari menarik selimut hingga menutup kepala.

"Bangun pemalas!" Suara perempuan terdengar nyaring disertai ketukan kasar pada pintu.

Akan tetapi, tidak ada respons karena Diyan masih anteng di bawah selimut. Bahkan saat pintu dibuka kasar pun dia tidak kaget.

"Tsk, dasar." Melihat kelakuan putra bungsunya, Bu Harnum menggeleng pelan sambil melangkah menghampiri tempat tidur.

Berdiri sambil berkacak pinggang, matanya menyipit pertanda ancaman besar akan datang. Seperti ibu-ibu yang siap tempur di dapur, dia melipat kedua lengan bajunya. Rambut ikal kecokelatan yang tadinya tergerai, diikat tinggi asal-asalan mengunakan elastis warna hitam yang tadi ada di pergelangan tangan. Setelah itu, dia menarik selimut yang menutup Diyan.

"Ayo, bang---" Teriakannya seketika menguap saat melihat wajah tampan dengan pipi sedikit tembem itu tampak begitu damai. Dia jadi tidak tega untuk mengusik.

Pipi Diyan yang menekan bantal membuat bibirnya sedikit terbuka, mengingatkan Bu Harnum pada Diyan kecil yang menggemaskan. Kedua sudut bibir perempuan itu tanpa sadar tertarik tipis ke samping dan tatapannya pun menjadi lembut.

Senyum itu langsung sirna saat telapak kaki Diyan saling menggosok, lututnya pun semakin ditekuk hingga hampir menyentuh dada. Bu Harnum sudah hampir kembali menyelimuti si bungsu---berniat memberi sedikit tambahan waktu untuknya tidur. Toh, hari ini libur, sedangkan untuk perjalanan jauh yang rencananya akan dilakukan pukul enam pagi, bisa diundur sedikit. Namun ....

"Ehem, ehem ... Harnum, jangan lembek. Ojo ketipu rupa polosnya."

Nada jenaka dari sang suami yang ternyata sudah bersandar di pintu, sambil tersenyum geli cukup mengejutkan Bu Harnum. Terbersit rasa malu di hatinya karena kemarin malam setelah adu mulut dengan si bungsu, dia berteriak tegas akan menyiram Diyan dengan air es kalau susah dibangunkan.

Semarah-marahnya dia, tidak mungkin tega menyiram si bungsu dengan air es. Namun, membiarkannya begitu saja tanpa tindakan tegas hanya akan membuat suaminya terus-menerus meledeknya lembek. Akhirnya, Bu Harnum memukul Diyan menggunakan selimut.

"Bangun pemalas! Apa mau ibu siram beneran pakai air dingin dari kulkas!"

Pak Satria yang sudah hafal tabiat sang istri merasa geli dan terkekeh ringan. Dia masuk ke kamar hanya untuk mengambil beker yang telah hancur, lalu keluar sambil bergumam, "Mesakne tenan nasibmu, jadi remuk begini."

"Aaarrrggghhh!" Tiba-tiba Diyan berteriak seperti kesurupan. Membuat Pak Satria nyaris menjatuhkan beker yang sudah rusak.

Diyan sudah duduk, tetapi matanya masih merem dengan kepala terkulai ke belakang---mendongak. Pak Satria tersenyum geli sambil mengangkat bahu, lalu acuh tak acuh melangkah keluar. Dia dengan senang hati meninggalkan sang istri menangani si bungsu yang sedikit unik. Baik Pqk Satria maupun Arka, lebih suka mengatakan Diyan itu unik daripada bandel atau nakal.

"Masih gelap, Bu." Diyan mengeluh sambil garuk-garuk kepala, lalu memiringkan badan hendak kembali menyatu dengan bantal. Namun, gagal total karena sang ibu menarik telinganya. "Aaaw, sakit!"

Sebelum Bu Harnum sempat bersuara, suara lain sudah mendahuluinya, "Ya pasti gelap, la wong masih merem gitu." Setelah itu, Arka memeluk sang ibu dari belakang dan mencium kedua pipinya. "Pagi, Bu." Pemuda jangkung nan atletis berambut kecokelatan itu mendorong pelan sang ibu ke samping, menjauhkannya dari sang adik. "Biar aku saja yang urus, Ibu mending balik ke dapur."

Bu Harnum menatap lembut, lalu tangan kanan terangkat mengelus pipi putra sulung yang dianugerahi wajah rupawan nan sendu serta tatapan sayu. "Kamu memang bisa diandalkan."

"Wueek." Diyan pura-pura muntah untuk meledek ibu dan kakaknya.

Bu Harnum mendelik padanya. "Dasar bocah tambeng! Cepatan bangun, ke Desa Pandan itu lumayan jauh, loh."

"Aku sudah bilang nggak mau ikut!" Diyan menggerutu sambil balas mendelik pada ibunya.

"Dan ibu sudah bilang kamu harus ikut! Nggak ada penolakan, titik!"

Sama-sama berwatak keras dan suka berteriak. Sebelum ibunya semakin marah dan sang adik semakin membantah, Arka segera---dengan perlahan---mendorong sang ibu ke luar.

"Sudah, Bu. Biar aku saja yang urus."

Sebagai anak sulung, Arka memang bisa diandalkan. Pembawaannya yang kalem dan tidak banyak bicara lebih cocok untuk menghadapi Diyan yang keras kepala dan semaunya sendiri. Setelah berhasil mengusir ibunya, Arka berbalik dan mendapati sang adik memaksakan matanya yang masih mengantuk untuk melotot.

"Nggak perlu buang-buang waktu mbujuk aku. Pokoknya aku tetap nggak ikut. Timbang pergi ke desa, aku mending ke Jogja sama Niko dan Jayak." Setelah mengoceh, Diyan langsung membanting kepala ke bantal.

Meskipun risi dengan tatapan sayu dari kakaknya, dia berpura-pura tidak peduli. Namun, setelah lewat satu menit dan Arka tidak juga bersuara untuk memaksanya bangun, Diyan pun akhirnya tahu diri. Perlahan ogah-ogahan, dia pun beranjak juga dari kasur. Mendelik sesaat pada sang kakak yang berdiri tenang sambil melipat tangan di dada, lalu melangkah ke kamar mandi dengan kaki mengentak-entak.

Arka hanya menghela napas sambil menggeleng lemah. Dia mengenal adiknya dengan baik, untuk membuatnya menurut tidak perlu dengan berteriak marah. Semakin dikasari, Diyan juga akan semakin membangkang juga.

Perlahan dia mendekati pintu kamar mandi dan mengetuknya. "Bangun, An." Karena tidak ada suara aktivitas dari dalam, Arka yakin adiknya sekarang sedang duduk di atas toilet dan kembali memejamkan mata.

"Iya, iya!"

"Sepuluh menit."

"Uuuggghhh, oke!"

Arka tersenyum samar dan sekali lagi menggeleng, lalu bergegas keluar.

Setelah satu jam yang penuh drama berlalu, Diyan masuk ke mobil dengan bersungut-sungut, tidak ambil pusing dengan omelan ibunya. Setelah duduk dan memasang sabuk pengaman, dia pun menyandar nyaman dengan earphones menyumpal lubang telinga dan mata terpejam.

Pak Satria terkekeh ringan melihat kelakuannya. "Sudah, biarkan saja." Dia mencegah Bu Harnum yang sudah mengulurkan tangan hendak merampas earphones Diyan. "Kamu mau dia ngamuk sepanjang jalan, huh? Bisa budek kupingku."

"Manjakan saja terus---Arka awas kepala An!" Bu Harnum memekik dengan suara tertahan saat melihat kepala Diyan tiba-tiba terkulai ke samping, membentur kaca jendela hingga terdengar suara 'dugh'.

Benar-benar tukang tidur. Mobil belum berjalan, Arka baru selesai menata barang bawaan di bagasi, dan saat membuka pintu hendak masuk dikejutkan oleh teriakan ibunya. Namun terlambat, kepala Diyan sudah membentur kaca, tetapi tetap tidur nyenyak.

Arka membawa kepala adiknya ke pangkuan dan melepas earphones-nya. Bibir pemuda itu berkedut samar ketika mendapati bekas kemerahan di dahi adiknya yang barusan terbentur, lalu mengelus lembut menggunakan ibu jari.

"Bagaimana?"

Bu Harnum menjulurkan leher untuk melihat si bungsu dan Arka hanya memberi senyum samar sebagai jawaban.

Dasar Bu Harnum, barusan mengomel dan mengatai Pak Satria memanjakan si bungsu. Sekarang lihat, dia sendiri terlihat begitu cemas hanya gara-gara kepala si bungsu itu terbentur. Padahal, batok kepala anak bungsunya ini jauh lebih keras, saking keras kepalanya jadi suka membangkang.

"Kamu ini, dia bukan anak kecil lagi, loh. Waktu kecil saja tulang kepalanya nggak selembek adonan tepung. Kamu nggak lupa itu, toh?" Sambil terkekeh, Pak Satria pun melajukan mobilnya.

Bu Harnum mendengkus sebal. Mana mungkin dia lupa bagaimana lincah dan sangat aktif si bungsu sewaktu masih kecil. Entah sudah berapa puluh kali Diyan kecil jatuh terguling-guling di tangga teras, terkadang juga nyungsep di parit kecil yang ada di samping rumah, dan masih banyak lagi kecelakaan-kecelakaan kecil yang dialaminya.

Akan tetapi, anak itu selalu baik-baik saja. Luka pun tidak pernah bertahan lama di tubuhnya, karena Diyan itu istimewa. Tidak hanya Diyan, Arka pun sama istimewanya.

[Bersambung]

1
Aegis Aetna
ninggalin jejak dulu. nanti aku lanjut.
anggita
iklan☝+like👍 utk novel fantasi timur lokal. smoga sukses Thor
anggita
bojonegoro... jawa timur.
bang sleepy
Akhirnya sampai di chap terakhir update/Whimper/ aku bagi secangkir kopi biar authornya semangat nulis 🤭💗
bang sleepy
pengen kuguyur dengan saos kacang rasanya/Panic/
bang sleepy
brisik kamu kutu anjing! /Panic/
bang sleepy
bisa bisanya ngebucin di moment begini /Drowsy/
bang sleepy
mank eak?
diyan selalu berada di sisi mas arka/Chuckle/
bang sleepy
shock is an understatement....... /Scare/
bang sleepy
sabar ya bang arka wkwwk
bang sleepy
tetanggaku namanya cecilia trs penyakitan, sakit sakitan trs. akhirnya namanya diubah. bru sembuh
bang sleepy
mau heran tp mrk kan iblis /Drowsy/
bang sleepy
dun dun dun dunnnn~♪
bang sleepy
astaga suaranya kedengeran di telingaku /Gosh/
bang sleepy
Hah... jd raga palsu itu ya cuma buat nguji arka ama diyan
Alta [WP: Yui_2701]: Kenyataan emang pahit ya🤣🤣🤣🤣🤣🤣
total 1 replies
bang sleepy
bener uga ciii /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
bang sleepy
idih idihhh
bang sleepy
nyembur wkwkwkwk
bang sleepy
Tiba-tiba cinta datang kepadaku~♪ #woi
bang sleepy
kan bener. kelakuannye kek bokem. tp dia altair
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!