SINOPSIS
Laura Christina telah menyimpan perasaan pada Julian Mahardika sejak mereka kuliah—sepuluh tahun yang terasa seperti selamanya. Julian, pria yang membangun tembok tinggi di sekitar hatinya setelah tragedi masa lalu, tidak pernah menyadari cinta diam-diam Laura. Ketika kehidupan membawa mereka kembali bersama dalam proyek berbahaya yang melibatkan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman maut, Laura harus memilih: tetap bersembunyi di balik senyumnya atau mengambil risiko kehilangan segalanya—termasuk nyawanya—untuk pria yang bahkan tidak tahu dia ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30: ANCAMAN BELUM BERAKHIR
#
Keesokan paginya, Laura dan Julian bangun dengan cahaya matahari yang masuk lewat jendela kamar. Mereka tidur di kamar yang sama semalam—Julian gak mau jauh-jauh dari Laura, dan Laura udah gak keberatan lagi.
Laura bangun duluan, menatap wajah Julian yang masih tidur dengan damai. Dia tersenyum kecil, masih gak percaya semua yang terjadi semalam itu nyata. Ciuman mereka, pengakuan cinta mereka—semua terasa kayak mimpi indah yang dia gak mau bangun.
Tangannya bergerak perlahan, menyentuh wajah Julian dengan lembut. Julian langsung terbangun—refleks militernya yang gak pernah hilang—tapi begitu lihat Laura, dia langsung tersenyum.
"Pagi," bisiknya dengan suara serak.
"Pagi," jawab Laura, pipinya sedikit memerah. "Maaf bangunin lo."
"Gue gak keberatan dibangunin kalau yang gue lihat pertama kali adalah lo," ujar Julian, menarik Laura lebih dekat ke pelukannya.
Mereka berbaring seperti itu beberapa menit—nyaman, hangat, damai. Tapi ketenangan itu pecah saat ponsel Julian berbunyi keras di meja samping.
Julian meraihnya dengan malas, tapi ekspresinya langsung berubah saat lihat nama di layar. Adrian.
"Adrian, pagi. Ada apa?" jawabnya, nada suaranya langsung berubah jadi waspada.
Laura merasakan tubuh Julian menegang di sampingnya. Dia duduk, menatap Julian dengan khawatir.
"Kapan?" tanya Julian dengan nada tajam. "Dimana? Oke. Oke, gue akan balik ke Jakarta sekarang. Jangan biarkan siapapun keluar masuk tanpa izin gue. Dan tingkatkan security di semua lokasi."
Dia menutup telepon dengan ekspresi yang membuat Laura langsung tau ada masalah besar.
"Apa yang terjadi?" tanya Laura, sudah duduk sekarang.
Julian diam sebentar, seolah mikir harus bilang atau enggak. Tapi akhirnya dia tau Laura berhak tau.
"Leon kabur dari tahanan polisi semalam," ujarnya dengan nada datar tapi mata nya penuh kemarahan. "Dia—dia nyogok beberapa polisi dan berhasil kabur. Dan pagi ini, Adrian nerima paket di kantor Sentinel."
"Paket apa?"
Julian menatap Laura dengan tatapan yang penuh kekhawatiran. "Foto lo. Foto lo di rumah sakit kemarin pas kontrol. Foto lo di apartemen gue. Foto lo—" suaranya bergetar "—foto lo kemarin pas kita pergi dari apartemen ke sini."
Laura merasakan darahnya membeku. "Dia—dia ngikutin kita?"
"Sepertinya dia atau orang-orangnya udah ngawasin lo sejak lo keluar dari rumah sakit," jawab Julian, berdiri dan mulai packing barang mereka dengan cepat. "Dan sekarang dia kabur—itu artinya dia planning sesuatu. Sesuatu yang besar."
Laura duduk di tepi tempat tidur, tubuhnya gemetar. Baru kemarin dia ngerasa aman, ngerasa bahagia. Dan sekarang—sekarang Leon kembali mengancam lagi.
"Kita harus balik ke Jakarta sekarang," ujar Julian dengan tegas. "Dan lo—lo harus di tempat yang lebih aman. Gue gak bisa ambil resiko lagi."
***
Perjalanan balik ke Jakarta terasa lebih tegang dari perjalanan ke Puncak kemarin. Julian nyetir dengan cepat tapi hati-hati, matanya terus check spion untuk pastiin gak ada yang ngikutin. Laura duduk diam, pikiran nya penuh dengan ketakutan yang dia pikir udah hilang.
Mereka gak langsung ke apartemen Julian. Mereka ke kantor Sentinel dulu—tempat yang lebih aman dengan security berlapis.
Di kantor, Adrian udah nungguin dengan wajah serius. Di mejanya, tergeletak paket yang dia sebut tadi—box kardus sederhana tapi isinya bikin Laura pengen muntah.
Belasan foto Laura. Semua diambil tanpa Laura sadar. Ada foto dia di parkiran rumah sakit. Foto dia di jendela apartemen Julian. Foto dia dan Julian kemarin saat masuk mobil. Semua dengan kualitas tinggi, jelas—bukan foto yang diambil dari jauh dengan sembarangan.
Dan di setiap foto, ada tanda X merah di wajah Laura. Ditambah tulisan dengan tinta merah: **"HUTANG HARUS DIBAYAR."**
"Bajingan," gumam Julian, tangannya mengepal dengan kuat. "Dia berani—"
"Boss, ada lebih banyak lagi," potong Adrian, menunjuk layar laptopnya. "Pagi ini, akun-akun anonim di social media mulai posting ancaman. Mereka mention nama Miss Laura, alamat kantor dia, bahkan—" dia ragu "—bahkan foto keluarga Miss Laura."
Laura merasakan lututnya lemas. Dia duduk dengan cepat sebelum jatuh. "Keluarga aku?"
"Ortumu di Surabaya udah gue hubungi," ujar Julian cepat. "Gue udah kirim tim keamanan ke sana. Mereka aman. Tapi Laura—" dia berlutut di depan Laura, memegang tangannya yang gemetar "—Leon serius kali ini. Dia gak cuma ngancam. Dia planning sesuatu."
"Kenapa dia begitu obsessed?" bisik Laura, air matanya mulai jatuh. "Kenapa dia gak bisa berhenti?"
"Karena dia gila," jawab Julian dengan nada keras. "Karena dia udah kehilangan segalanya dan sekarang dia cuma pengen balas dendam. Dan cara paling efektif untuk nyakitin gue adalah—"
"Nyakitin aku," selesai Laura dengan suara kecil.
Julian menutup matanya, merasakan kemarahan dan ketakutan bercampur di dadanya. Dia nyaris kehilangan Laura sekali. Dia gak akan biarkan itu terjadi lagi.
"Adrian, hubungi semua tim," perintahnya dengan nada komando yang tajam. "Gue mau security ditingkatkan dua kali lipat—gak, tiga kali lipat. Gue mau orang di apartemen gue 24/7. Gue mau tracking semua CCTV di area sekitar kantor, apartemen, dan semua tempat yang sering Laura kunjungi. Dan gue mau—" dia berhenti, menarik napas "—gue mau Laura pindah ke safe house."
"Apa?" Laura menatapnya dengan shock. "Safe house? Julian, aku gak bisa—"
"Lo harus," potong Julian dengan tegas. "Laura, dengerin gue. Leon udah kabur. Dia udah punya foto lo dari seminggu terakhir—itu artinya dia tau kemana lo pergi, kapan lo keluar, siapa yang lo temui. Apartemen gue gak aman lagi. Kantor lo gak aman. Gue—" suaranya pecah "—gue gak bisa kehilangan lo lagi."
Laura menatap mata Julian yang penuh dengan ketakutan dan kepanikan. Dia pengen protes, pengen bilang dia bisa jaga diri sendiri. Tapi dia inget—dia inget Leon dan orang-orangnya. Inget pisau yang diacungin ke dia. Inget gudang dimana dia nyaris mati.
"Okay," bisiknya akhirnya. "Okay, aku akan ke safe house. Tapi lo—lo harus janji lo gak akan biarkan Leon menang. Lo harus janji kita akan melewati ini."
Julian memeluknya dengan erat, wajahnya terkubur di leher Laura. "Gue janji. Gue janji dengan nyawa gue, Laura. Gue akan lindungi lo. Gue akan tangkap Leon. Dan gue akan pastiin lo aman."
***
Sore harinya, Laura dipindahkan ke safe house—sebuah rumah di kawasan Bintaro yang dijaga ketat oleh tim keamanan Sentinel. Rumah itu nyaman tapi terasa kayak penjara. Laura gak bisa keluar tanpa izin. Gak bisa ketemu siapapun kecuali Julian, Nia, dan Felix yang udah di-clear sama tim keamanan.
Malam pertama di safe house, Laura duduk di kamar dengan jendela yang dipasang teralis besi. Dia natap keluar, merasakan kebebasannya diambil lagi—kali ini bukan karena sakit, tapi karena ancaman.
Ketukan di pintu bikin dia menoleh. Julian masuk dengan dua cup kopi dan senyum lelah di wajahnya.
"Lo udah makan?" tanya nya, duduk di samping Laura.
"Belum lapar," jawab Laura dengan suara pelan.
Julian menatapnya dengan khawatir. "Lo harus makan. Dokter bilang lo harus jaga kesehatan—"
"Aku tau," potong Laura dengan nada yang lebih tajam dari yang dia maksud. "Maaf. Aku cuma—aku cuma benci ini. Benci harus sembunyi kayak penjahat. Benci Leon masih bisa ngontrol hidup kita."
Julian meletakkan cup kopi dan menarik Laura ke pelukannya. "Ini gak akan lama. Gue janji. Gue udah kerja sama dengan polisi, gue udah hire private investigator terbaik, gue udah—"
"Berapa lama, Julian?" tanya Laura, menatap mata nya. "Berapa lama aku harus hidup kayak gini? Sembunyi, takut, gak bisa keluar?"
Julian gak bisa jawab. Karena dia gak tau. Leon udah terbukti licik dan berbahaya. Dan sekarang dengan dia kabur, gak ada yang tau apa yang dia rencanakan.
"Gue gak tau," jawabnya dengan jujur. "Tapi yang gue tau—gue akan lakuin apapun untuk ngakhirin ini. Apapun."
Laura memeluknya balik, merasakan detak jantung Julian yang cepat. Dia tau Julian sama takutnya kayak dia. Mungkin bahkan lebih—karena Julian punya trauma kehilangan orang-orang yang dia sayangi.
"Kita akan melewati ini," bisik Laura, lebih untuk meyakinkan diri sendiri. "Kita udah melewati banyak hal. Kita pasti bisa melewati ini juga."
"Iya," jawab Julian, mencium puncak kepala Laura. "Kita pasti bisa."
Tapi di dalam hatinya, Julian merasakan ketakutan yang dia gak bisa sembunyiin sepenuhnya. Karena Leon bukan musuh biasa. Leon adalah orang yang udah kehilangan segalanya dan gak ada yang bisa hilang lagi.
Dan orang-orang kayak gitu—orang-orang yang udah gak punya apa-apa untuk hilang—adalah yang paling berbahaya.
Malam itu, Julian tidur di sofa di kamar Laura, gak mau jauh-jauh dari dia. Setiap suara kecil bikin dia terbangun, tangan otomatis ke pistol yang dia sembunyiin di bawah bantal.
Dan Laura—Laura berbaring di tempat tidur dengan mata terbuka, menatap langit-langit, merasakan kebahagiaan kemarin yang begitu indah sekarang terasa jauh.
Mereka baru aja menemukan satu sama lain. Baru aja mulai bahagia. Dan sekarang Leon—Leon mengancam untuk merebut semua itu lagi.
Tapi Laura gak akan biarkan itu terjadi. Dia udah fight terlalu keras untuk dapet Julian. Dia gak akan biarkan siapapun—bahkan Leon—merebut kebahagiaan yang baru dia temukan.
Besok mereka akan fight. Akan cari cara untuk ngakhirin ancaman ini. Akan ambil kembali kontrol atas hidup mereka.
Tapi malam ini, mereka biarkan diri mereka takut. Biarkan diri mereka rentan. Karena kadang, ngakuin ketakutan adalah langkah pertama untuk ngalahin nya.