NovelToon NovelToon
Aji Toba

Aji Toba

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Misteri / Epik Petualangan / Horror Thriller-Horror / TimeTravel / Penyeberangan Dunia Lain
Popularitas:232
Nilai: 5
Nama Author: IG @nuellubis

Masih kelanjutan dari PETUALANGAN AJI DI MASA DEPAN.

Petualangan Aji kali ini lebih kelam. Tidak ada Pretty, dkk. Hanya dirinya, Sari (adiknya), bidadari nyentrik bernama Nawang Wulan, Tumijan, Wijaya, dan beberapa teman barunya seperti Bonar dan Batubara.

Petualangan yang lebih kelam. Agak-agak horor. Penuh unsur thriller. Sungguh tak bisa ditebak.

Bagaimanakah dengan nasib Pretty, dkk? Oh, tenang, mereka masih memiliki porsi di serial ini!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IG @nuellubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sari Menghilang

Tiba-tiba saja adiknya Aji, yaitu Sari menghilang. Aji kalang kabut. Tak hanya Aji, teman-teman Aji yang lainnya pun sama. Nawang Wulan coba membantu Aji dengan kemampuan supranatural miliknya. Namun, nihil. Tetap tak ditemukan di mana Sari berada. Lalu Wijaya menengarai apakah ada kaitannya dengan kemunculan begu ganjang kala itu?

Ompung pun berpendapat yang sama. "Bisa jadi opinimu itu, Wijaya. Di sini, kadang setiap kehilangan seseorang, suka dikaitkan dengan begu ganjang atau diculik pasukan musuh."

Mendengar itu, Aji makin bergidik. Nawang Wulan lalu coba menenangkannya. Sementara, seperti biasa, Tumijan membuat ekspresi lucu untuk Aji. Wijaya coba menghibur Aji dengan beberapa petuah-petuah sederhana dari kampung halamannya di Mataram.

Hujan rintik-rintik mulai turun di halaman rumah Togar. Api panggangan babi hutan masih menyala, tetapi kini kobarannya seperti menurun, seolah ikut tegang bersama para penghuni halaman. Aji berdiri terpaku, napasnya naik turun, kedua tangan mengepal sampai buku-buku jarinya memutih.

“Sari… ” Aji terus memanggil, suaranya parau.

Tak ada jawaban. Bahkan gema pun tidak. Padahal tadi Sari masih duduk di dekat tungku kecil sambil membantu Nawang Wulan membersihkan daun-daun sayur. Hanya beberapa saat Aji memalingkan wajah. Sari lenyap seperti ditelan bumi.

Nawang Wulan berdiri tegak, kedua telapak tangan menengadah ke langit. Matanya terpejam, bibirnya komat-kamit melafalkan mantra halus yang berasal dari kahyangan. Angin di sekitar mereka berputar kecil, menyibak rambutnya. Namun setelah beberapa saat, ia membuka mata dan menggeleng perlahan.

“Energinya… tidak ada jejaknya,” katanya lirih.

Aji merosot duduk di tanah basah. Tumijan buru-buru menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu.

“Tenanglah, Aji… mungkin dia lagi pipis di balik pohon. A-atau mungkin dia ngerjain kamu,” kata Tumijan mencoba bercanda, tapi suaranya sendiri terdengar gemetar.

“Tumijan,” tegur Wijaya dengan nada rendah. “Jangan sembarangan bicara kalau situasi begini.”

Tumijan langsung tutup mulut, mengangguk.

Ompung Hosian, si tetua yang tadi bercerita tentang begu ganjang, mengusap jenggot putihnya yang panjang. Tatapannya menyapu halaman, kemudian hutan gelap di belakang rumah Togar.

“Sudah berapa lama gadis itu hilang?” tanya Ompung.

“B-baru lima belas detik,” kata Aji, suaranya pecah.

“Kalau begitu… itu bukan hilang biasa.”

Darah Aji mendadak dingin, saat mendengar si ompung itu berkata.

Ompung melanjutkan, “Di daerah sini, kalau seseorang hilang secepat itu, biasanya hanya dua kemungkinan. Bisa diculik pasukan musuh yang sudah mengintai jauh-jauh hari… atau bertemu sesuatu.”

“Begu ganjang…” desis Wijaya, seperti mengulang ketakutan yang menggantung.

Aji menelan ludah, dadanya sesak. “Tapi begu ganjang itu hanya legenda, kan? Cerita rakyat?”

Ompung mengibaskan tangan. “Di tanah ini, Aji. Tidak semua legenda itu sekadar legenda.”

Togar muncul dari dalam rumah dengan wajah tegang.

“Tadi istriku bilang… ia sempat melihat bayangan tinggi di dekat pohon durian,” kata Togar dengan mimik serius.

“Berapa tingginya?” tanya Wijaya.

Togar menghela napas berat. “Katanya lebih tinggi dari atap rumah.”

Tumijan menjerit kecil. “Astagh—”

“Tumijan!” seru semua orang bersamaan.

Suasananya makin mencekam.

Ompung kemudian mengajak mereka membentuk lingkaran. “Dengar kalian semua. Begu ganjang itu tidak selalu terlihat. Kadang dia memanjang saat jauh, mengecil saat dekat. Dia tidak berjalan… tapi seolah melayang di udara. Kalau dia membawa seseorang, biasanya… orang itu tidak kembali dalam keadaan sama.”

Aji menegakkan tubuh. “Tidak peduli bagaimana keadaannya nanti. Saya harus temukan Sari. Hidup atau mati.”

Nawang Wulan memegang lengannya. “Aji… jangan dulu pergi sendirian.”

“Kalau tidak sekarang, dia akan—”

“Aji,” kata Wijaya pelan tapi tegas. “Dengarkan orang yang lebih berpengalaman dari dirimu. Kita tidak boleh sembarang masuk ke hutan di daerah ini.”

Aji terdiam, tapi matanya memerah.

Angin malam tiba-tiba berhenti. Hutan yang tadinya dipenuhi suara tonggeret mendadak sunyi total. Bahkan api panggangan seperti meredup.

Lalu terdengar suara ‘duk… duk… duk…’ dari kejauhan.

Semua orang langsung mematung.

“Apa itu?” bisik Tumijan ketakutan.

Ompung mengangkat telunjuknya. “Jangan bersuara.

Duk… duk… duk…

Seperti langkah kaki, tapi terlalu berat, terlalu lambat, terlalu ritmis untuk makhluk biasa.

Aji menggenggam tanah. “Sari…”

Nawang Wulan memejamkan mata lagi, kali ini lebih lama. “Energi asing itu… datangnya dari arah selatan. Bukan makhluk kahyangan. Bukan jin Majapahit. Ini… lain.”

“Lain bagaimana?” tanya Aji cepat.

Nawang Wulan menatapnya lama. “Energinya seperti… panjang dan agak menyeramkan.”

Tumijan langsung memukul kepalanya sendiri. “Aduh... sudah tahu begitu… kenapa kita juga panggang babi malam begini!? Ini malam apa sih—”

“Sip babami!” bentak Togar.

Tak lama kemudian, dari arah pepohonan gelap terdengar suara dedaunan bergesek. Batang pohon seperti digoyang sesuatu yang besar atau panjang. Aji setengah berdiri, siap berlari kapan saja.

“Kalau itu begu ganjang…” kata Wijaya, menelan ludah, “bagaimana cara kita mengejarnya? Dia bisa memanjangkan tubuhnya sampai tak terlihat ujungnya.”

Ompung menarik tongkat kayu dari pinggangnya. “Begu ganjang tidak suka api. Dia juga tidak suka suara lonceng. S-sayangnya… kita tidak punya lonceng.”

Tumijan mengangkat alat masak. “Ini bisa tidak?” Ia menggoyang-goyang tutup panci.

Tidak ada yang tertawa. Tumijan sontak terkekeh dengan kakunya.

Namun Togar tiba-tiba menyalakan obor tambahan. “Kita harus cari gadis itu. Tapi jangan berpencar. Kita hanya mengikuti jejak… kalau ada.”

“Aku ikut,” kata Aji.

“Jelas kau ikut,” jawab Wijaya. “Itu adikmu.”

Mereka lalu berjalan perlahan ke pinggir halaman. Aji memeriksa tanah. Tidak ada jejak kaki Sari. Hanya rumput tertekan sedikit, seolah seseorang melayang, bukan berjalan.

Hati Aji makin kacau.

Nawang Wulan menatap rumput yang tertekan itu. “Ini bukan jejak manusia. Ini seperti… tarikan. Sepertinya sesuatu sedang menyeret angin di belakangnya.”

Tumijan menggigil. “Se-seperti… bayangan?”

“Bayangan yang punya tubuh,” jawab Ompung. "Yang ini tidak."

Namun tiba-tiba angin bertiup sangat kencang dari arah hutan. Ompung langsung berseru, “Berlindung!”

Namun angin ini bukan sekadar angin biasa. Aji merasakan bau tanah basah bercampur wangi bunga bangkai. Telinganya berdenging. Matanya berkunang-kunang. Lalu samar-samar ia melihat sesuatu di antara pepohonan.

Muncul bayangan yang tinggi. Sangat tinggi.

Tinggi sampai kepalanya seolah menyentuh puncak pohon aren. Tubuhnya gelap, memanjang seperti benang hitam raksasa yang ditarik ke langit. Yang paling menakutkan adalah wajahnya tidak terlihat. Hanya dua titik cahaya kecil seperti mata yang sangat jauh, tapi menatap mereka.

Tumijan jatuh terduduk. “Ampun… ampunnn…”

Ompung mengangkat tongkatnya dan berkata keras, “Tidak semua makhluk malam bisa kau takuti dengan menangis! Bangun kau, Biang!”

Bayangan itu bergerak sedikit. Tidak berjalan, tapi bergeser, memanjang, lalu memendek lagi. Seolah dunia di sekitarnya sedang dimanipulasi.

Aji maju satu langkah.

“AJI!!” teriak semua orang bersamaan.

Namun Aji sudah melihatnya. Ternyata ada seutas kain kecil berwarna merah muda. Tersangkut di semak-semak dekat kaki bayangan itu. Kain milik Sari. Tanpa berpikir panjang, Aji berlari.

“AJIII!!!” suara Nawang Wulan menggema kencang, tetapi Aji sudah menerobos kegelapan.

Bayangan itu bergerak cepat ke belakang pohon, tubuhnya memanjang hingga seperti garis hitam raksasa yang ditarik ke arah tebing.

Aji mengejar, napas terburu-buru. “SARI!!!”

Tiba-tiba bumi di bawah kakinya bergetar.

Wijaya dan Tumijan menyusul dari belakang.

“Aji! Berhenti!” seru Wijaya.

“Aku lihat kainnya!” balas Aji. “Sari pasti dibawa ke arah sana!”

Namun sebelum mereka bisa mendekati tebing, Nawang Wulan menjerit, “HATI-HATI!!!”

Sesaat kemudian tanah di depan Aji retak seperti mulut besar yang hendak menelan. Angin dingin keluar dari celah tersebut. Angin yang sangat familier bagi Aji. Itu adalah angin dunia lain.

“Lubang hitam…” gumam Aji ngeri.

Dalam sekejap, retakan itu melebar, yang membentuk putaran cahaya gelap.

Tubuh Aji terseret.

“TIDAAAK!!” Wijaya dan Tumijan mencoba menarik tangannya.

Namun Aji sudah merasakan energi yang sama seperti yang pernah menculiknya dari abad 21. Benda itu menyedot tubuhnya pelan-pelan. Dari dalam pusaran cahaya, terdengar suara tipis yang mirip suara anak perempuan sedang menangis.

“Sari?” bisik Aji, matanya melebar.

Tepat sebelum tubuhnya benar-benar terseret ke dalam lubang hitam, bayangan tinggi di balik pepohonan bergerak perlahan seolah sedang menonton. Ia membiarkan sekaligus menunggu.

Aji menoleh ke belakang, memandang Wijaya dan Tumijan untuk terakhir kalinya.

“Aku akan cari Sari,” kata Aji dengan suara bulat. “Apapun yang terjadi.”

Cahaya gelap menelannya seketika.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!