"Aku emang cinta sama kamu. Tapi, maaf ... kamu enggak ada di rencana masa depanku."
Tanganku gemetar memegang alat tes kehamilan yang bergaris dua. Tak bisa kupercaya! Setelah tiga bulan hubunganku dengannya berakhir menyakitkan dengan goresan luka yang ia tinggalkan, aku malah mengandung darah dagingnya.
Saat itu juga, aku merasakan duniaku berotasi tidak normal. Aku terisak di sudut ruangan yang temaram. Menyalahkan diri sendiri atas semua yang terjadi. Namun, satu yang aku yakini, hidup itu ... bukan pelarian, melainkan harus dihadapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yu aotian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 : Masa Puberku yang Tertunda
Awalnya ku tak mengerti apa yang sedang kurasakan
Segalanya berubah dan rasa rindu itu pun ada
Sejak kau hadir di setiap malam di hidupku
Aku tahu sesuatu sedang terjadi padaku
Aku jatuh cinta kepada dirinya
Sungguh-sungguh cinta oh apa adanya
Tak pernah kuragu
Namun tetap selalu menunggu sungguh aku
Jatuh cinta kepadanya (aku jatuh cinta_roulette)
Sebuah lagu yang sedang hits di radio manapun tengah mengalun riang dari ponselku. Lagu itu benar-benar mewakili perasaanku saat ini. Masa puberku yang tertunda baru saja dimulai. Saat SMA, ada cukup banyak lelaki yang hendak mendekatiku dengan berupaya mengambil simpatik, tak pernah kupedulikan. Kenapa sekarang berbeda?
Aku memeluk baju ospek yang kupakai hari ini. Rasanya sayang untuk dicuci karena ada bekas tangan kak Evan di sana. Aku lalu mengambil ponselku dan kembali membuka riwayat panggilan tak terjawab beberapa hari yang lalu, kemudian menyimpan nomor tersebut ke kontakku. Awalnya, aku menamakan kontak ponselnya dengan sebutan "Kak Evan", tapi aku buru-buru menghapusnya kembali sambil teringat ucapannya waktu itu.
"Tulis aja 'sayang' di situ."
Atas ingatan itu, aku menamakan kontak ponselnya dengan sebutan 'sayang'. Aku langsung menenggelamkan wajahku di kasur begitu nomor itu berhasil tersimpan. Senang dan malu berkumpul menjadi satu. Membayangkan kembali wajahnya, membuatku rindu ingin bersitatap dengannya lagi. Aku sampai menghentak-hentakkan betis di kasur tipis merasakan cinta yang kian membuncah.
"Halo ... halo ...."
Tunggu! Kenapa aku seperti mendengar suara kak Evan? Jangan-jangan aku sudah berhalusinasi! Jangan bilang, jatuh cinta benar-benar membuat kita menjadi gila!
Pendengaranku semakin kupertajam untuk menepis prasangka sendiri.
"Halo ... Ita ...." Suara lelaki itu kembali terdengar.
Aku mengangkat kepalaku dengan cepat. Tanganku menutup mulut yang langsung ternganga saat melihat layar ponsel yang menyala. Mengapa aku bisa melakukan panggilan ke nomor kak Evan?
"Ita?" Dia menambah intonasi suaranya.
Bagaimana ini? Aku kalang kabut di kamar kosku sendiri. Bahkan sampai menyembunyikan kepalaku ke dalam sarung bantal. Sementara dia terus memanggilku melalui saluran telepon.
"Halo ... Ita ... Grittania Zefanya kamu baik-baik aja?"
Aku langsung membuka sarung bantal yang membungkus kepalaku saat dia memanggil nama lengkapku dengan nada yang penuh kekhawatiran. Dengan ragu-ragu, aku mengambil ponselku lalu menempatkannya di telinga.
"Hallo ...."
"Ita? Kamu dengar aku?"
"Iya ...."
"Kamu di mana sekarang?" tanyanya cemas.
"Aku di kos."
"Kamu baik-baik aja?"
"I–iya. Maaf ... tadi aku tidak sengaja nekan tombol panggilan," ucapku lambat-lambat.
Aku mendengar helaan napas leganya. "Kirain ...."
"Maaf udah ganggu ...."
"Gak papa kok. Itu tandanya kamu benar-benar save nomor aku."
Ada beberapa detik terlewati tanpa suara sama sekali. Aku sampai kembali mengecek layar, memastikan dia masih dalam jangkauanku.
"Halo ...." Kami sama-sama mengucapkan itu.
"Lagi ngapain?" tanyanya.
"Lagi ... a ... e ... lagi istirahat."
"Ya, udah kalo gitu. Istirahat aja. Pasti capek banget, kan, seharian? Good night!"
Dan telepon pun terputus ....
Padahal aku masih ingin mendengar suaranya. Aku membentur-benturkan kepalaku di atas bantal. Seharusnya, aku tak menjawab seperti itu agar dia terus mengobrol denganku. Tapi ... tak apalah! Dengan begitu ini aku tidak terlihat sedang mengharapkannya.
***
Hari pertama kuliah pun tiba. Aku mempersiapkan diri sejak pagi tadi. Berdiri di depan cermin, aku memoles wajah seadanya dengan memakai bedak tipis-tipis dan mengusapkan lipgloss pink di bibirku yang kecil dan penuh. Rambutku yang panjang dengan poni depan yang menyamping kusisir rapi dan biarkan tergerai begitu saja.
Aku melangkahkan kaki memasuki salah satu universitas prestisius di negara ini. Menjadi mahasiswa kedokteran bukan hal yang mudah. Orang bilang masuknya saja sudah susah, kuliahnya susah, apalagi lulusnya nanti. Lebih susah!
Sudah bukan rahasia umum lagi kalau fakultas kedokteran diisi anak-anak dengan latar belakang orangtua yang kaya. Jika dari daerah, setidaknya dia adalah anak juragan atau pemilik sawah di desanya. Itulah yang membuatku sedikit minder ketika pertama kali bertemu dengan teman-teman seangkatanku. Ditambah lagi aku tak bisa menghilangkan aksen daerahku yang khas. Walaupun begitu, secara fisik dan rupa aku tak kalah dari gadis-gadis ibukota. Sebab, aku berasal dari daerah yang sukunya dikenal sebagai salah satu penyumbang visual tampan dan cantik di negara ini.
Sebelum memasuki ruang kelas, aku sengaja berkeliling fakultas terlebih dahulu. Berharap, mungkin aku bisa bertemu kak Evan atau sekadar melihatnya dari jauh. Sayangnya, hingga sudah mengitari gedung fakultas pun, aku tak melihatnya. Apa mungkin dia belum datang? Mengingat, aku tiba di kampus terlalu pagi. Entahlah ...
Akhirnya, aku pun memutuskan masuk ke kelasku. Aku sedikit gugup dan takut. Kulihat beberapa teman sekelas telah akrab satu sama lain. Hanya aku yang masih belum memiliki kenalan apalagi teman. Aku mengambil tempat duduk di pojok paling belakang.
Seorang teman lelaki datang mendekat, duduk di hadapanku dalam posisi terbalik. Wajahnya cukup tampan dengan gaya fashion ala Pasha Ungu yang saat ini menjadi trendsetter kalangan pemuda.
"Nama lo Gritta, kan?"
Aku mengangguk pelan.
"Gue Andrian." Dia mengulurkan tangannya.
Aku menyambut uluran tangannya dengan menampangkan wajah datar. Dia kemudian mengobrol denganku, sekadar meninggikan diri agar terlihat keren. Aku hanya terus diam tanpa berkata apa-apa. Tak lama kemudian, dia pergi dan kembali bergabung dengan kawan-kawan lelaki.
Sayup-sayup, kudengar pembicaraan antar mereka.
"Enggak ada ngomong apa-apa. Bisu kali!" cela lelaki tadi dengan nada kesal.
Teman-temannya pun lantas tertawa.
"Selama ospek gua juga gak pernah dengar dia ngomong!" sahut temannya yang lain.
"Kalo gak bisa ngomong, gimana kalo mau nanya ma pasien?" imbuh lainnya sambil tergelak.
Aku meremas kertas catatanku. Sebenarnya, aku juga ingin mengobrol santai seperti kawan-kawan lainnya. Namun, aku tidak tahu bagaimana cara memulainya. Selain itu, aksen bahasaku yang berbeda dari mereka, membuatku sedikit tak percaya diri untuk berbicara.
"Selamat pagi wahai calon-calon dokter!" Suara bariton seseorang membuatku tersentak.
Sempat mengira dosen, ternyata yang datang adalah Arai. Berbeda dari hari-hari sebelumnya, kali ini dia tampak lebih bersih dan rapi. Kehadirannya, disambut senang oleh seisi kelas kecuali aku yang langsung tergemap dan menundukkan kepala. Tentu saja aku masih malu dengan kejadian di balkon waktu itu.
"Arai, lo keren banget hari ini!" puji perempuan di kelasku.
"Ternyata elo tahu bergaya juga, ya! Style lo dah kek ketua BEM kita, Bro!" imbuh salah satu laki-laki.
"Maklum, aku kan sudah jadi anak Jakarta," ucap Arai penuh canda.
Jika aku introvert, maka Arai adalah kebalikanku. Dia sangat supel, riang dan tidak minder meski aksen Melayunya terkadang menjadi bahan olok-olokan teman-teman. Untuk seseorang yang mengaku datang dari sebuah desa di pulau kecil, dia sangat hebat karena bisa beradaptasi dengan anak muda ibukota. Aku sangat ingin memiliki sifat seperti itu.
Tiba-tiba salah satu dari perempuan berceletuk. "By the way, gue semalam nemu akun FB-nya kak Evan."
"Serius?! Apa nama akunnya?" tanya para perempuan.
Mendengar mereka menyebut nama kak Evan, aku pun segera menoleh. Sialnya, tatapanku langsung tertuju pada Arai yang juga menatapku dengan menelisik. Aku lantas buru-buru menunduk dengan badan setengah membungkuk bahkan membiarkan sebagian rambutku menutupi wajah agar tak terlihat olehnya. Mirip seperti Sadako, hantu lagendaris Jepang yang keluar dari sumur.
Gawat, dia mendekat ke arahku. Apa yang harus kulakukan?
.
.
.
Gays, sampai chapter ini kalian pilih siapa? Evan atau Arai?
Kalo kak Yu suka tokoh abu2, berarti Tuan Lim ya?
Berkelas atau tidak Evan sukanya sama Ita, titik. Yg menilai tdk berkelas kan kamu Nadin krn mlihat hanya krn harta dan kedudukan